Memahami Asas Nasional Pasif Secara Mendalam

Ilustrasi Asas Nasional Pasif PROTEKSI WNI
Sebuah perisai yang melambangkan negara memberikan perlindungan hukum kepada warga negaranya, di manapun mereka berada.

Dalam dunia hukum yang kompleks dan tanpa batas, yurisdiksi atau kewenangan sebuah negara untuk mengadili suatu perkara menjadi fondasi utama penegakan keadilan. Ketika sebuah tindak pidana terjadi, pertanyaan pertama yang muncul adalah: "Hukum negara mana yang berlaku?" Jawaban paling umum dan sederhana adalah hukum di tempat kejahatan itu terjadi, sebuah konsep yang dikenal sebagai asas teritorial. Namun, bagaimana jika korban kejahatan tersebut adalah warga negara kita, tetapi peristiwa pidananya terjadi ribuan kilometer di luar batas negara? Apakah negara memiliki kewajiban dan hak untuk bertindak? Di sinilah sebuah prinsip penting dalam hukum internasional dan hukum pidana memainkan perannya: asas nasional pasif.

Asas nasional pasif, atau yang sering disebut juga sebagai prinsip personalitas pasif (passive personality principle), adalah sebuah doktrin yurisdiksi yang memberikan kewenangan kepada suatu negara untuk mengadili pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidananya di luar negeri, dengan syarat utama bahwa korban dari kejahatan tersebut adalah warga negaranya. Secara sederhana, negara mengklaim hak untuk melindungi warganya dari kejahatan, tidak peduli di belahan dunia mana pun mereka menjadi korban. Kata "pasif" dalam istilah ini merujuk pada peran korban; negara bertindak bukan karena pelakunya adalah warganya (itu disebut asas nasional aktif), melainkan karena korbannya adalah warganya yang berada dalam posisi pasif sebagai penerima dampak kejahatan.

Membedah Konsep: Apa Sebenarnya Asas Nasional Pasif?

Untuk memahami asas ini secara utuh, kita perlu memecahnya menjadi beberapa komponen fundamental. Asas ini berdiri di atas keyakinan bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab inheren untuk melindungi keselamatan, martabat, dan kepentingan warganya, baik di dalam maupun di luar negeri. Perlindungan ini tidak hanya bersifat diplomatik, seperti memberikan bantuan konsuler, tetapi juga dapat bersifat yudisial atau hukum.

Elemen Kunci Asas Nasional Pasif

Prinsip ini menegaskan bahwa ikatan kewarganegaraan tidak terputus oleh batas geografis. Negara, dalam perannya sebagai pelindung, membentangkan "jaring pengaman hukum" bagi warganya, bahkan ketika mereka berada di tanah asing.

Analogi sederhana yang bisa digunakan adalah seperti seorang orang tua yang anaknya sedang bermain di taman umum yang luas. Jika anaknya diganggu oleh orang lain di sudut taman yang jauh, idealnya penjaga taman (negara teritorial) yang akan menanganinya. Namun, jika penjaga taman tidak ada atau tidak peduli, orang tua tersebut (negara asal korban) merasa memiliki hak dan kewajiban untuk turun tangan melindungi anaknya. Dalam analogi ini, anak adalah warga negara, taman umum adalah dunia, dan orang tua adalah negara yang menerapkan asas nasional pasif.

Landasan Filosofis dan Sejarah Kemunculannya

Asas nasional pasif bukanlah sebuah konsep yang muncul dalam semalam. Kelahirannya didorong oleh kebutuhan praktis dan evolusi pemikiran tentang kedaulatan, kewarganegaraan, dan keadilan internasional. Secara filosofis, asas ini berakar pada teori perlindungan negara (state protection theory). Teori ini menyatakan bahwa salah satu alasan utama keberadaan negara adalah untuk memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Perlindungan ini tidak logis jika dibatasi hanya pada wilayah geografis, terutama di dunia yang semakin terhubung di mana warga negara terus-menerus bepergian, bekerja, dan tinggal di luar negeri.

Secara historis, asas ini merupakan salah satu asas yurisdiksi yang paling kontroversial. Negara-negara dengan tradisi hukum Anglo-Saxon (seperti Amerika Serikat dan Inggris) pada awalnya sangat menentang prinsip ini. Mereka berpegang teguh pada supremasi asas teritorial, dengan alasan bahwa mengadili kejahatan yang terjadi di luar negeri berdasarkan kewarganegaraan korban merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara lain. Sebaliknya, negara-negara dengan tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law system) lebih terbuka dan banyak yang telah mengadopsinya dalam kitab undang-undang hukum pidana mereka sejak lama.

Salah satu kasus historis yang sering dirujuk dalam perdebatan mengenai asas ini adalah Cutting Case pada akhir abad ke-19. Dalam kasus ini, seorang warga negara Amerika bernama Cutting ditangkap di Meksiko atas tuduhan pencemaran nama baik (libel) yang ia tulis dan terbitkan di Texas, Amerika Serikat. Korbannya adalah seorang warga Meksiko. Pemerintah Meksiko mengklaim yurisdiksi berdasarkan asas nasional pasif, yang memicu protes diplomatik keras dari Amerika Serikat yang menganggapnya sebagai jangkauan yurisdiksi yang berlebihan. Kasus ini menyoroti potensi konflik antarnegara yang dapat timbul dari penerapan asas ini.

Namun, pandangan dunia berubah secara dramatis seiring dengan meningkatnya ancaman kejahatan transnasional, terutama terorisme. Serangan-serangan teroris yang secara spesifik menargetkan warga negara dari negara-negara tertentu (misalnya, pembajakan pesawat, pengeboman kedutaan, atau penculikan turis) memaksa banyak negara, termasuk Amerika Serikat, untuk merevisi pandangan mereka. Mereka menyadari bahwa asas teritorial saja tidak cukup untuk memerangi ancaman yang tidak mengenal batas negara. Akibatnya, banyak negara yang sebelumnya menolak, kini mulai mengadopsi asas nasional pasif ke dalam legislasi mereka, meskipun sering kali dengan batasan yang ketat, yakni khusus untuk kejahatan terkait terorisme dan kejahatan serius lainnya.

Peta Yurisdiksi Kriminal: Membandingkan Asas Nasional Pasif dengan Asas Lainnya

Untuk benar-benar menghargai posisi dan fungsi asas nasional pasif, kita harus melihatnya dalam konteks yang lebih luas dari asas-asas yurisdiksi kriminal lainnya. Setiap asas memiliki logika dan cakupannya sendiri, dan sering kali mereka bisa tumpang tindih, menciptakan yurisdiksi konkuren (kewenangan mengadili yang dimiliki oleh lebih dari satu negara).

1. Asas Teritorial (Territorial Principle)

Ini adalah asas yang paling fundamental dan paling diakui secara universal. Menurut asas ini, sebuah negara memiliki yurisdiksi absolut atas semua kejahatan yang terjadi di dalam wilayahnya, termasuk darat, laut, dan udara, tanpa memandang kewarganegaraan pelaku atau korban. Logikanya sederhana: kejahatan mengganggu ketertiban umum di tempat ia terjadi, sehingga negara setempatlah yang paling berkepentingan dan paling mampu untuk menyelesaikannya. Asas ini terbagi lagi menjadi teritorial subjektif (jika tindakan dimulai di dalam negeri) dan teritorial objektif (jika dampak kejahatan dirasakan di dalam negeri). Perbedaannya dengan asas nasional pasif sangat jelas: fokus asas teritorial adalah lokasi kejahatan, sedangkan fokus asas nasional pasif adalah kewarganegaraan korban.

2. Asas Nasional Aktif (Active Personality Principle)

Asas ini adalah "saudara kembar" dari asas nasional pasif. Menurut asas nasional aktif, negara memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan oleh warga negaranya, di mana pun kejahatan itu dilakukan. Jika seorang warga negara Indonesia melakukan pencurian di Malaysia, Indonesia dapat menuntutnya berdasarkan asas ini. Logikanya adalah bahwa warga negara membawa "hukum negaranya" ke manapun mereka pergi dan harus bertanggung jawab atas tindakan mereka kepada negara asal mereka. Perbedaan utamanya adalah pada subjek yang menjadi titik taut: asas nasional aktif berfokus pada kewarganegaraan pelaku, sementara asas nasional pasif berfokus pada kewarganegaraan korban.

3. Asas Perlindungan (Protective Principle)

Asas perlindungan memberikan yurisdiksi kepada negara atas kejahatan yang dilakukan di luar negeri oleh siapa pun (bukan warga negara) yang mengancam keamanan, integritas, atau fungsi vital negara tersebut. Contoh klasiknya adalah pemalsuan mata uang, pemalsuan stempel atau dokumen resmi negara, spionase, atau perencanaan kudeta dari luar negeri. Di sini, "korban" utamanya bukanlah individu warga negara, melainkan negara itu sendiri. Asas nasional pasif melindungi individu warga negara dari kejahatan umum, sementara asas perlindungan menjaga eksistensi dan keamanan negara dari serangan terhadap kepentingan fundamentalnya.

4. Asas Universal (Universality Principle)

Asas ini berlaku untuk kejahatan-kejahatan yang dianggap begitu keji dan merupakan serangan terhadap seluruh umat manusia, sehingga setiap negara di dunia memiliki hak untuk mengadili pelakunya, terlepas dari lokasi kejahatan atau kewarganegaraan pelaku dan korban. Kejahatan ini dikenal sebagai hostis humani generis (musuh seluruh umat manusia). Contohnya termasuk genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembajakan di laut lepas, dan perbudakan. Asas universal adalah yang paling luas cakupannya karena tidak memerlukan kaitan apa pun dengan negara yang menuntut, selain dari fakta bahwa kejahatan tersebut mengguncang nurani kemanusiaan secara keseluruhan. Asas nasional pasif masih memerlukan kaitan spesifik, yaitu kewarganegaraan korban.

Implementasi Asas Nasional Pasif dalam Sistem Hukum Indonesia

Indonesia, sebagai negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, secara eksplisit mengakui dan mengadopsi beberapa asas yurisdiksi di luar asas teritorial. Hal ini tercermin dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Asas nasional pasif, meskipun tidak selalu disebut dengan nama itu secara gamblang, semangat dan substansinya tertuang dalam beberapa pasal.

Dalam KUHP lama (Wetboek van Strafrecht), ketentuan yang relevan dapat ditemukan, misalnya, dalam Pasal 4 dan Pasal 8. Namun, mari kita fokus pada KUHP baru yang telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, yang akan berlaku secara penuh di masa mendatang. Dalam KUHP baru, prinsip-prinsip yurisdiksi diatur dengan lebih sistematis.

Semangat asas nasional pasif secara implisit terkandung dalam perluasan yurisdiksi untuk tindak pidana tertentu. Misalnya, ketentuan mengenai tindak pidana terorisme sering kali dirumuskan sedemikian rupa sehingga memungkinkan penuntutan terhadap pelaku yang menyerang Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Pasal yang mengatur yurisdiksi di luar wilayah Indonesia biasanya menyebutkan beberapa kondisi, salah satunya adalah ketika tindak pidana tersebut mengenai kepentingan hukum atau warga negara Indonesia.

Sebagai contoh, dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sering kali terdapat klausul yang memperluas yurisdiksi jika korban adalah WNI atau jika serangan tersebut ditujukan pada kepentingan Indonesia di luar negeri, seperti kantor kedutaan atau fasilitas milik Indonesia. Ini adalah manifestasi konkret dari asas nasional pasif yang digabungkan dengan asas perlindungan.

KUHP secara umum menetapkan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia yang ditujukan terhadap keamanan negara, martabat Presiden, atau pemalsuan mata uang (asas perlindungan). Namun, ada pula pasal yang memperluasnya untuk kejahatan tertentu yang dilakukan terhadap WNI, sering kali dengan syarat adanya aduan atau tidak adanya penuntutan di negara tempat kejadian.

Syarat-syarat seperti ini (misalnya, pelaku tidak dituntut di negara lain, atau perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana di negara tempat dilakukan) menunjukkan pendekatan hati-hati Indonesia dalam menerapkan yurisdiksi ekstrateritorial. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan bagi warganya tanpa menimbulkan konflik kedaulatan yang tidak perlu dengan negara lain.

Tantangan, Kontroversi, dan Debat Yuridis

Meskipun penerimaannya semakin meluas, asas nasional pasif tetap menjadi subjek perdebatan dan menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya.

1. Isu Kedaulatan Negara

Kritik paling klasik adalah bahwa asas ini berpotensi melanggar kedaulatan negara tempat kejahatan terjadi. Negara tersebut mungkin merasa bahwa merekalah satu-satunya yang berhak mengadili kejahatan di wilayah mereka. Jika negara lain "ikut campur" dengan melakukan penuntutan sendiri, hal ini dapat dianggap sebagai intervensi terhadap sistem peradilan domestik mereka dan dapat memicu ketegangan diplomatik.

2. Risiko Penuntutan Ganda (Ne Bis in Idem)

Prinsip ne bis in idem atau double jeopardy adalah asas hukum fundamental yang melarang seseorang diadili dua kali untuk perbuatan yang sama. Jika pelaku sudah diadili dan dihukum (atau dibebaskan) di negara tempat kejahatan terjadi, apakah negara asal korban masih boleh mengadilinya lagi? Sebagian besar sistem hukum yang menerapkan asas nasional pasif mensyaratkan bahwa penuntutan hanya dapat dilakukan jika pelaku belum diadili di tempat lain, atau jika putusan pengadilan di negara lain dianggap tidak memenuhi standar keadilan yang layak (misalnya, pengadilan sandiwara).

3. Kesulitan Praktis dalam Penegakan Hukum

Ini mungkin merupakan tantangan terbesar. Melakukan penyidikan dan penuntutan untuk kejahatan yang terjadi di luar negeri sangatlah rumit. Beberapa kesulitan tersebut antara lain:

4. Potensi Politisasi

Ada kekhawatiran bahwa asas nasional pasif dapat digunakan sebagai alat politik. Sebuah negara bisa saja memulai penuntutan terhadap warga negara dari negara lain untuk memberikan tekanan politik atau sebagai pembalasan atas tindakan tertentu, dengan dalih melindungi warganya. Hal ini dapat menyalahgunakan prinsip yang seharusnya bertujuan murni untuk mencari keadilan.

Relevansi di Era Modern: Globalisasi, Terorisme, dan Ruang Siber

Terlepas dari semua tantangannya, relevansi asas nasional pasif justru semakin meningkat di era modern. Dunia yang kita tinggali saat ini ditandai oleh tiga fenomena utama yang membuat yurisdiksi berbasis teritorial murni menjadi tidak lagi memadai.

Globalisasi dan Mobilitas Manusia

Setiap hari, jutaan orang melintasi perbatasan untuk pariwisata, bisnis, pendidikan, atau pekerjaan. Semakin banyak warga negara yang tinggal atau bepergian ke luar negeri, semakin besar pula kemungkinan mereka menjadi korban kejahatan di tanah asing. Ketika sistem peradilan lokal gagal memberikan keadilan—entah karena korupsi, ketidakmampuan, atau diskriminasi—asas nasional pasif menjadi jaring pengaman terakhir bagi para korban dan keluarga mereka untuk menuntut pertanggungjawaban.

Terorisme Internasional

Seperti yang telah disinggung, terorisme adalah salah satu pendorong utama penerimaan asas nasional pasif. Kelompok teroris sering beroperasi secara lintas negara dan sengaja menargetkan warga negara dari negara-negara tertentu untuk mengirim pesan politik. Serangan di Bali, misalnya, memakan banyak korban dari berbagai negara. Negara-negara asal korban, seperti Australia, merasa memiliki kepentingan langsung untuk menuntut para pelaku, selain dari penuntutan yang dilakukan oleh Indonesia sebagai negara teritorial. Asas nasional pasif memberikan landasan hukum yang kuat bagi negara-negara tersebut untuk mengejar para teroris di manapun mereka berada.

Kejahatan di Ruang Siber (Cybercrime)

Dunia maya adalah ranah di mana konsep teritorial menjadi hampir tidak relevan. Seorang peretas di negara A dapat mencuri data dan uang dari seorang warga negara B yang sedang berlibur di negara C, menggunakan server yang berlokasi di negara D. Di mana locus delicti-nya? Dalam kekacauan yurisdiksi ini, kewarganegaraan korban menjadi salah satu titik taut yang paling logis dan stabil. Jika seorang WNI menjadi korban penipuan phishing, peretasan, atau pencurian identitas oleh pelaku yang beroperasi dari luar negeri, asas nasional pasif memberikan dasar bagi aparat penegak hukum Indonesia untuk menyelidiki dan, jika memungkinkan, menuntut pelaku. Ini adalah alat krusial untuk melindungi warga negara di era digital.

Kesimpulan: Menegaskan Kembali Peran Krusial Asas Nasional Pasif

Asas nasional pasif adalah sebuah prinsip yurisdiksi yang lahir dari kebutuhan untuk memastikan bahwa keadilan tidak berhenti di perbatasan negara. Meskipun penuh dengan tantangan dan kontroversi, asas ini berfungsi sebagai pelengkap vital bagi asas teritorial yang dominan. Ia bukanlah solusi untuk semua masalah kejahatan lintas batas, dan penerapannya harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghormati kedaulatan negara lain dan menghindari konflik hukum.

Namun, pada intinya, asas ini merupakan penegasan kuat atas kontrak sosial antara negara dan warganya. Ia mengirimkan pesan yang jelas: menjadi warga negara berarti berada di bawah payung perlindungan hukum negara, di manapun Anda berada. Di dunia yang semakin tanpa batas, di mana ancaman dapat datang dari mana saja, kemampuan negara untuk melindungi warganya dari kejahatan serius di luar negeri bukanlah sebuah kemewahan, melainkan sebuah keharusan. Asas nasional pasif, dengan segala kompleksitasnya, adalah salah satu instrumen hukum paling penting untuk mewujudkan perlindungan tersebut dan memastikan bahwa pencarian keadilan bagi para korban dapat melampaui batas-batas geografis.

🏠 Homepage