Ikon Hukum dan Keadilan

Membedah Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Pendahuluan: Fondasi Negara Hukum

Dalam sebuah negara yang berlandaskan hukum (rechtstaat), setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh serangkaian norma hukum yang tertulis. Norma-norma ini tidak lahir dari ruang hampa, melainkan melalui sebuah proses yang sistematis, logis, dan terstruktur yang dikenal sebagai pembentukan peraturan perundang-undangan. Proses ini bukan sekadar kegiatan teknis merangkai kata menjadi pasal-pasal, melainkan sebuah seni dan ilmu yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip fundamental yang disebut asas. Asas-asas ini berfungsi sebagai jiwa, pemandu, dan sekaligus batu uji bagi setiap produk hukum yang dihasilkan. Tanpa berpegang pada asas-asas ini, sebuah peraturan berisiko menjadi tirani teks yang menindas, tidak dapat dilaksanakan, atau bahkan bertentangan dengan tujuan luhur negara itu sendiri.

Memahami asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah krusial, tidak hanya bagi para legislator, ahli hukum, atau birokrat, tetapi juga bagi seluruh warga negara. Pemahaman ini membuka wawasan tentang bagaimana hukum yang mengatur kehidupan kita sehari-hari dirancang, mengapa suatu aturan dibuat dengan cara tertentu, dan bagaimana kita dapat menilai kualitas produk hukum tersebut. Asas-asas ini adalah cerminan dari nilai-nilai filosofis, sosiologis, dan yuridis yang dianut oleh sebuah bangsa. Mereka adalah jembatan yang menghubungkan antara cita-cita keadilan (ius constituendum) dengan hukum positif yang berlaku (ius constitutum). Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif mengenai asas-asas esensial yang menjadi pilar dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, menjadikannya sebuah bangunan hukum yang kokoh, adil, dan bermanfaat bagi masyarakat.

Asas-Asas Formal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Secara garis besar, asas pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama: asas formal dan asas materiil. Asas formal berkaitan dengan prosedur, tata cara, dan bentuk luar dari suatu peraturan. Ia memastikan bahwa proses lahirnya sebuah hukum telah mengikuti kaidah yang benar. Sementara itu, asas materiil menyangkut substansi atau isi dari peraturan tersebut. Keduanya sama pentingnya dan tidak dapat dipisahkan. Berikut adalah penjelajahan mendalam terhadap asas-asas formal yang menjadi kerangka kerja utama dalam legislasi.

1. Asas Kejelasan Tujuan (Clarity of Purpose)

Setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki tujuan yang jelas dan spesifik yang hendak dicapai. Asas ini menempati posisi pertama karena ia adalah titik tolak dari seluruh proses legislasi. Tanpa tujuan yang jernih, sebuah undang-undang atau peraturan akan kehilangan arah dan relevansinya. Kejelasan tujuan bukan hanya berarti mencantumkan kalimat "tujuan dari peraturan ini adalah..." pada bagian awal, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang masalah apa yang ingin dipecahkan, kondisi ideal apa yang ingin diwujudkan, dan dampak apa yang diharapkan dari kehadiran peraturan tersebut.

Dalam praktiknya, asas ini diwujudkan melalui penyusunan Naskah Akademik atau kajian latar belakang yang komprehensif. Dokumen ini secara ilmiah menguraikan urgensi, sasaran yang ingin dicapai, ruang lingkup pengaturan, dan alternatif solusi yang telah dipertimbangkan. Naskah Akademik menjadi kompas yang memandu para penyusun draf agar tetap fokus pada akar permasalahan. Misalnya, jika tujuannya adalah mengurangi sampah plastik, maka seluruh materi muatan peraturan harus secara koheren mengarah pada pencapaian tujuan tersebut, mulai dari larangan, insentif daur ulang, hingga sanksi.

Sebuah peraturan tanpa tujuan yang jelas ibarat kapal tanpa kompas; ia mungkin berlayar, tetapi tidak akan pernah sampai ke pelabuhan yang dituju. Ia hanya akan berputar-putar di lautan masalah, bahkan mungkin menciptakan masalah baru.

Pelanggaran terhadap asas kejelasan tujuan sering kali menghasilkan produk hukum yang tumpang tindih, multitafsir, dan sulit diimplementasikan. Peraturan semacam ini hanya akan menjadi beban administratif tanpa memberikan solusi yang efektif. Oleh karena itu, perumusan tujuan yang tajam, terukur, dan realistis adalah langkah fundamental pertama yang tidak dapat ditawar dalam pembentukan hukum yang berkualitas.

2. Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat (Appropriate Institution or Official)

Hukum adalah produk dari otoritas yang sah. Asas ini menegaskan bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang memang memiliki kewenangan untuk itu berdasarkan konstitusi atau peraturan yang lebih tinggi. Kewenangan ini tidak dapat diasumsikan atau diambil alih sewenang-wenang. Hierarki dan pembagian kewenangan antar lembaga negara adalah pilar utama dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

Sebagai contoh, kewenangan untuk membentuk Undang-Undang (UU) berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. Pemerintah diberikan wewenang untuk menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan dari UU. Gubernur memiliki wewenang membuat Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, dan Bupati/Walikota memiliki wewenang membuat Perda Kabupaten/Kota. Jika sebuah kementerian mengeluarkan peraturan yang materinya seharusnya diatur setingkat Undang-Undang, maka peraturan tersebut cacat secara formil dan dapat dibatalkan melalui mekanisme uji materiil (judicial review).

Asas ini tidak hanya berbicara tentang siapa yang berwenang, tetapi juga memastikan bahwa ada mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam prosesnya. Keterlibatan lebih dari satu lembaga, seperti antara DPR dan Presiden dalam pembuatan UU, dirancang untuk memastikan bahwa produk hukum yang dihasilkan merupakan hasil dari pertimbangan yang matang dari berbagai perspektif. Kepatuhan pada asas ini adalah jaminan keabsahan dan legitimasi sebuah peraturan di mata hukum dan masyarakat.

3. Asas Kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan (Consistency of Type, Hierarchy, and Content)

Asas ini merupakan jantung dari sistem hukum yang tertata. Ia mengandung tiga elemen yang saling terkait: jenis, hierarki, dan materi muatan.

Kepatuhan pada asas ini menciptakan harmoni dan kepastian hukum. Bayangkan sebuah orkestra di mana setiap instrumen memainkan nadanya sendiri tanpa mengikuti partitur sang konduktor; yang terdengar bukanlah simfoni, melainkan kebisingan. Demikian pula sistem hukum. Jika setiap peraturan dibuat tanpa memperhatikan kesesuaian dengan peraturan lain, yang terjadi adalah kekacauan hukum (legal chaos), di mana warga negara dan aparat penegak hukum bingung aturan mana yang harus diikuti. Oleh karena itu, sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan menjadi sebuah keniscayaan untuk menjaga ketertiban hukum.

4. Asas Dapat Dilaksanakan (Implementable/Enforceable)

Hukum dibuat bukan untuk menjadi pajangan di lembaran negara, melainkan untuk ditaati dan ditegakkan dalam kehidupan nyata. Asas "dapat dilaksanakan" atau asas efektivitas hukum menuntut agar setiap peraturan yang dibuat harus mempertimbangkan realitas di lapangan. Perumus peraturan harus memikirkan secara cermat: apakah peraturan ini secara sosiologis dapat diterima oleh masyarakat? Apakah secara teknis dapat diimplementasikan oleh aparat? Apakah tersedia sumber daya (manusia, anggaran, sarana) yang cukup untuk menjalankannya?

Sebuah peraturan yang menetapkan standar yang terlalu idealis dan mustahil untuk dipenuhi hanya akan menjadi "macan kertas". Contohnya, peraturan yang mewajibkan semua industri kecil untuk menggunakan teknologi pengolahan limbah super canggih yang biayanya sangat mahal tanpa memberikan solusi pendanaan atau insentif. Peraturan semacam ini, meskipun tujuannya baik, akan gagal total dalam pelaksanaannya. Ia tidak akan ditaati, sulit diawasi, dan pada akhirnya hanya akan melemahkan wibawa hukum itu sendiri.

Untuk memenuhi asas ini, pembentuk peraturan perlu melakukan studi kelayakan, mendengar masukan dari para pemangku kepentingan yang akan terdampak, dan merancang mekanisme implementasi yang realistis. Peraturan harus dirumuskan dengan memperhitungkan kapasitas kelembagaan, kondisi sosial-ekonomi masyarakat, serta potensi kendala yang mungkin muncul. Dengan kata lain, hukum harus membumi dan berpijak pada kenyataan.

5. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan (Effectiveness and Efficiency)

Asas ini berkaitan erat dengan asas dapat dilaksanakan, namun dengan penekanan yang sedikit berbeda. Kedayagunaan (efektivitas) berarti peraturan tersebut benar-benar mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kehasilgunaan (efisiensi) berarti tujuan tersebut dicapai dengan menggunakan sumber daya sesedikit mungkin, baik dari segi waktu, biaya, maupun tenaga. Sebuah peraturan harus dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat dan memberikan manfaat yang nyata.

Sebelum membuat peraturan baru, legislator harus bertanya: apakah masalah ini belum bisa diselesaikan dengan peraturan yang sudah ada? Apakah membuat aturan baru adalah satu-satunya solusi? Jangan sampai negara mengalami "obesitas regulasi", di mana terlalu banyak peraturan yang tumpang tindih, saling bertentangan, dan justru menghambat inovasi serta aktivitas ekonomi masyarakat. Proses deregulasi dan penyederhanaan peraturan seringkali sama pentingnya dengan membuat peraturan baru.

Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan menuntut adanya evaluasi dampak regulasi (Regulatory Impact Assessment) sebelum dan sesudah peraturan ditetapkan. Evaluasi ini mengukur secara objektif apakah manfaat yang dihasilkan dari sebuah peraturan lebih besar daripada biaya (beban) yang ditimbulkannya bagi masyarakat dan negara. Dengan demikian, setiap peraturan yang ada dalam sistem hukum kita adalah peraturan yang benar-benar berdaya guna dan berhasil guna.

6. Asas Kejelasan Rumusan (Clarity of Formulation)

Asas ini adalah tentang teknis penulisan hukum (legal drafting). Sebuah peraturan harus dirumuskan dalam bahasa yang jelas, lugas, tegas, dan tidak menimbulkan makna ganda (ambigu). Kepastian hukum sangat bergantung pada kejelasan rumusan. Jika sebuah pasal dapat ditafsirkan secara berbeda-beda, maka ia akan menjadi sumber sengketa dan ketidakpastian.

Untuk mencapai kejelasan rumusan, ada beberapa kaidah yang harus diikuti:

Asas kejelasan rumusan adalah benteng pertahanan terakhir melawan kesewenang-wenangan interpretasi. Hukum yang ditulis dengan buruk membuka pintu bagi aparat yang korup untuk "mempermainkan" pasal atau bagi masyarakat untuk mencari celah hukum. Oleh karena itu, keterampilan dalam merumuskan naskah hukum adalah kompetensi vital yang harus dimiliki oleh setiap legislator dan perancang peraturan.

7. Asas Keterbukaan (Openness/Transparency)

Di era demokrasi, pembentukan hukum tidak boleh lagi menjadi proses yang eksklusif dan tertutup di menara gading kekuasaan. Asas keterbukaan menuntut agar seluruh tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan, harus dapat diakses oleh publik. Keterbukaan adalah wujud dari kedaulatan rakyat, di mana warga negara berhak untuk mengetahui dan berpartisipasi dalam pembentukan hukum yang akan mengatur hidup mereka.

Partisipasi publik bukanlah sekadar formalitas, melainkan sebuah kebutuhan substantif. Masukan, kritik, dan saran dari masyarakat, akademisi, praktisi, dan kelompok yang terkena dampak langsung dapat memperkaya materi muatan peraturan, mengidentifikasi potensi masalah yang mungkin luput dari perhatian perumus, dan meningkatkan rasa kepemilikan (sense of ownership) masyarakat terhadap peraturan tersebut. Ketika masyarakat merasa dilibatkan, tingkat kepatuhan terhadap hukum cenderung akan lebih tinggi.

Implementasi asas keterbukaan dapat berupa:

Keterbukaan adalah antitesis dari pembuatan peraturan yang koruptif atau yang hanya melayani kepentingan segelintir kelompok. Dengan membuka prosesnya kepada publik, potensi penyalahgunaan wewenang dapat diminimalisir. Asas ini memastikan bahwa hukum yang lahir adalah benar-benar produk kehendak bersama yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Asas-Asas Materiil: Jiwa dari Sebuah Peraturan

Jika asas formal adalah raganya, maka asas materiil adalah jiwanya. Asas-asas ini menyangkut substansi atau konten dari peraturan dan mencerminkan nilai-nilai dasar yang harus terkandung dalam setiap produk hukum. Asas materiil memastikan bahwa hukum tidak hanya benar secara prosedur, tetapi juga baik dan adil secara substansi.

1. Asas Pengayoman

Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan (pengayoman) dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat. Hukum tidak boleh dibuat untuk menakut-nakuti atau menindas, melainkan untuk melindungi hak-hak setiap individu, memberikan rasa aman, dan menjaga keseimbangan dalam interaksi sosial. Hukum harus menjadi payung yang menaungi semua warga negara tanpa terkecuali, terutama kelompok rentan.

2. Asas Kemanusiaan

Materi muatan peraturan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap orang secara universal. Hukum tidak boleh bersifat diskriminatif, merendahkan, atau bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Asas ini merupakan penjabaran dari sila kedua Pancasila.

3. Asas Kebangsaan

Peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan. Hukum harus mampu merawat kebhinekaan, memperkuat persatuan, dan mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan.

4. Asas Kekeluargaan

Asas ini menghendaki agar materi muatan peraturan mencerminkan semangat musyawarah untuk mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Hubungan antara negara dan warga negara, serta antar warga negara, harus dilandasi oleh semangat kebersamaan, gotong royong, dan toleransi, sebagaimana layaknya dalam sebuah keluarga besar.

5. Asas Kenusantaraan

Setiap peraturan yang dibuat, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia. Materi muatannya harus menjadi bagian dari upaya untuk menjaga kesatuan dalam aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan. Laut, darat, dan udara dalam wilayah nusantara dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh.

6. Asas Bhinneka Tunggal Ika

Materi muatan peraturan harus memperhatikan keragaman penduduk, baik dari segi agama, suku, ras, golongan, maupun kondisi khusus daerah. Meskipun berbeda-beda, semuanya tetap merupakan satu kesatuan bangsa. Hukum harus menjadi instrumen yang merajut persatuan dalam keragaman, bukan menyeragamkan secara paksa.

7. Asas Keadilan

Ini adalah salah satu asas paling fundamental. Setiap materi muatan peraturan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Keadilan di sini mencakup keadilan distributif (pembagian sumber daya), keadilan prosedural (proses yang adil), dan keadilan korektif (pemulihan hak). Hukum tidak boleh memihak dan harus berlaku sama bagi semua orang.

8. Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan

Asas ini menegaskan bahwa tidak ada warga negara yang kebal hukum. Setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya. Peraturan tidak boleh memberikan perlakuan istimewa atau diskriminatif berdasarkan status sosial, ekonomi, atau jabatan.

9. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum

Setiap peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Warga negara harus bisa mengetahui dengan pasti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta apa konsekuensi hukum dari perbuatannya. Kepastian hukum adalah pilar utama bagi stabilitas sosial dan iklim investasi yang sehat.

10. Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan

Asas ini menuntut agar materi muatan peraturan mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu, masyarakat, dan negara. Hukum harus mampu menjadi penengah yang adil, menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, serta menyelaraskan antara kemajuan materiil dengan nilai-nilai spiritual.

Kesimpulan: Menuju Legislasi yang Berkualitas

Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah sebuah proses kompleks yang sarat dengan tanggung jawab. Ia bukanlah sekadar exercise kekuasaan, melainkan amanah untuk menata kehidupan bersama menuju cita-cita bangsa. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, baik yang bersifat formal maupun materiil, hadir sebagai panduan etis dan teknis untuk memastikan bahwa setiap produk hukum yang lahir memiliki legitimasi, kualitas, dan keadilan.

Kepatuhan terhadap asas-asas ini adalah kunci untuk menghasilkan peraturan yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga efektif dalam menyelesaikan masalah, dapat diterima oleh masyarakat, dan berpihak pada kebenaran. Mengabaikan asas-asas ini sama saja dengan membangun sebuah rumah tanpa fondasi yang kokoh; ia mungkin terlihat megah untuk sesaat, tetapi pada akhirnya akan rapuh dan mudah runtuh. Oleh karena itu, komitmen seluruh pemangku kepentingan—legislator, pemerintah, dan masyarakat—untuk senantiasa memegang teguh asas pembentukan peraturan perundang-undangan adalah sebuah keniscayaan dalam perjalanan kita membangun peradaban hukum yang lebih baik.

🏠 Homepage