Membedah Asas Oportunitas: Keadilan di Persimpangan Hukum dan Kebijaksanaan
Dalam bentangan luas sistem peradilan pidana, terdapat sebuah prinsip yang seringkali memicu perdebatan sengit, sebuah konsep yang menempatkan hukum formal di satu sisi dan kebijaksanaan kolektif di sisi lain. Prinsip ini dikenal sebagai asas oportunitas. Ia adalah sebuah doktrin yang memberikan kewenangan kepada penuntut umum untuk tidak melanjutkan penuntutan suatu perkara pidana, meskipun bukti-bukti yang ada sudah cukup kuat untuk membawanya ke pengadilan. Keputusan ini tidak didasarkan pada kelemahan yuridis kasus tersebut, melainkan pada pertimbangan yang lebih luhur: "demi kepentingan umum".
Asas ini menjadi semacam katup pengaman dalam mesin hukum yang terkadang berjalan terlalu kaku. Jika hukum diibaratkan sebagai rel kereta yang lurus dan tanpa kompromi, maka asas oportunitas adalah wesel yang memungkinkan masinis—dalam hal ini Jaksa Agung—untuk membelokkan laju kereta demi menghindari bencana yang lebih besar di depan. Ini adalah manifestasi dari pemahaman bahwa keadilan tidak selalu identik dengan penghukuman. Terkadang, keadilan yang paling sejati adalah menahan diri dari penuntutan demi menjaga harmoni sosial, stabilitas nasional, atau nilai-nilai lain yang dianggap lebih esensial bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kehadirannya secara inheren menciptakan sebuah dualisme fundamental dengan asas legalitas, pilar lain dalam hukum pidana. Asas legalitas, dengan adagium terkenalnya "nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali", menuntut agar setiap perbuatan yang memenuhi unsur delik harus diproses tanpa kecuali. Ia adalah simbol kepastian hukum dan kesetaraan di hadapan hukum. Semua sama, semua harus diproses. Namun, realitas sosial seringkali jauh lebih kompleks daripada rumusan pasal dalam undang-undang. Di sinilah asas oportunitas hadir sebagai penyeimbang, menawarkan fleksibilitas yang sangat dibutuhkan untuk mencapai keadilan substantif, bukan sekadar keadilan prosedural.
Fondasi Filosofis dan Teoritis di Balik Diskresi Penuntutan
Untuk memahami mengapa asas oportunitas diperlukan, kita harus menelusuri akar filosofisnya. Prinsip ini tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari pergulatan panjang pemikiran hukum yang mencoba menjawab pertanyaan: apa tujuan akhir dari penegakan hukum pidana? Apakah semata-mata untuk memberikan hukuman (retribusi), atau ada tujuan yang lebih besar?
Utilitarianisme: Kemanfaatan sebagai Tolok Ukur
Salah satu fondasi terkuat asas oportunitas adalah aliran filsafat utilitarianisme, yang dipopulerkan oleh pemikir seperti Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Prinsip dasar utilitarianisme adalah bahwa tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan atau kemanfaatan terbesar bagi jumlah orang terbanyak (the greatest good for the greatest number). Dalam konteks hukum pidana, ini berarti bahwa keputusan untuk menuntut atau tidak menuntut tidak hanya dilihat dari kacamata kesalahan individu pelaku, tetapi juga dari dampaknya terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Bayangkan sebuah kasus di mana seorang ilmuwan muda yang brilian melakukan peretasan etis untuk menunjukkan kelemahan fatal dalam sistem keamanan negara. Secara hukum formal, tindakannya adalah kejahatan. Namun, jika penuntutan terhadapnya akan memadamkan potensinya untuk berkontribusi lebih besar bagi keamanan siber nasional di masa depan, atau bahkan memicu eksodus talenta digital, maka dari perspektif utilitarian, tidak menuntutnya mungkin membawa manfaat yang lebih besar. Kerugian dari satu tindak pidana yang tidak dihukum mungkin jauh lebih kecil dibandingkan keuntungan jangka panjang bagi masyarakat. Asas oportunitas menjadi instrumen untuk melakukan kalkulasi utilitarian ini.
Keadilan Restoratif vs. Keadilan Retributif
Sistem peradilan pidana modern semakin bergerak dari paradigma keadilan retributif (pembalasan) menuju keadilan restoratif (pemulihan). Keadilan retributif berfokus pada pertanyaan: "Hukum apa yang dilanggar? Siapa pelakunya? Hukuman apa yang pantas?" Sementara itu, keadilan restoratif bertanya: "Siapa yang dirugikan? Apa kebutuhan mereka? Siapa yang bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian tersebut?"
Asas oportunitas seringkali sejalan dengan semangat keadilan restoratif. Dalam beberapa kasus, melanjutkan proses peradilan hingga ke vonis justru dapat memperkeruh suasana, merusak hubungan sosial yang sudah ada, dan menciptakan luka baru tanpa benar-benar memulihkan kerugian korban. Misalnya, dalam konflik antarwarga di sebuah desa yang berujung pada tindak pidana ringan. Memenjarakan salah satu pihak bisa jadi menyulut dendam komunal yang lebih luas. Dalam situasi seperti ini, mengesampingkan perkara demi membuka jalan bagi mediasi, perdamaian adat, atau solusi restoratif lainnya adalah pilihan yang lebih bijaksana demi kepentingan umum yang lebih besar, yaitu kerukunan sosial.
Efisiensi Sistem Peradilan
Secara pragmatis, tidak ada sistem peradilan di dunia yang memiliki sumber daya tak terbatas. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan memiliki keterbatasan anggaran, waktu, dan personel. Jika asas legalitas diterapkan secara absolut, maka setiap pelanggaran, sekecil apa pun, harus diproses. Hal ini akan menyebabkan penumpukan perkara (backlog) yang luar biasa, membuat kasus-kasus serius dan penting menjadi terbengkalai.
Asas oportunitas berfungsi sebagai filter. Ia memungkinkan penuntut umum untuk memprioritaskan penanganan perkara. Kasus-kasus yang dampaknya kecil terhadap masyarakat, atau di mana biaya penuntutan jauh lebih besar daripada potensi manfaatnya, dapat dikesampingkan. Ini memungkinkan sistem untuk memfokuskan energinya pada kejahatan-kejahatan yang benar-benar mengancam ketertiban umum, seperti korupsi, terorisme, atau kejahatan narkotika skala besar. Dengan demikian, asas ini bukan hanya soal kebijaksanaan, tetapi juga soal manajemen sumber daya peradilan yang efektif.
Kerangka Hukum Asas Oportunitas di Indonesia
Di Indonesia, asas oportunitas tidak berdiri sendiri sebagai sebuah konsep abstrak. Ia dilembagakan secara konkret dalam peraturan perundang-undangan, yang memberikan landasan yuridis bagi pelaksanaannya. Meskipun sistem hukum pidana Indonesia secara umum menganut asas legalitas, keberadaan asas oportunitas menjadikannya sebuah sistem yang bersifat campuran atau "legalitas yang dimitigasi".
Kewenangan Eksklusif Jaksa Agung
Pilar utama penerapan asas oportunitas di Indonesia adalah Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Secara spesifik, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, kewenangan ini ditegaskan. Pasal 35 huruf c menyebutkan bahwa Jaksa Agung berwenang:
"mengesampingkan perkara demi kepentingan umum."
Frasa ini adalah jantung dari asas oportunitas di Indonesia. Beberapa poin penting yang dapat ditarik dari ketentuan ini adalah:
- Kewenangan Atributif: Wewenang ini diberikan langsung oleh undang-undang kepada jabatan Jaksa Agung.
- Sifat Eksklusif: Hanya Jaksa Agung, sebagai penuntut umum tertinggi, yang memiliki kewenangan ini. Jaksa di tingkat bawah tidak dapat mengambil keputusan ini secara mandiri. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar penggunaan wewenang yang luar biasa ini tetap terkendali, terpusat, dan dapat dipertanggungjawabkan di tingkat tertinggi.
- Syarat Tunggal: Satu-satunya syarat yang disebutkan secara eksplisit dalam pasal tersebut adalah "demi kepentingan umum".
Praktik pengesampingan perkara ini dikenal dengan istilah deponering atau seponering, yang berasal dari bahasa Belanda (deponeren). Keputusan deponering oleh Jaksa Agung bersifat final, menghentikan proses penuntutan secara permanen untuk perkara tersebut.
Menafsirkan "Kepentingan Umum": Sebuah Konsep yang Elastis
Tantangan terbesar dalam penerapan asas oportunitas adalah menafsirkan frasa "kepentingan umum". Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kepentingan umum? Undang-undang tidak memberikan definisi yang kaku dan terperinci, dan ini disengaja. Sifatnya yang fleksibel memungkinkan Jaksa Agung untuk menyesuaikan keputusannya dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi yang dinamis.
Namun, untuk menghindari subjektivitas yang liar, Penjelasan atas undang-undang tersebut memberikan beberapa panduan. Kepentingan umum diartikan sebagai kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Pengesampingan perkara dapat dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal seperti:
- Ancaman terhadap Stabilitas Nasional: Jika penuntutan suatu kasus berpotensi memicu kerusuhan massal, konflik horizontal, atau menggoyahkan stabilitas politik dan keamanan negara.
- Pertimbangan Ekonomi: Dalam kasus tertentu, melanjutkan penuntutan bisa jadi menghambat proyek strategis nasional, mengganggu iklim investasi, atau menyebabkan kerugian ekonomi yang jauh lebih besar bagi negara.
- Hubungan Internasional: Kasus yang melibatkan warga negara asing atau memiliki dimensi diplomatik mungkin perlu diselesaikan di luar jalur peradilan demi menjaga hubungan baik antarnegara.
- Perdamaian dan Keadilan Restoratif: Seperti yang telah dibahas sebelumnya, jika pengesampingan perkara lebih efektif dalam menciptakan perdamaian dan pemulihan bagi para pihak yang terlibat.
- Proporsionalitas: Ketika dampak negatif dari penuntutan (misalnya, hancurnya karier seseorang karena kesalahan kecil) dianggap tidak sebanding dengan tingkat kesalahan yang dilakukan.
Mekanisme dan Prosedur Pengambilan Keputusan
Keputusan untuk melakukan deponering bukanlah keputusan yang diambil dalam sekejap mata atau dalam kesendirian. Meskipun wewenang ada di tangan Jaksa Agung, undang-undang mensyaratkan sebuah proses konsultatif. Jaksa Agung harus memperhatikan saran dan pertimbangan dari lembaga negara lain yang terkait. Dalam praktiknya, Jaksa Agung akan meminta masukan dari:
- Lembaga Kekuasaan Kehakiman: Biasanya diwakili oleh Mahkamah Agung, untuk mendapatkan perspektif yudisial.
- Lembaga Kekuasaan Legislatif: Diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya komisi yang membidangi hukum, untuk mendapatkan perspektif politik dan representasi publik.
- Pemerintah (Kekuasaan Eksekutif): Diwakili oleh menteri terkait, seperti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, untuk mendapatkan pertimbangan dari sisi kebijakan pemerintah.
Penting untuk dicatat bahwa masukan dari lembaga-lembaga ini bersifat "saran dan pertimbangan", bukan persetujuan. Keputusan akhir tetap berada di tangan Jaksa Agung. Namun, proses ini memastikan adanya mekanisme checks and balances, di mana keputusan yang sangat krusial ini tidak diambil secara sepihak, melainkan setelah mendengar berbagai sudut pandang dari pilar-pilar negara lainnya. Ini menambah bobot legitimasi dan akuntabilitas pada keputusan yang diambil.
Dialektika Asas Oportunitas dan Asas Legalitas
Hukum pidana Indonesia hidup dalam sebuah tegangan kreatif antara dua kutub: kepastian (legalitas) dan kemanfaatan (oportunitas). Memahami dinamika antara keduanya adalah kunci untuk mengapresiasi kompleksitas penegakan hukum.
Kubu Legalitas: Argumen untuk Kepastian dan Kesetaraan
Para penganut murni asas legalitas berargumen bahwa hukum harus diterapkan secara konsisten dan tanpa pandang bulu. Bagi mereka, asas oportunitas membuka "kotak Pandora" yang berbahaya. Argumen utama mereka adalah:
- Merusak Kepastian Hukum: Jika penuntutan bersifat diskresioner, masyarakat akan kehilangan kepastian mengenai konsekuensi dari perbuatan mereka. Hukum menjadi tidak dapat diprediksi.
- Mencederai Rasa Keadilan Publik: Ketika seorang pelaku kejahatan yang buktinya sudah jelas tidak dituntut, hal ini dapat melukai rasa keadilan masyarakat, terutama korban. Muncul anggapan bahwa hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
- Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan (Abuse of Power): Kewenangan diskresioner yang besar di tangan satu pejabat sangat rentan terhadap penyalahgunaan. Keputusan bisa jadi didasarkan pada kepentingan politik, tekanan kelompok tertentu, atau bahkan korupsi, yang dibungkus dengan dalih "kepentingan umum".
- Melanggar Prinsip Kesetaraan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law): Asas oportunitas secara inheren menciptakan perlakuan yang berbeda. Dua orang yang melakukan tindak pidana yang sama bisa mendapatkan nasib yang berbeda: satu dituntut, yang lain tidak. Ini bertentangan dengan prinsip dasar negara hukum.
Kubu Oportunitas: Argumen untuk Fleksibilitas dan Keadilan Substantif
Di sisi lain, para pendukung asas oportunitas memandangnya sebagai sebuah keniscayaan dalam sistem hukum yang modern dan manusiawi. Mereka berpendapat bahwa penerapan asas legalitas yang kaku justru dapat menghasilkan ketidakadilan.
"Summum ius, summa iniuria." (Keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi).
Adagium Latin kuno ini sering dikutip untuk menggambarkan bahaya dari penerapan hukum yang buta terhadap konteks. Argumen mereka adalah:
- Mewujudkan Keadilan Substantif: Hukum bukan hanya tentang teks pasal, tetapi tentang roh keadilan. Asas oportunitas memungkinkan penegak hukum untuk melihat melampaui perbuatan itu sendiri dan mempertimbangkan konteks, niat, dan dampak sosial yang lebih luas.
- Alat untuk Mencapai Tujuan Hukum yang Lebih Tinggi: Tujuan hukum tidak hanya menghukum, tetapi juga mendidik, memulihkan, dan menjaga ketertiban. Dalam beberapa situasi, tidak menuntut adalah cara terbaik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
- Efisiensi dan Prioritas: Seperti yang telah dibahas, asas ini adalah alat manajemen perkara yang vital, memastikan sumber daya yang terbatas digunakan untuk kasus-kasus yang paling mendesak dan berdampak.
- Katup Pengaman Sosial: Dalam situasi sosial-politik yang tegang, penuntutan yang dipaksakan dapat menjadi "percikan api di padang ilalang". Asas oportunitas berfungsi sebagai katup pengaman untuk meredakan ketegangan dan mencegah eskalasi konflik.
Sistem hukum Indonesia, dengan mengakomodasi keduanya, pada dasarnya mencoba mengambil yang terbaik dari dua dunia. Asas legalitas menjadi aturan umum (rule), sementara asas oportunitas menjadi pengecualian (exception) yang dapat digunakan dalam situasi-situasi yang luar biasa dan dengan pertimbangan yang matang.
Penerapan dalam Praktik: Studi Kasus dan Kontroversi
Teori dan kerangka hukum asas oportunitas menjadi lebih hidup ketika dilihat melalui contoh-contoh nyata. Sejarah penegakan hukum di Indonesia telah mencatat beberapa penggunaan kewenangan deponering yang ikonik dan seringkali kontroversial.
Kasus Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Salah satu contoh paling terkenal dari penerapan deponering adalah terhadap kasus yang menjerat dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian dalam kasus yang berbeda-beda, yang muncul di tengah memanasnya hubungan antara KPK dan Polri (konflik "Cicak vs. Buaya"). Banyak pihak menilai kriminalisasi terhadap keduanya merupakan upaya pelemahan terhadap institusi pemberantasan korupsi.
Penetapan tersangka ini menimbulkan kegaduhan publik yang luar biasa. Muncul desakan kuat agar kasus ini dihentikan demi menyelamatkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi. Di tengah situasi ini, Jaksa Agung saat itu mengambil langkah berani untuk mengesampingkan perkara keduanya. Alasannya jelas berakar pada asas oportunitas: "kepentingan umum".
Jaksa Agung berargumen bahwa melanjutkan penuntutan terhadap pimpinan KPK akan melumpuhkan lembaga tersebut, merusak kepercayaan publik, dan menghambat upaya pemberantasan korupsi yang merupakan kepentingan nasional yang lebih besar. Kerugian yang timbul akibat terganggunya agenda pemberantasan korupsi dinilai jauh lebih masif daripada manfaat dari menuntut dua individu atas dugaan pidana yang relatif tidak sebanding. Keputusan ini, meskipun dipuji oleh banyak aktivis antikorupsi, juga tidak luput dari kritik. Pihak yang kontra berpendapat bahwa ini adalah preseden buruk yang menunjukkan bahwa pejabat tinggi bisa kebal hukum dengan dalih kepentingan umum.
Analisis Hipotetis: Dilema dalam Berbagai Skenario
Untuk lebih memahami cara kerja asas oportunitas, mari kita bayangkan beberapa skenario hipotetis:
- Skenario 1: Pencurian oleh Korban Bencana. Di tengah kekacauan pasca-bencana alam, seorang kepala keluarga yang kelaparan mencuri beberapa kaleng makanan dari sebuah toko yang sudah rusak. Bukti-bukti cukup, saksi ada. Menurut asas legalitas, ia harus dituntut. Namun, apakah kepentingan umum terlayani dengan memenjarakan korban bencana yang bertindak karena putus asa? Di sini, asas oportunitas memungkinkan jaksa untuk mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan kondisi darurat, lalu memutuskan untuk tidak menuntut demi keadilan yang lebih substantif.
- Skenario 2: Pelanggaran Hak Cipta oleh Pendidik. Seorang guru di daerah terpencil memfotokopi sebagian buku teks yang mahal untuk dibagikan kepada murid-muridnya yang tidak mampu membeli. Penerbit melaporkannya atas pelanggaran hak cipta. Secara hukum, ia bersalah. Namun, menuntut seorang guru yang berdedikasi dapat mematikan inisiatif pendidikan dan mengirimkan pesan yang salah kepada masyarakat. Kepentingan umum dalam hal ini adalah kemajuan pendidikan. Jaksa Agung dapat menggunakan asas oportunitas untuk mengesampingkan perkara ini, mungkin dengan solusi alternatif seperti mediasi dengan penerbit.
- Skenario 3: Ketegangan Antar-Etnis. Seorang pemuda dari satu kelompok etnis mengeluarkan ujaran yang menyinggung kelompok etnis lain dalam sebuah acara lokal, yang memicu kemarahan. Penuntutan berdasarkan undang-undang tentang penodaan atau ujaran kebencian bisa dilakukan. Namun, jika para tokoh adat dan masyarakat dari kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan masalah ini secara damai melalui ritual adat untuk memulihkan harmoni, apakah penuntutan pidana masih relevan? Melanjutkan proses hukum justru bisa memperuncing konflik. Mengesampingkan perkara demi mendukung proses perdamaian komunal adalah pilihan yang sangat mungkin diambil atas dasar kepentingan umum.
Skenario-skenario ini menunjukkan betapa asas oportunitas bukan sekadar alat hukum, melainkan juga instrumen kearifan sosial. Ia menuntut kepekaan yang tinggi dari penegak hukum untuk membaca konteks dan menimbang berbagai nilai yang saling bersaing.
Masa Depan Asas Oportunitas dan Arah Reformasi Hukum
Sebagai sebuah konsep yang penuh dengan potensi manfaat sekaligus risiko, asas oportunitas akan selalu menjadi bahan perdebatan dalam reformasi hukum pidana di Indonesia. Masa depannya bergantung pada bagaimana sistem hukum mampu merumuskan mekanisme yang dapat memaksimalkan sisi positifnya sambil memitigasi potensi penyalahgunaannya.
Perlunya Kriteria yang Lebih Jelas
Salah satu kritik utama adalah elastisitas dari frasa "kepentingan umum". Meskipun fleksibilitas itu penting, ketiadaan parameter yang lebih jelas dapat membuka celah untuk interpretasi yang sewenang-wenang. Reformasi ke depan bisa diarahkan untuk merumuskan kriteria atau pedoman yang lebih terperinci mengenai apa saja yang dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum. Ini bukan berarti membuat daftar yang kaku dan tertutup, melainkan memberikan kerangka kerja yang lebih transparan bagi Jaksa Agung dalam membuat pertimbangan. Pedoman ini bisa mencakup faktor-faktor seperti skala dampak sosial, tingkat kesalahan pelaku, posisi korban, dan adanya solusi alternatif di luar pengadilan.
Penguatan Mekanisme Pengawasan dan Akuntabilitas
Kekuasaan besar harus diimbangi dengan pengawasan yang kuat. Meskipun proses konsultasi dengan DPR dan MA sudah ada, perlu dipikirkan mekanisme pengawasan yang lebih efektif. Misalnya, dengan mewajibkan Jaksa Agung untuk mempublikasikan pertimbangan lengkap di balik setiap keputusan deponering kepada publik secara transparan. Selain itu, lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Kejaksaan atau Ombudsman dapat diberi peran yang lebih signifikan dalam mengawasi penggunaan wewenang ini. Akuntabilitas tidak hanya bersifat politis (kepada lembaga negara lain) tetapi juga harus bersifat publik (kepada masyarakat).
Desentralisasi Diskresi untuk Perkara Ringan?
Saat ini, wewenang deponering terpusat di tangan Jaksa Agung. Hal ini baik untuk perkara-perkara besar yang berdampak nasional. Namun, untuk ribuan perkara ringan (petty crime) di daerah, sentralisasi ini menjadi tidak efisien. Muncul wacana untuk memberikan kewenangan diskresi yang lebih terbatas kepada Kepala Kejaksaan Tinggi atau bahkan Kepala Kejaksaan Negeri untuk menghentikan penuntutan perkara-perkara sangat ringan berdasarkan prinsip keadilan restoratif. Tentu saja, ini harus diiringi dengan pedoman yang sangat ketat dan mekanisme pengawasan berlapis untuk mencegah penyalahgunaan di tingkat lokal.
Kesimpulan: Pedang Bermata Dua yang Membutuhkan Kearifan
Asas oportunitas adalah sebuah realitas yang tak terhindarkan dalam setiap sistem hukum yang ingin merespons dinamika masyarakat. Ia adalah jembatan antara teks hukum yang kaku dan denyut nadi keadilan di masyarakat. Ia adalah pengakuan bahwa hukum ada untuk manusia, bukan sebaliknya. Di satu sisi, ia adalah alat yang sangat diperlukan untuk mencapai kemanfaatan, efisiensi, dan keadilan substantif. Di sisi lain, ia adalah "pedang bermata dua" yang jika digunakan tanpa integritas, transparansi, dan akuntabilitas, dapat berbalik melukai prinsip negara hukum itu sendiri.
Tantangan bagi Indonesia bukanlah memilih antara asas legalitas atau asas oportunitas secara absolut, melainkan bagaimana menyeimbangkan keduanya secara harmonis. Bagaimana membangun sebuah sistem di mana diskresi tidak menjadi kesewenang-wenangan, di mana kepentingan umum benar-benar menjadi suara kolektif, bukan tameng bagi kepentingan segelintir orang. Pada akhirnya, efektivitas asas oportunitas tidak hanya terletak pada bunyi pasalnya, tetapi pada kearifan, integritas, dan keberanian para penegak hukum yang memegangnya, terutama Jaksa Agung sebagai penjaga gerbang terakhir sebelum sebuah perkara dibawa ke meja hijau.