Asas Konsensualisme: Jantung dari Hukum Perjanjian

Ilustrasi perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak, melambangkan inti dari asas konsensualisme.

Dalam lalu lintas hubungan hukum di masyarakat, perjanjian atau kontrak merupakan instrumen yang paling sering digunakan. Mulai dari transaksi sederhana seperti membeli secangkir kopi, hingga transaksi kompleks seperti merger dan akuisisi perusahaan, semuanya berlandaskan pada sebuah perjanjian. Namun, pernahkah kita bertanya, kapan sebenarnya sebuah perjanjian itu dianggap telah lahir dan mengikat para pihak? Jawaban atas pertanyaan fundamental ini terletak pada sebuah prinsip dasar dalam hukum perdata yang dikenal sebagai asas konsensualisme.

Asas konsensualisme, atau beginsel der consensualiteit, adalah sebuah prinsip yang menyatakan bahwa suatu perjanjian telah sah, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak yang membuatnya. Dengan kata lain, motor penggerak lahirnya sebuah perjanjian adalah kesepakatan (konsensus) itu sendiri. Adanya kesepakatan kehendak yang saling bersesuaian (meeting of the minds) antara dua pihak atau lebih sudah cukup untuk melahirkan hak dan kewajiban, tanpa memerlukan formalitas atau seremoni tertentu, kecuali jika undang-undang secara tegas mensyaratkan hal lain untuk jenis perjanjian tertentu.

Prinsip ini menjadi fondasi yang menopang hampir seluruh bangunan hukum kontrak. Ia mencerminkan penghargaan terhadap kehendak bebas individu untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan hukum. Tanpa asas konsensualisme, dunia bisnis dan interaksi sosial akan menjadi sangat kaku dan birokratis, karena setiap janji atau kesepakatan harus melalui prosedur formal yang rumit untuk dianggap sah. Artikel ini akan mengupas secara mendalam, komprehensif, dan terstruktur mengenai asas konsensualisme, mulai dari landasan hukumnya, unsur-unsur esensialnya, pengecualiannya, hingga relevansinya di era digital yang serba cepat.

Landasan Yuridis dan Konsep Dasar Asas Konsensualisme

Di Indonesia, landasan hukum utama yang menegaskan berlakunya asas konsensualisme dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek. Secara implisit, prinsip ini terkandung dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menguraikan empat syarat sahnya suatu perjanjian. Pasal tersebut berbunyi:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama, "sepakat mereka yang mengikatkan dirinya", adalah manifestasi langsung dari asas konsensualisme. Syarat ini menempatkan kesepakatan sebagai unsur esensial pertama dan utama. Tanpa adanya kesepakatan, tidak akan pernah ada perjanjian yang sah. Ketiga syarat lainnya (kecakapan, hal tertentu, dan sebab yang halal) merupakan syarat-syarat penyerta yang harus dipenuhi agar kesepakatan tersebut memiliki validitas hukum yang sempurna. Namun, titik tolak atau momen kelahiran perjanjian itu sendiri adalah pada saat tercapainya "sepakat".

Konsep "sepakat" atau konsensus ini lebih dari sekadar persetujuan biasa. Dalam terminologi hukum, kesepakatan terjadi ketika ada pertemuan antara penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance). Pernyataan kehendak dari satu pihak (penawaran) bertemu dan bersesuaian sepenuhnya dengan pernyataan kehendak dari pihak lain (penerimaan) tanpa ada paksaan, kekhilafan, atau penipuan. Momen persesuaian kehendak inilah yang disebut sebagai detik lahirnya perjanjian.

Mekanisme Terbentuknya Kesepakatan: Penawaran dan Penerimaan

Untuk memahami bagaimana konsensus terbentuk, kita perlu membedah dua komponen utamanya: penawaran dan penerimaan.

1. Penawaran (Offer/Aanbod)
Penawaran adalah suatu pernyataan kehendak yang bersifat konkret, jelas, dan terperinci dari satu pihak (penawar) kepada pihak lain, yang berisi usulan untuk mengadakan suatu perjanjian. Agar sebuah pernyataan dapat dikualifikasikan sebagai penawaran yang sah, ia harus mengandung unsur-unsur pokok dari perjanjian yang hendak dibuat. Misalnya, dalam penawaran jual beli, harus jelas disebutkan barang apa yang ditawarkan dan berapa harganya. Penawaran yang kabur atau tidak lengkap, seperti "Saya mau menjual mobil saya," tanpa menyebutkan jenis mobil dan harganya, lebih dianggap sebagai undangan untuk bernegosiasi daripada sebuah penawaran yang mengikat.

Penawaran dapat bersifat terbuka (ditujukan kepada publik, seperti display barang di etalase toko dengan label harga) atau tertutup (ditujukan kepada individu atau entitas tertentu). Sebuah penawaran akan mengikat penawar selama jangka waktu yang wajar atau selama jangka waktu yang telah ditentukan, dan dapat ditarik kembali sebelum adanya penerimaan dari pihak lain.

2. Penerimaan (Acceptance/Aanvaarding)
Penerimaan adalah pernyataan setuju dari pihak yang ditawari (offeree) atas semua syarat dan ketentuan dalam penawaran yang diajukan oleh penawar. Penerimaan harus dilakukan secara tegas dan tanpa syarat (unconditional and unequivocal). Jika pihak yang ditawari memberikan jawaban yang mengubah syarat-syarat dalam penawaran awal (misalnya, menawar harga), maka jawaban tersebut tidak dianggap sebagai penerimaan, melainkan sebagai penawaran balik (counter-offer). Penawaran balik ini secara otomatis membatalkan penawaran awal, dan kini pihak penawar awal berganti posisi menjadi pihak yang harus memberikan penerimaan.

Penerimaan bisa dilakukan secara lisan, tertulis, atau bahkan melalui tindakan konkluden (perbuatan yang secara diam-diam menyiratkan adanya persetujuan). Contohnya, seorang penumpang yang naik bus kota dan duduk di kursi, secara konkluden telah menerima tawaran jasa angkutan dari perusahaan bus dan berkewajiban membayar ongkos sesuai tarif yang berlaku.

Perjanjian dianggap lahir pada saat dan di tempat di mana penerimaan yang efektif sampai kepada pihak penawar. Teori mengenai kapan penerimaan dianggap "sampai" ini melahirkan beberapa pandangan, seperti teori pengiriman (saat surat penerimaan dikirim), teori pengetahuan (saat penawar mengetahui isi penerimaan), dan teori penerimaan (saat surat penerimaan sampai di alamat penawar, terlepas apakah sudah dibaca atau belum), di mana teori penerimaan adalah yang paling banyak dianut.

Relasi Asas Konsensualisme dengan Asas-Asas Hukum Perjanjian Lainnya

Asas konsensualisme tidak berdiri sendiri. Ia bekerja dalam sebuah sistem yang harmonis bersama asas-asas fundamental lainnya dalam hukum perjanjian. Memahami hubungan ini akan memberikan gambaran yang lebih utuh tentang bagaimana sebuah kontrak beroperasi.

1. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

Asas ini memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk: (a) menentukan apakah ia ingin membuat perjanjian atau tidak; (b) memilih dengan siapa ia ingin membuat perjanjian; (c) menentukan isi, bentuk, dan syarat-syarat perjanjian; serta (d) memilih hukum yang akan berlaku bagi perjanjian tersebut (dalam konteks internasional). Asas konsensualisme adalah "mesin"-nya, sedangkan asas kebebasan berkontrak adalah "bahan bakar" dan "peta"-nya. Konsensualisme mengatur bagaimana perjanjian itu lahir (melalui kesepakatan), sementara kebebasan berkontrak mengatur apa yang boleh disepakati. Keduanya saling melengkapi. Kebebasan untuk menyepakati apa pun dibatasi oleh syarat "sebab yang halal" dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

2. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)

Secara harfiah berarti "janji harus ditepati". Asas ini, yang tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas ini adalah konsekuensi logis dari asas konsensualisme. Setelah kesepakatan (konsensus) tercapai, perjanjian tersebut tidak lagi hanya menjadi urusan moral, tetapi berubah menjadi kewajiban hukum yang dapat dipaksakan pelaksanaannya. Konsensualisme adalah gerbang masuknya, sedangkan pacta sunt servanda adalah realitas hukum yang mengikat setelah melewati gerbang tersebut. Para pihak tidak dapat secara sepihak membatalkan atau mengubah perjanjian yang telah mereka sepakati bersama.

3. Asas Itikad Baik (Good Faith/Goede Trouw)

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata mewajibkan agar setiap perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini menuntut adanya sikap jujur, terbuka, dan patut dari para pihak, baik pada tahap pra-kontrak (negosiasi), saat pelaksanaan kontrak, maupun pasca-kontrak. Itikad baik menjadi norma perilaku yang melekat pada setiap kesepakatan. Ia melarang para pihak untuk menyalahgunakan hak, berbuat curang, atau menafsirkan klausul perjanjian secara licik untuk merugikan pihak lain. Asas konsensualisme melahirkan perjanjian, dan asas itikad baik "mewarnai" seluruh proses pelaksanaan perjanjian tersebut dengan nilai-nilai kepatutan dan keadilan.

Cacat Kehendak: Ketika Konsensus Ternyata Ilusif

Asas konsensualisme mensyaratkan adanya kesepakatan yang bebas dan murni. Namun, dalam praktiknya, seringkali kesepakatan yang diberikan oleh salah satu pihak tidak lahir dari kehendak yang sebenarnya karena adanya faktor-faktor eksternal yang mengganggu. Kondisi ini dikenal sebagai cacat kehendak (wilsgebreken). KUHPerdata dalam Pasal 1321 menyebutkan tiga jenis cacat kehendak: paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan (bedrog).

1. Paksaan (Dwang)

Paksaan terjadi ketika seseorang memberikan persetujuannya karena adanya ancaman atau tekanan psikis maupun fisik yang melawan hukum, yang ditujukan kepada dirinya, pasangannya, atau keluarganya, terkait dengan harta atau jiwa. Ancaman tersebut haruslah bersifat serius dan nyata, sehingga menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat bahwa ia atau kerabatnya berada dalam bahaya. Contohnya, seseorang yang menandatangani surat jual beli tanahnya dengan harga sangat murah karena diancam akan dicelakai oleh preman suruhan pembeli. Kesepakatan yang lahir dari paksaan tidaklah murni. Perjanjian yang dibuat di bawah paksaan dapat dibatalkan (voidable) oleh pihak yang dipaksa.

2. Kekhilafan atau Kesesatan (Dwaling)

Kekhilafan terjadi ketika salah satu pihak memiliki gambaran yang salah mengenai unsur-unsur pokok dari perjanjian. Kekhilafan ini harus menyangkut substansi objek perjanjian (error in substantia) atau mengenai identitas pihak lain jika identitas tersebut menjadi alasan utama dibuatnya perjanjian (error in persona). Contoh error in substantia adalah seseorang membeli sebuah lukisan yang ia yakini sebagai karya asli seorang maestro, padahal sebenarnya adalah lukisan tiruan. Jika ia tahu lukisan itu tiruan, ia tidak akan pernah membelinya. Contoh error in persona adalah sebuah perusahaan mengontrak seorang insinyur ternama untuk sebuah proyek vital, namun ternyata orang yang datang dan menandatangani kontrak memiliki nama yang sama tetapi bukan insinyur yang dimaksud. Perjanjian yang didasari oleh kekhilafan juga dapat dibatalkan, dengan syarat kekhilafan tersebut diketahui atau setidaknya patut diketahui oleh pihak lawan.

3. Penipuan (Bedrog)

Penipuan adalah tindakan sengaja dengan menggunakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan oleh salah satu pihak untuk membujuk pihak lain agar mau membuat perjanjian. Berbeda dengan kekhilafan yang bisa terjadi tanpa kesengajaan, penipuan selalu mengandung unsur niat jahat (mens rea). Contohnya, seorang penjual mobil bekas yang sengaja memutar mundur odometer mobilnya dan menyembunyikan fakta bahwa mobil tersebut pernah terendam banjir untuk meyakinkan pembeli. Adanya tipu muslihat yang aktif dan disengaja menjadi syarat mutlak adanya penipuan. Sama seperti paksaan dan kekhilafan, perjanjian yang lahir dari penipuan dapat dimintakan pembatalannya.

Adanya cacat kehendak menunjukkan bahwa meskipun secara lahiriah tampak ada "kesepakatan", namun secara batiniah kesepakatan tersebut tidak sehat dan tidak mencerminkan kehendak yang sesungguhnya. Hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang dirugikan untuk melepaskan diri dari ikatan kontrak yang cacat tersebut.

Pengecualian Terhadap Asas Konsensualisme

Meskipun asas konsensualisme merupakan prinsip umum (lex generalis), undang-undang menetapkan beberapa pengecualian di mana kata sepakat saja tidak cukup untuk melahirkan sebuah perjanjian yang sah. Untuk jenis-jenis perjanjian ini, diperlukan adanya elemen tambahan, baik berupa formalitas tertentu maupun penyerahan barang. Hal ini melahirkan dua kategori perjanjian lain di samping perjanjian konsensuil.

1. Perjanjian Formil (Formal Contracts)

Perjanjian formil adalah perjanjian di mana undang-undang secara eksplisit mensyaratkan adanya bentuk atau formalitas tertentu agar perjanjian tersebut dianggap sah. Di sini, bentuk bukan lagi sekadar alat bukti, melainkan menjadi syarat sahnya perjanjian. Kesepakatan para pihak yang tidak dituangkan dalam bentuk yang disyaratkan oleh undang-undang akan mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void).

Contoh perjanjian formil yang paling umum adalah:

Tujuan dari persyaratan formalitas ini biasanya adalah untuk melindungi kepentingan publik, memberikan kepastian hukum, memudahkan pembuktian, dan memastikan para pihak benar-benar memahami konsekuensi dari tindakan hukum yang mereka lakukan, terutama untuk transaksi yang nilainya besar atau memiliki dampak hukum yang luas.

2. Perjanjian Riil (Real Contracts)

Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru dianggap lahir dan sempurna bukan hanya dengan adanya kesepakatan, tetapi setelah terjadinya penyerahan (levering) objek perjanjian dari satu pihak ke pihak lainnya. Sebelum objek diserahkan, meskipun sudah ada kata sepakat, perjanjian dianggap belum ada.

Contoh klasik dari perjanjian riil adalah:

Dalam perjanjian riil, penyerahan barang bukan merupakan tindakan pelaksanaan (prestasi) dari kontrak, melainkan justru merupakan elemen konstitutif yang melahirkan kontrak itu sendiri.

Asas Konsensualisme di Era Digital dan Kontrak Modern

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah lanskap cara manusia berinteraksi dan bertransaksi. Hukum perjanjian, termasuk asas konsensualisme, ditantang untuk beradaptasi dengan realitas baru di dunia maya. Bagaimana kesepakatan dicapai dalam transaksi elektronik?

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah memberikan pengakuan hukum terhadap kontrak elektronik. Pasal 1 angka 17 UU ITE mendefinisikan Kontrak Elektronik sebagai perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.

Prinsip konsensualisme tetap menjadi jiwa dari kontrak elektronik. Kesepakatan dalam konteks digital seringkali terwujud melalui mekanisme seperti:

Meskipun teknologi memfasilitasi tercapainya konsensus, ia juga memunculkan tantangan baru, terutama terkait dengan kontrak baku atau perjanjian adhesi. Ini adalah kontrak yang syarat dan ketentuannya telah dirumuskan secara sepihak oleh pelaku usaha (biasanya perusahaan besar) dalam format standar, dan konsumen hanya memiliki pilihan "ambil atau tinggalkan" (take it or leave it) tanpa ruang untuk negosiasi. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan kritis: apakah benar-benar ada "pertemuan kehendak" yang seimbang, ataukah ini hanya bentuk persetujuan yang terpaksa? Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mencoba mengatasi ketidakseimbangan ini dengan melarang pencantuman klausula baku tertentu yang dianggap merugikan konsumen.

Kesimpulan: Pilar Abadi dalam Dinamika Hukum

Asas konsensualisme adalah prinsip yang elegan dalam kesederhanaannya, namun memiliki dampak yang luar biasa dalam kehidupan hukum. Ia menegaskan bahwa inti dari sebuah ikatan hukum kontraktual adalah kehendak bebas yang saling bertemu dan berpadu. Prinsip ini membebaskan masyarakat dari belenggu formalitas yang tidak perlu, memungkinkan transaksi berjalan secara efisien, cepat, dan fleksibel, baik dalam interaksi tatap muka maupun di ranah digital.

Namun, kesederhanaan ini tidak berarti naif. Hukum menyadari bahwa kehendak bebas dapat dicederai. Oleh karena itu, doktrin cacat kehendak hadir sebagai katup pengaman untuk memastikan bahwa konsensus yang menjadi dasar perjanjian adalah konsensus yang otentik dan murni. Di sisi lain, untuk transaksi-transaksi yang memiliki signifikansi khusus, hukum juga menyediakan mekanisme pengecualian melalui perjanjian formil dan riil untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang lebih tinggi.

Pada akhirnya, asas konsensualisme lebih dari sekadar aturan teknis hukum. Ia adalah cerminan dari nilai filosofis yang mendalam tentang otonomi individu dan penghargaan terhadap janji. Dalam dunia yang terus berubah, di mana cara kita berjanji dan bersepakat terus berevolusi seiring dengan teknologi, esensi dari asas konsensualisme—bahwa kesepakatan adalah sumber dari kewajiban—akan tetap menjadi pilar yang kokoh dan abadi dalam bangunan hukum perjanjian.

🏠 Homepage