Arisan, sebuah kegiatan sosial ekonomi yang sangat lazim di Indonesia, melibatkan pengumpulan uang secara berkala dari sekelompok orang yang kemudian dibagikan kepada salah satu anggota secara bergilir. Meskipun berakar kuat dalam tradisi gotong royong, seiring berkembangnya skala arisan menjadi lebih besar dan melibatkan nominal yang signifikan, pertanyaan mengenai aspek legalitas dan hukum arisan uang seringkali muncul ke permukaan. Apakah arisan murni aktivitas sosial ataukah ia bersinggungan dengan ranah hukum, terutama terkait praktik keuangan?
Arisan: Simpan Pinjam atau Kegiatan Sosial Biasa?
Secara yuridis, hukum di Indonesia membedakan antara kegiatan sosial biasa dengan praktik penghimpunan dana yang diatur ketat oleh undang-undang, seperti lembaga keuangan mikro atau koperasi. Arisan tradisional umumnya dipandang sebagai perjanjian sukarela antar anggota yang didasari kepercayaan (asas pacta sunt servanda). Karena sifatnya yang informal dan berbasis komunitas, arisan seringkali tidak terdaftar secara resmi sebagai badan hukum.
Namun, titik kritis muncul ketika arisan tersebut mulai menyerupai kegiatan penghimpunan dana masyarakat (public funding) atau praktik pinjam meminjam yang sistematis dan masif. Jika sebuah arisan dikelola oleh pihak yang mengumpulkan dana dari masyarakat luas tanpa izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Bank Indonesia, aktivitas tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Perbankan atau peraturan lain terkait penghimpunan dana.
Risiko Hukum dan Perlindungan Hukum
Ketika terjadi perselisihan, misalnya seorang anggota kabur dengan uang arisan (gondol) atau gagal membayar, penegakan hukum menjadi kabur jika tidak ada perjanjian tertulis yang mengikat. Dalam konteks hukum perdata, perjanjian arisan dapat dikategorikan sebagai perjanjian pengikatan jual beli barang atau jasa di masa depan, namun seringkali sulit dibuktikan di pengadilan tanpa bukti otentik.
Bagi penyelenggara arisan yang mengelola dana besar, risiko terjerat kasus penipuan (Pasal 378 KUHP) atau penggelapan sangat tinggi, terutama jika arisan tersebut menggunakan skema yang menyerupai skema Ponzi (skema piramida) di mana pembayaran anggota lama didanai oleh setoran anggota baru. Dalam kasus ini, otoritas hukum akan melihat niat dan struktur operasional arisan tersebut. Jika terbukti memiliki unsur penipuan, sanksi pidana dapat diterapkan.
Pentingnya Dokumentasi dalam Hukum Arisan Uang
Untuk memitigasi risiko hukum, baik bagi yang membayar maupun yang menerima giliran, sangat disarankan agar setiap arisan, terlepas dari seberapa erat hubungan antar anggotanya, memiliki perjanjian tertulis. Perjanjian ini sebaiknya mencakup:
- Nama lengkap dan identitas semua peserta.
- Jumlah iuran dan frekuensi pembayaran.
- Mekanisme penentuan urutan penerima (misalnya, undian atau kesepakatan).
- Konsekuensi keterlambatan atau gagal bayar.
- Mekanisme penyelesaian sengketa (mediasi atau pilihan pengadilan).
Meskipun perjanjian tertulis tidak mengubah sifat dasar arisan dari kegiatan sosial menjadi lembaga keuangan formal, ia memberikan dasar hukum yang kuat dalam ranah perdata untuk menuntut hak atau ganti rugi jika terjadi wanprestasi antar anggota.
Kesimpulan
Secara umum, arisan yang berskala kecil dan berbasis kepercayaan antar kenalan dekat cenderung berada di wilayah abu-abu hukum, lebih mengandalkan norma sosial. Namun, seiring meningkatnya nominal dan jumlah peserta, penting untuk selalu sadar akan batas-batas hukum, terutama agar tidak melanggar larangan penghimpunan dana tanpa izin. Pemahaman yang jelas mengenai hukum arisan uang adalah kunci untuk menjaga kegiatan ini tetap aman dan tidak berujung pada masalah hukum serius. Selalu utamakan transparansi dan buatlah kesepakatan yang solid sebelum dana mulai dikumpulkan.