Asas-Asas Fundamental dalam Hukum Perikatan

Ilustrasi Asas Hukum Perikatan Sebuah timbangan keadilan di latar belakang dengan jabat tangan di depannya, melambangkan keseimbangan, kesepakatan, dan keadilan dalam kontrak. Consensus, Pacta Sunt Servanda, Bona Fides Ilustrasi timbangan keadilan dan jabat tangan yang melambangkan asas-asas hukum perikatan seperti keseimbangan dan kesepakatan.

Hukum perikatan merupakan jantung dari hukum perdata yang mengatur hubungan hukum di bidang harta kekayaan antara dua orang atau lebih. Hubungan ini memberikan hak kepada satu pihak untuk menuntut sesuatu dari pihak lain, sementara pihak lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Setiap interaksi ekonomi, mulai dari transaksi jual beli sederhana di warung hingga perjanjian merger dan akuisisi bernilai triliunan, semuanya berlandaskan pada kerangka hukum perikatan. Untuk memahami kompleksitasnya, kita harus kembali ke fondasinya, yaitu asas-asas hukum yang menjadi jiwa dan pedoman bagi setiap kaidah dalam hukum perikatan.

Asas hukum bukanlah pasal undang-undang yang kaku, melainkan pikiran dasar yang bersifat umum dan abstrak, yang melandasi sistem hukum. Ia adalah ratio legis atau alasan filosofis di balik pembentukan suatu norma hukum. Dalam hukum perikatan, asas-asas ini berfungsi sebagai penuntun bagi legislator dalam merumuskan undang-undang, bagi hakim dalam menafsirkan dan menemukan hukum, serta bagi para pihak dalam membentuk dan melaksanakan perjanjian mereka. Memahami asas-asas ini bukan hanya sekadar latihan akademis, melainkan sebuah keharusan praktis untuk menavigasi dunia bisnis dan sosial dengan kepastian hukum.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sebagai warisan hukum kolonial yang masih berlaku hingga kini, memuat beberapa asas fundamental yang menjadi pilar utama hukum perikatan di Indonesia. Meskipun beberapa di antaranya tidak disebutkan secara eksplisit sebagai "asas", namun spirit dan esensinya terpancar jelas dari berbagai ketentuan yang ada. Asas-asas utama tersebut antara lain Asas Konsensualisme, Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Pacta Sunt Servanda, Asas Itikad Baik, dan Asas Kepribadian. Masing-masing asas ini saling terkait, saling melengkapi, dan terkadang saling membatasi, menciptakan sebuah sistem yang dinamis dan adaptif.

1. Asas Konsensualisme: Lahirnya Perikatan dari Kata Sepakat

Asas Konsensualisme merupakan asas paling mendasar dalam hukum perjanjian. Asas ini menyatakan bahwa suatu perjanjian pada dasarnya telah sah dan mengikat para pihak sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) mengenai pokok-pokok perjanjian tersebut. Penegasan asas ini secara implisit dapat ditemukan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, yang menempatkan "sepakat mereka yang mengikatkan dirinya" sebagai syarat sahnya perjanjian yang pertama dan utama.

Makna dari asas ini sangat dalam. Ia menegaskan bahwa kekuatan mengikat suatu perjanjian tidak terletak pada formalitas atau ritual tertentu, melainkan pada pertemuan kehendak yang bebas dari para pihak. Cukup dengan adanya kesepakatan lisan, sebuah perjanjian jual beli, sewa-menyewa, atau perjanjian jasa pada prinsipnya sudah lahir dan memiliki akibat hukum. Formalitas seperti akta tertulis atau tanda tangan bukanlah syarat untuk lahirnya perjanjian (syarat konstitutif), melainkan seringkali hanya berfungsi sebagai alat bukti (syarat probatorius) jika di kemudian hari timbul sengketa.

Mekanisme Terjadinya Kesepakatan

Kesepakatan dianggap terjadi ketika ada pertemuan antara penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance). Penawaran adalah suatu pernyataan kehendak yang berisi usulan untuk mengadakan perjanjian, yang memuat unsur-unsur esensial dari perjanjian yang akan dibuat. Penawaran ini harus jelas dan spesifik. Sementara itu, penerimaan adalah pernyataan setuju dari pihak yang ditawari atas penawaran tersebut. Penerimaan ini harus dilakukan tanpa syarat (unconditional). Jika penerimaan disertai dengan perubahan atau syarat baru, maka ia tidak lagi dianggap sebagai penerimaan, melainkan sebagai penawaran baru (counter-offer).

"Suatu persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang." - Pasal 1339 KUH Perdata

Momen tercapainya kesepakatan menjadi krusial, terutama dalam komunikasi jarak jauh. Teori mengenai kapan kesepakatan terjadi beragam, seperti teori pengiriman (ketika surat penerimaan dikirim) atau teori penerimaan (ketika surat penerimaan diterima oleh pihak yang menawarkan). Hukum Indonesia, meskipun tidak secara eksplisit memilih salah satu, cenderung menganut teori penerimaan, di mana pihak yang menawarkan harus sudah mengetahui adanya penerimaan agar kesepakatan dianggap terjadi.

Pengecualian Terhadap Asas Konsensualisme

Meskipun konsensualisme adalah prinsip utama, hukum juga mengakui adanya pengecualian demi melindungi kepentingan tertentu, baik kepentingan publik maupun kepentingan para pihak itu sendiri. Pengecualian ini melahirkan dua kategori perjanjian lain:

a. Perjanjian Formil (Formal Contracts)

Perjanjian formil adalah perjanjian di mana undang-undang secara tegas mensyaratkan adanya bentuk atau formalitas tertentu agar perjanjian tersebut sah. Tanpa dipenuhinya formalitas tersebut, perjanjian dianggap tidak pernah ada. Tujuan dari persyaratan formal ini biasanya adalah untuk memastikan keseriusan para pihak, melindungi pihak yang lebih lemah, dan memberikan kepastian hukum yang kuat, terutama untuk transaksi yang dianggap penting dan berdampak luas.

b. Perjanjian Riil (Real Contracts)

Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru dianggap lahir dan sempurna tidak hanya dengan adanya kata sepakat, tetapi juga setelah dilakukannya penyerahan (levering) objek perjanjian. Kata sepakat dalam perjanjian ini baru menciptakan hak personal untuk menuntut penyerahan barang, tetapi perikatan itu sendiri belum sempurna sebelum barang diserahkan.

Pengecualian-pengecualian ini menunjukkan bahwa meskipun kehendak adalah sumber utama perikatan, dalam situasi tertentu, hukum merasa perlu untuk menambahkan "lapisan" perlindungan melalui formalitas atau tindakan nyata untuk menjamin kepastian dan keamanan hukum.

2. Asas Kebebasan Berkontrak: Otonomi Kehendak Para Pihak

Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract atau partij-autonomie) adalah turunan langsung dari ideologi liberalisme dan individualisme yang mendominasi pemikiran hukum pada saat KUH Perdata disusun. Asas ini memberikan otonomi seluas-luasnya kepada individu untuk mengatur sendiri hubungan hukum mereka. Inti dari asas ini terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan, "Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."

Frasa "semua persetujuan" menunjukkan bahwa para pihak pada dasarnya bebas untuk membuat perjanjian apa pun, baik yang sudah diatur secara khusus dalam undang-undang (perjanjian bernama/nominaat) maupun yang belum diatur sama sekali (perjanjian tidak bernama/innominaat), selama isinya tidak bertentangan dengan hukum.

Ruang Lingkup Kebebasan Berkontrak

Kebebasan yang diberikan oleh asas ini mencakup beberapa aspek penting:

  1. Kebebasan untuk Membuat atau Tidak Membuat Perjanjian: Tidak ada seorang pun yang dapat dipaksa untuk masuk ke dalam suatu hubungan kontraktual.
  2. Kebebasan untuk Memilih Pihak (Partner Kontrak): Individu bebas memilih dengan siapa ia akan mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.
  3. Kebebasan untuk Menentukan Isi Perjanjian: Para pihak berwenang penuh untuk merumuskan hak dan kewajiban masing-masing, menentukan klausul, syarat, dan ketentuan yang mereka anggap paling sesuai.
  4. Kebebasan untuk Menentukan Bentuk Perjanjian: Sejalan dengan asas konsensualisme, para pihak bebas menentukan apakah perjanjian akan dibuat secara lisan, tulisan di bawah tangan, atau dengan akta otentik, kecuali jika undang-undang menentukan lain.
  5. Kebebasan untuk Memilih Forum Penyelesaian Sengketa: Para pihak dapat menyepakati apakah sengketa akan diselesaikan melalui pengadilan umum, arbitrase, atau mekanisme alternatif lainnya.

Asas ini menjadi motor penggerak dinamika ekonomi. Inovasi bisnis, model-model transaksi baru seperti leasing, franchise, atau kontrak-kontrak dalam ekonomi digital, dapat berkembang pesat karena adanya ruang kebebasan yang disediakan oleh asas ini. Para pihak dapat merancang kontrak yang paling efisien dan sesuai dengan kebutuhan spesifik transaksi mereka.

Batasan-Batasan terhadap Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan yang absolut. Otonomi individu harus tunduk pada kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan masyarakat dan negara. Pasal 1337 KUH Perdata secara tegas menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Batasan inilah yang menjadi "pagar" bagi kebebasan berkontrak.

a. Undang-Undang (Wet)

Para pihak tidak boleh menyepakati sesuatu yang secara eksplisit dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa (dwingend recht). Misalnya, para pihak tidak boleh membuat perjanjian kerja dengan upah di bawah upah minimum yang ditetapkan pemerintah, atau membuat perjanjian jual beli organ tubuh manusia karena hal tersebut dilarang oleh undang-undang kesehatan.

b. Kesusilaan Baik (Goede Zeden)

Kesusilaan baik merujuk pada norma-norma moral dan etika yang hidup dan diakui dalam masyarakat pada suatu waktu tertentu. Standar ini bersifat dinamis dan tidak tertulis. Perjanjian yang isinya bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan, sopan santun, atau agama akan dianggap batal. Contohnya, perjanjian untuk melakukan perbuatan asusila, atau perjanjian utang-piutang yang timbul dari perjudian.

c. Ketertiban Umum (Openbare Orde)

Ketertiban umum adalah konsep yang lebih luas, mencakup dasar-dasar atau sendi-sendi pokok tata tertib sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Sebuah perjanjian dianggap melanggar ketertiban umum jika ia mengganggu fondasi kehidupan bermasyarakat. Contohnya, perjanjian untuk memonopoli perdagangan suatu komoditas vital sehingga merugikan masyarakat luas, atau perjanjian untuk melakukan makar terhadap negara.

Pergeseran Makna dalam Konteks Modern

Di era modern, asas kebebasan berkontrak mengalami tantangan dan penyesuaian. Asumsi dasar bahwa para pihak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang seringkali tidak terwujud dalam kenyataan. Dalam hubungan antara produsen dan konsumen, perusahaan besar dan UMKM, atau antara majikan dan pekerja, seringkali terjadi ketimpangan posisi. Pihak yang lebih kuat dapat mendiktekan isi perjanjian melalui penggunaan kontrak baku (standard form contract) yang seringkali merugikan pihak yang lebih lemah.

Menghadapi realitas ini, negara mulai melakukan intervensi untuk melindungi pihak yang lemah. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, serta peraturan ketenagakerjaan adalah bentuk koreksi terhadap kebebasan berkontrak yang tak terbatas. Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak kini dipahami bukan lagi sebagai kebebasan mutlak, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab dan berkeadilan sosial.

3. Asas Pacta Sunt Servanda: Kekuatan Mengikat Perjanjian

Asas Pacta Sunt Servanda, yang berarti "perjanjian harus ditepati", adalah pilar yang menegakkan kepastian hukum dalam dunia kontrak. Asas ini merupakan konsekuensi logis dari asas konsensualisme dan kebebasan berkontrak. Jika para pihak telah secara bebas memberikan kesepakatannya, maka mereka terikat oleh janji yang telah mereka buat seolah-olah janji itu adalah undang-undang bagi mereka.

Landasan yuridis asas ini sama dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata: "Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya." Kekuatan mengikatnya disamakan dengan undang-undang, yang berarti para pihak tidak dapat secara sepihak membatalkan atau mengubahnya. Bahkan hakim pun pada prinsipnya terikat pada isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan tidak boleh melakukan intervensi, kecuali jika isinya bertentangan dengan hukum, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Implikasi dari Asas Pacta Sunt Servanda

Kekuatan mengikat dari asas ini melahirkan beberapa akibat hukum yang fundamental:

Prinsip Pacta Sunt Servanda adalah fondasi dari kepercayaan dalam transaksi komersial. Tanpa adanya jaminan bahwa janji akan ditepati, maka roda perekonomian tidak akan dapat berputar dengan efisien dan aman.

Pengecualian dan Relativisasi: Doktrin Keadaan Memaksa (Force Majeure)

Kekakuan asas Pacta Sunt Servanda dilunakkan oleh adanya doktrin keadaan memaksa atau force majeure (overmacht), yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Force majeure adalah suatu keadaan yang terjadi setelah perjanjian dibuat, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, di mana keadaan tersebut tidak dapat diprediksi sebelumnya dan tidak dapat diatribusikan sebagai kesalahan debitur.

Apabila terjadi force majeure, debitur dibebaskan dari kewajiban untuk memenuhi prestasi dan membayar ganti rugi. Contoh klasik dari force majeure adalah bencana alam (gempa bumi, banjir bandang), perang, huru-hara, atau kebijakan pemerintah yang secara langsung melarang pelaksanaan prestasi (misalnya, larangan ekspor-impor). Pandemi global juga seringkali dikualifikasikan sebagai peristiwa force majeure.

Selain force majeure, dalam perkembangan hukum modern dikenal pula konsep hardship atau doktrin rebus sic stantibus. Doktrin ini berlaku ketika terjadi perubahan keadaan yang fundamental setelah kontrak dibuat, yang tidak dapat diprediksi, yang menyebabkan pelaksanaan kontrak menjadi luar biasa berat dan tidak adil bagi salah satu pihak. Berbeda dengan force majeure yang membuat prestasi menjadi mustahil, dalam hardship, prestasi masih mungkin dilakukan tetapi dengan pengorbanan yang tidak seimbang. Dalam situasi ini, hakim dapat diizinkan untuk melakukan penyesuaian atau "renegosiasi" kontrak demi tercapainya keadilan. Meskipun doktrin ini belum secara eksplisit diakui dalam KUH Perdata, penerapannya semakin sering dipertimbangkan dalam praktik peradilan modern, terutama dalam kontrak-kontrak jangka panjang.

4. Asas Itikad Baik: Kepatutan dan Kejujuran dalam Berkontrak

Asas Itikad Baik (good faith atau te goeder trouw) adalah asas yang menuntut agar pelaksanaan suatu perjanjian didasari oleh kejujuran, kepatutan, dan rasa keadilan. Asas ini berfungsi sebagai "katup pengaman" moral dalam hukum kontrak, memastikan bahwa hukum tidak hanya ditegakkan secara formalistis (sesuai bunyi teks), tetapi juga secara substantif (sesuai maksud dan tujuan keadilan).

Asas ini secara eksplisit tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang menyatakan: "Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik." Norma ini bersifat sangat terbuka (open norm), memberikan ruang bagi hakim untuk menilai perilaku para pihak berdasarkan standar kepatutan yang objektif.

Dua Wajah Itikad Baik

Dalam doktrin hukum, itikad baik dibedakan menjadi dua pengertian:

a. Itikad Baik Subjektif

Itikad baik dalam pengertian subjektif merujuk pada keadaan batin atau kejujuran seseorang. Seseorang dikatakan beritikad baik secara subjektif jika ia tidak mengetahui adanya cacat atau fakta tertentu yang membuat tindakannya tidak sah. Pengertian ini lebih relevan dalam hukum kebendaan, misalnya dalam konteks perlindungan bagi pembeli yang tidak mengetahui bahwa barang yang dibelinya berasal dari hasil kejahatan.

b. Itikad Baik Objektif

Dalam hukum perikatan, khususnya pada tahap pelaksanaan kontrak (Pasal 1338 ayat (3)), itikad baik dipahami dalam pengertian objektif. Itikad baik objektif tidak lagi melihat pada keadaan batin seseorang, melainkan pada standar perilaku yang layak, patut, dan adil menurut norma-norma yang berlaku di masyarakat. Pelaksanaan kontrak harus memperhatikan kepentingan wajar dari pihak lawan. Ini berarti para pihak harus saling setia pada semangat perjanjian dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang.

Fungsi Asas Itikad Baik

Asas itikad baik dalam pengertian objektif memiliki dua fungsi utama dalam pelaksanaan perjanjian:

1. Fungsi Melengkapi (Aanvullende Werking)

Itikad baik dapat melengkapi hak dan kewajiban para pihak yang tidak secara eksplisit diatur dalam kontrak mereka. Seringkali, para pihak tidak mungkin mengatur setiap detail dan kemungkinan yang akan terjadi. Dalam hal ini, itikad baik, melalui kepatutan dan kebiasaan, akan mengisi kekosongan tersebut. Sebagai contoh, dalam perjanjian jual beli mesin, meskipun tidak diatur dalam kontrak, itikad baik mengharuskan penjual untuk memberikan petunjuk penggunaan yang memadai kepada pembeli.

2. Fungsi Membatasi atau Meniadakan (Beperkende/Derogerende Werking)

Ini adalah fungsi yang paling kuat dan terkadang kontroversial. Itikad baik dapat membatasi atau bahkan meniadakan hak kontraktual salah satu pihak jika pelaksanaan hak tersebut dalam situasi tertentu dianggap sangat tidak adil dan bertentangan dengan kepatutan. Seseorang tidak boleh menyalahgunakan haknya (misbruik van recht). Misalnya, seorang kreditur yang menolak pembayaran dari debitur hanya karena terlambat satu hari, padahal keterlambatan itu disebabkan oleh alasan yang bisa dimaklumi dan tidak merugikan kreditur secara signifikan, dapat dianggap bertindak bertentangan dengan itikad baik.

Penerapan asas itikad baik menempatkan hakim dalam posisi yang sangat penting sebagai penjaga keadilan kontraktual. Hakim diberikan kewenangan untuk menguji apakah perilaku para pihak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sudah sesuai dengan standar kepatutan dan keadilan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum kontrak modern tidak lagi murni bersifat individualistis, tetapi telah disusupi oleh nilai-nilai sosial dan moral.

5. Asas Kepribadian: Lingkup Keberlakuan Perjanjian

Asas Kepribadian (privity of contract) menetapkan bahwa suatu perjanjian pada dasarnya hanya mengikat dan menciptakan hak serta kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat memberikan beban kewajiban kepada pihak ketiga yang tidak ikut serta dalam pembuatannya.

Asas ini tercermin dalam beberapa pasal KUH Perdata. Pasal 1315 menyatakan: "Pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri." Lebih lanjut, Pasal 1340 ayat (1) menegaskan: "Persetujuan hanya berlaku antara pihak yang membuatnya."

Logika di balik asas ini sangat sederhana dan adil: seseorang tidak dapat dibebani oleh suatu kewajiban yang tidak pernah ia setujui. Asas ini melindungi otonomi dan kebebasan individu dari intervensi kontraktual pihak lain. Jika A dan B membuat perjanjian, maka hanya A dan B yang terikat. C, sebagai pihak ketiga, tidak dapat dituntut untuk melaksanakan kewajiban dalam perjanjian A-B, dan sebaliknya, C pada umumnya juga tidak dapat menuntut hak dari perjanjian tersebut.

Pengecualian Terhadap Asas Kepribadian

Seperti asas lainnya, asas kepribadian juga memiliki pengecualian yang diatur oleh undang-undang. Pengecualian ini memungkinkan suatu perjanjian untuk memberikan dampak hukum, baik berupa hak maupun kewajiban, kepada pihak ketiga.

a. Janji untuk Kepentingan Pihak Ketiga (Stipulatio Alteri)

Diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata, ini adalah suatu konstruksi di mana dua pihak (A dan B) membuat perjanjian yang secara eksplisit dimaksudkan untuk memberikan suatu hak atau manfaat kepada pihak ketiga (C). Pihak C, meskipun bukan pihak dalam kontrak, dapat menuntut pemenuhan janji tersebut jika ia menyatakan kehendak untuk menerimanya.

b. Garansi atau Janji untuk Pihak Ketiga (Derden-beding)

Diatur dalam Pasal 1316 KUH Perdata, di sini seseorang (A) menjanjikan kepada pihak lainnya (B) bahwa seorang pihak ketiga (C) akan melakukan suatu perbuatan. Dalam hal ini, A bertindak sebagai penjamin. Jika C tidak mau atau tidak mampu melakukan perbuatan yang dijanjikan, maka A lah yang bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada B. Perjanjian ini tidak mengikat C, tetapi menciptakan kewajiban bagi A.

c. Actio Pauliana

Meskipun bukan pengecualian langsung, Actio Pauliana (Pasal 1341 KUH Perdata) memberikan hak kepada kreditur (pihak ketiga) untuk menuntut pembatalan perbuatan-perbuatan hukum (termasuk perjanjian) yang dilakukan oleh debiturnya dengan pihak lain, jika perbuatan tersebut merugikan kreditur. Ini menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, perjanjian antara dua pihak dapat "disentuh" oleh pihak ketiga demi melindungi haknya.

Kesimpulan: Harmoni dan Dinamika Asas-Asas Perikatan

Kelima asas hukum perikatan—Konsensualisme, Kebebasan Berkontrak, Pacta Sunt Servanda, Itikad Baik, dan Kepribadian—membentuk sebuah kerangka kerja yang koheren dan saling berhubungan. Konsensualisme dan Kebebasan Berkontrak memberikan otonomi kepada para pihak untuk menciptakan hukum bagi mereka sendiri. Pacta Sunt Servanda memberikan kekuatan dan kepastian pada hukum yang mereka ciptakan itu. Asas Kepribadian membatasi lingkup keberlakuan hukum tersebut hanya pada para penciptanya. Dan yang terpenting, Asas Itikad Baik menyelimuti keseluruhan proses, dari negosiasi hingga pelaksanaan, memastikan bahwa kebebasan dan kekuatan hukum tersebut dijalankan dengan cara yang adil, patut, dan jujur.

Asas-asas ini tidak bersifat statis. Penafsiran dan penerapannya terus berkembang seiring dengan perubahan nilai-nilai sosial dan kebutuhan ekonomi. Pergeseran dari pemahaman kebebasan berkontrak yang absolut menuju kebebasan yang berkeadilan sosial, serta penguatan peran asas itikad baik, menunjukkan bahwa hukum kontrak Indonesia terus beradaptasi untuk mencapai tujuan utamanya: tidak hanya kepastian hukum, tetapi juga keadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam suatu perikatan.

🏠 Homepage