Hukum perikatan, yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih mengenai hak dan kewajiban, memiliki landasan yang kuat dalam syariat Islam. Berbeda dengan sistem hukum perdata konvensional, hukum perikatan Islam dibangun di atas fondasi moral dan etika yang bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah. Pemahaman mendalam mengenai asas hukum perikatan Islam sangat penting untuk memastikan setiap transaksi dan kesepakatan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip ilahi, yang menjunjung tinggi keadilan, kejujuran, dan kemaslahatan bersama.
Salah satu asas fundamental dalam hukum perikatan Islam adalah asas kebebasan berkontrak. Namun, kebebasan ini bukanlah tanpa batas. Ia harus senantiasa merujuk pada ketentuan syariat yang melarang segala bentuk transaksi yang mengandung unsur penipuan (gharar), ketidakjelasan (jahalah), spekulasi berlebihan (maisir/qimar), riba, penindasan, atau melanggar nilai-nilai moral. Setiap perjanjian harus dilandasi niat yang tulus dan tujuan yang baik, bukan untuk merugikan salah satu pihak.
Selanjutnya, asas keadilan menjadi pedoman utama. Islam mengajarkan agar setiap perikatan dijalankan dengan adil. Ini mencakup keadilan dalam penetapan harga, penyerahan barang atau jasa, serta pemenuhan hak dan kewajiban. Tidak boleh ada pihak yang mengambil keuntungan secara tidak wajar atas kerugian pihak lain. Konsep keadilan dalam Islam juga meluas hingga mencakup perlindungan terhadap pihak yang lemah, seperti dalam akad-akad yang melibatkan kemitraan atau pembiayaan.
Asas kepercayaan (amanah) adalah pilar krusial dalam perikatan Islam. Para pihak diharapkan untuk senantiasa jujur dan menepati janji. Mengkhianati kepercayaan dalam sebuah perjanjian dipandang sebagai pelanggaran moral dan agama yang serius. Oleh karena itu, transparansi dalam setiap tahapan perikatan menjadi sangat penting. Informasi yang benar harus disampaikan, dan segala bentuk manipulasi atau penyembunyian fakta yang dapat menyesatkan pihak lain sangat dilarang.
Kepercayaan ini juga tercermin dalam asas itiqad hasan (itikad baik). Setiap pihak dalam suatu perikatan wajib menjalankan kewajibannya dengan itikad baik. Ini berarti tidak hanya memenuhi apa yang tertulis dalam perjanjian, tetapi juga bertindak dengan penuh kesadaran dan kejujuran untuk mencapai tujuan bersama, serta menghindari tindakan yang dapat merugikan pihak lain secara sepihak, meskipun secara hukum mungkin tidak secara eksplisit dilarang dalam kontrak.
Hukum perikatan Islam juga menekankan asas kepatuhan terhadap syariat. Ini berarti semua bentuk perjanjian harus tunduk pada prinsip-prinsip syariat Islam. Jika suatu perjanjian bertentangan dengan syariat, maka perjanjian tersebut dianggap batal demi hukum. Asas ini memastikan bahwa aktivitas ekonomi dan sosial umat Islam selalu berada dalam koridor nilai-nilai luhur agama.
Selain itu, asas kepatuhan terhadap perjanjian (al-wafa' bil 'ahd) adalah prinsip yang sangat dijunjung tinggi. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu." (QS. Al-Ma'idah: 1). Janji yang telah diikrarkan harus ditepati. Jika ada pihak yang melanggar janji, maka konsekuensinya akan dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat. Kepatuhan ini mencakup segala bentuk perjanjian, baik lisan maupun tertulis, yang telah disepakati bersama.
Terakhir, penting untuk memahami bahwa perikatan dalam Islam tidak hanya berorientasi pada keuntungan materi semata. Ada dimensi spiritual dan sosial yang melekat. Pemenuhan perikatan yang baik akan mendatangkan keberkahan, mempererat tali silaturahmi, dan membangun masyarakat yang harmonis. Sebaliknya, pelanggaran atau penyelewengan dalam perikatan akan merusak tatanan sosial dan mendatangkan murka Allah.
Dengan memahami dan menerapkan asas hukum perikatan Islam, umat Islam dapat menjalankan aktivitas ekonomi dan sosial dengan lebih terarah, adil, dan penuh keberkahan, selaras dengan ajaran agama yang mendalam.