Asas Hukum Pidana Formil: Pilar Keadilan dalam Sistem

Keadilan & Prosedur

Ilustrasi: Prinsip dasar dan alur keadilan dalam sistem pidana.

Dalam ranah hukum pidana, terdapat dua cabang besar yang saling melengkapi, yaitu hukum pidana materiil (ius poenale) dan hukum pidana formil (ius puniendi). Jika hukum pidana materiil mengatur tentang perbuatan apa saja yang dapat dipidana dan sanksi apa yang melekat padanya, maka hukum pidana formil berfokus pada bagaimana cara negara menjalankan kekuasaan pidananya. Dengan kata lain, asas hukum pidana formil adalah seperangkat prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan pedoman dalam penyelenggaraan penegakan hukum pidana di Indonesia, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, hingga pelaksanaan putusan pidana. Kepatuhan terhadap asas-asas ini mutlak diperlukan untuk menjamin terciptanya proses peradilan yang adil, bersih, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Prinsip Dasar Asas Hukum Pidana Formil

Penyelenggaraan peradilan pidana tidak dapat dilakukan secara semena-mena. Ada kaidah-kaidah fundamental yang harus dipegang teguh oleh setiap aparat penegak hukum. Asas-asas ini berfungsi sebagai filter, pengawas, dan penjamin hak-hak individu dalam menghadapi proses hukum. Beberapa asas hukum pidana formil yang fundamental antara lain:

1. Asas Legalitas (Legaliteitsbeginsel)

Asas legalitas merupakan salah satu asas paling mendasar dalam hukum pidana, baik formil maupun materiil. Dalam konteks hukum pidana formil, asas ini menegaskan bahwa setiap tindakan penegakan hukum pidana harus didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Artinya, tidak boleh ada penangkapan, penahanan, penyitaan, atau tindakan paksaan lainnya terhadap seseorang kecuali atas dasar dan dalam cara yang diatur oleh undang-undang. Hal ini untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), asas legalitas tercermin dalam berbagai ketentuan, seperti kewajiban adanya surat perintah penangkapan atau penggeledahan.

2. Asas Persamaan di Depan Hukum (Gelijkheidsbeginsel)

Setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum, tanpa pandang bulu atas status, kedudukan, ras, agama, atau latar belakang lainnya. Dalam proses peradilan pidana, asas ini memastikan bahwa semua pihak, baik tersangka, terdakwa, maupun korban, memiliki hak yang sama dalam memperoleh perlindungan hukum dan perlakuan yang adil. Hakim tidak boleh memihak dan harus memberikan putusan berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku, terlepas dari siapa pelakunya.

3. Asas Hak untuk Didengar (Audi et Alteram Partem)

Prinsip ini merupakan manifestasi dari hak asasi manusia yang fundamental, yaitu hak untuk didengar di hadapan pengadilan. Dalam konteks asas hukum pidana formil, terdakwa berhak untuk membela diri, menghadirkan saksi yang meringankan (ad charge), dan memberikan keterangan atas tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Hakim wajib memberikan kesempatan yang sama kepada jaksa penuntut umum dan terdakwa untuk mengajukan bukti dan argumennya. Penolakan terhadap hak ini akan berakibat pada batalnya suatu proses hukum.

4. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)

Setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan menyatakan kesalahannya. Asas ini menempatkan beban pembuktian sepenuhnya pada pihak penuntut umum. Tersangka atau terdakwa tidak diwajibkan untuk membuktikan ketidakbersalahannya. Selama proses hukum berlangsung, ia harus diperlakukan layaknya orang yang tidak bersalah, yang berarti ia berhak atas kebebasan, kecuali jika penahanannya dibenarkan oleh undang-undang untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang.

5. Asas Peradilan yang Cepat, Sederhana, dan Biaya Terjangkau

KUHAP mengamanatkan bahwa peradilan pidana harus diselenggarakan dengan prinsip efisiensi dan aksesibilitas. Proses hukum tidak boleh berlarut-larut tanpa alasan yang jelas, prosedur tidak boleh terlalu rumit sehingga menyulitkan masyarakat, dan biaya yang dikeluarkan tidak boleh memberatkan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa keadilan dapat segera diperoleh oleh pencari keadilan tanpa harus menanggung beban yang tidak perlu.

Pentingnya Penerapan Asas Hukum Pidana Formil

Ketaatan terhadap asas hukum pidana formil bukanlah sekadar formalitas prosedural belaka. Ini adalah esensi dari supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Ketika asas-asas ini ditegakkan, maka proses pidana akan berjalan secara objektif dan transparan. Terdakwa akan mendapatkan haknya untuk membela diri, dan negara menjalankan kekuasaan pidananya secara proporsional dan akuntabel. Sebaliknya, pelanggaran terhadap asas-asas ini dapat berujung pada ketidakadilan, putusan yang cacat hukum, dan hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

Penerapan asas hukum pidana formil juga sangat krusial dalam membedakan antara negara hukum dan negara kekuasaan. Dalam negara hukum, segala tindakan pemerintah, termasuk dalam ranah penegakan pidana, dibatasi oleh hukum dan tunduk pada kontrol hukum. Asas-asas formil inilah yang menjadi mekanisme kontrol tersebut, memastikan bahwa setiap langkah penegakan hukum telah melalui koridor-koridor hukum yang sah dan adil.

Secara keseluruhan, asas hukum pidana formil merupakan pilar krusial dalam membangun sistem peradilan pidana yang kokoh dan adil. Prinsip-prinsip seperti legalitas, persamaan di depan hukum, hak untuk didengar, praduga tak bersalah, serta peradilan yang cepat, sederhana, dan terjangkau, memastikan bahwa setiap proses pidana berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku, melindungi hak-hak individu, dan pada akhirnya menjaga marwah keadilan itu sendiri.

🏠 Homepage