Hukum pidana merupakan salah satu cabang ilmu hukum yang paling fundamental dalam struktur sebuah negara. Ia berfungsi sebagai ultimum remedium, atau upaya terakhir, dalam menjaga ketertiban sosial, melindungi kepentingan umum dan individu, serta menegakkan keadilan. Namun, kekuasaan negara untuk menghukum warganya bukanlah kekuasaan yang tanpa batas. Untuk mencegah kesewenang-wenangan dan menjamin hak-hak asasi manusia, hukum pidana dibangun di atas serangkaian pilar atau fondasi yang kokoh. Fondasi inilah yang dikenal sebagai asas-asas hukum pidana.
Asas hukum pidana adalah prinsip-prinsip dasar yang menjadi jiwa dan landasan bagi setiap norma hukum pidana. Asas-asas ini tidak hanya memandu pembentuk undang-undang dalam merumuskan peraturan, tetapi juga menjadi pedoman bagi hakim dalam menafsirkan dan menerapkan hukum, serta bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Memahami asas-asas ini secara mendalam berarti memahami esensi dari keadilan pidana itu sendiri, yaitu bagaimana negara menyeimbangkan antara kebutuhan untuk menindak kejahatan dengan kewajiban untuk melindungi setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan.
Artikel ini akan mengupas secara komprehensif berbagai asas fundamental dalam hukum pidana, mulai dari asas legalitas yang menjadi benteng utama kepastian hukum, hingga asas teritorialitas dan personalitas yang mengatur jangkauan berlakunya hukum pidana. Kita juga akan menyelami asas tiada pidana tanpa kesalahan, praduga tak bersalah, dan ne bis in idem, yang kesemuanya bertujuan untuk memastikan proses peradilan yang adil dan manusiawi. Melalui pembahasan yang mendalam, kita akan melihat bagaimana prinsip-prinsip ini saling terkait dan membentuk sebuah sistem yang utuh demi tercapainya tujuan luhur hukum pidana.
1. Asas Legalitas (Principle of Legality)
Asas legalitas dapat dianggap sebagai jantung dari hukum pidana modern. Asas ini merupakan benteng utama yang melindungi individu dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Adagium Latin yang merangkum esensi asas ini, yang dipopulerkan oleh Anselm von Feuerbach, berbunyi: Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Artinya, tidak ada delik (tindak pidana), tidak ada pidana, tanpa peraturan pidana yang mendahuluinya.
Di Indonesia, asas ini secara tegas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan, "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan." Dari rumusan ini, kita dapat menarik beberapa konsekuensi atau elemen penting yang terkandung dalam asas legalitas.
a. Peraturan Pidana Harus Tertulis (Lex Scripta)
Konsekuensi pertama adalah bahwa hukum pidana haruslah tertulis dalam bentuk undang-undang. Seseorang tidak dapat dituntut dan dipidana berdasarkan hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Hal ini menjamin adanya kepastian hukum (legal certainty). Setiap orang dapat mengetahui secara pasti perbuatan apa saja yang dilarang dan diancam dengan pidana dengan cara membaca undang-undang. Ini menciptakan transparansi dan prediktabilitas dalam sistem hukum. Tanpa adanya aturan tertulis, hakim dapat menjadi "pencipta hukum" yang sewenang-wenang, menghukum perbuatan yang menurut pandangan subjektifnya tercela, meskipun tidak pernah dilarang secara eksplisit oleh negara.
b. Peraturan Pidana Tidak Boleh Berlaku Surut (Lex Praevia/Asas Non-Retroaktif)
Ini adalah inti dari asas legalitas. Seseorang hanya dapat dihukum atas perbuatan yang pada saat dilakukan sudah dinyatakan sebagai tindak pidana oleh undang-undang. Undang-undang pidana tidak boleh diberlakukan mundur untuk menjerat perbuatan yang terjadi sebelum undang-undang tersebut ada. Prinsip ini sangat fundamental untuk keadilan. Bayangkan betapa tidak adilnya jika seseorang melakukan perbuatan yang pada saat itu legal, namun beberapa waktu kemudian perbuatan tersebut dijadikan tindak pidana dan ia dituntut atas perbuatannya di masa lalu. Asas ini menjamin bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk menyesuaikan perilakunya dengan hukum yang berlaku saat itu.
Pengecualian Penting: Asas Perubahan Peraturan yang Meringankan (Lex Favorabilis)
Pasal 1 ayat (2) KUHP memberikan sebuah pengecualian penting terhadap asas non-retroaktif. Jika terjadi perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka kepada terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkan (meringankan) baginya. Misalnya, jika saat perbuatan dilakukan, ancaman pidananya adalah 10 tahun, namun saat diadili, undang-undang baru mengubah ancamannya menjadi 5 tahun, maka yang diterapkan adalah ancaman pidana 5 tahun. Pengecualian ini didasarkan pada rasa keadilan, di mana negara dianggap tidak lagi memiliki kepentingan untuk menjatuhkan pidana yang berat jika pandangan masyarakat (yang tecermin dalam undang-undang baru) telah berubah.
c. Rumusan Peraturan Pidana Harus Jelas (Lex Certa)
Undang-undang pidana harus dirumuskan secara jelas, tegas, dan tidak multitafsir (ambigu). Perumusan delik yang kabur atau "pasal karet" sangat berbahaya karena membuka ruang bagi penafsiran yang sewenang-wenang oleh penegak hukum. Jika warga negara tidak dapat memahami dengan pasti batas antara perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, maka fungsi hukum sebagai panduan tingkah laku menjadi gagal. Asas lex certa menuntut agar pembuat undang-undang merumuskan delik sepresisi mungkin, sehingga tidak ada keraguan tentang elemen-elemen apa saja yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai tindak pidana.
d. Larangan Menggunakan Analogi (Lex Stricta)
Hakim dilarang memperluas cakupan suatu ketentuan pidana dengan menggunakan analogi untuk menghukum perbuatan yang tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang. Analogi berarti menerapkan suatu aturan hukum pada suatu peristiwa yang tidak diatur secara langsung, tetapi dianggap memiliki kemiripan esensial dengan peristiwa yang diatur. Dalam hukum pidana, penggunaan analogi untuk memberatkan terdakwa (in malam partem) secara ketat dilarang karena hal itu sama saja dengan menciptakan delik baru, yang merupakan wewenang legislatif, bukan yudikatif. Hakim hanya diperbolehkan melakukan penafsiran (interpretasi) terhadap undang-undang yang ada, bukan melampaui batas-batas teksnya untuk menghukum perbuatan yang tidak diatur.
2. Asas Teritorial (Principle of Territoriality)
Asas teritorial adalah prinsip yang paling mendasar dalam menentukan lingkup berlakunya hukum pidana suatu negara. Asas ini menegaskan kedaulatan negara atas wilayahnya. Sederhananya, asas teritorial menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah teritorial Republik Indonesia.
Landasan yuridis asas ini adalah Pasal 2 KUHP: "Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia." Kata kunci dalam pasal ini adalah "setiap orang" dan "di Indonesia".
- "Setiap orang" berarti hukum pidana Indonesia tidak membedakan kewarganegaraan pelaku. Baik Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia akan tunduk pada hukum pidana Indonesia.
- "Di Indonesia" merujuk pada wilayah kedaulatan negara. Ini tidak hanya mencakup daratan, tetapi juga perairan (laut teritorial sejauh 12 mil laut dari garis pangkal), dan ruang udara di atasnya. Selain itu, berdasarkan prinsip fiksi hukum, kapal berbendera Indonesia di laut lepas dan pesawat terbang beregistrasi Indonesia di ruang udara bebas juga dianggap sebagai wilayah Indonesia.
Penentuan Lokasi Tindak Pidana (Locus Delicti)
Terkadang, menentukan di mana suatu tindak pidana terjadi tidaklah sederhana. Misalnya, seseorang menembak dari wilayah negara A dan pelurunya mengenai korban di wilayah negara B. Di manakah tindak pidana itu terjadi? Untuk menjawab ini, ilmu hukum pidana mengenal beberapa teori:
- Teori Perbuatan Jasmaniah (Leer van de lichamelijke daad): Locus delicti adalah tempat di mana pelaku melakukan perbuatan fisik yang dilarang. Dalam contoh di atas, lokasinya adalah di negara A.
- Teori Akibat (Leer van het gevolg): Locus delicti adalah tempat di mana akibat yang dilarang oleh undang-undang timbul. Dalam contoh tersebut, lokasinya adalah di negara B.
- Teori Alat (Leer van het instrument): Locus delicti adalah tempat di mana alat yang digunakan oleh pelaku bekerja atau menimbulkan akibat. Ini relevan dalam kasus seperti pengiriman bom paket.
Hukum pidana Indonesia cenderung menganut pandangan yang luas (ubiquitas), di mana tindak pidana dianggap terjadi di semua tempat tersebut. Ini memberikan fleksibilitas bagi penegak hukum untuk melakukan penuntutan, baik di tempat perbuatan dilakukan maupun di tempat akibatnya timbul. Ini sangat relevan di era kejahatan siber, di mana pelaku bisa berada di satu negara, server di negara lain, dan korban di Indonesia.
3. Asas Nasionalitas Aktif atau Asas Personalitas
Berbeda dengan asas teritorial yang berpatokan pada lokasi kejahatan, asas nasionalitas aktif menjadikan kewarganegaraan pelaku sebagai titik tolaknya. Asas ini menyatakan bahwa hukum pidana Indonesia tetap berlaku bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang melakukan tindak pidana tertentu di luar negeri.
Dasar hukumnya adalah Pasal 5 KUHP. Prinsip ini sering digambarkan seolah-olah hukum pidana nasional "mengikuti" ke mana pun warganya pergi. Tujuannya adalah untuk mencegah WNI menghindari pertanggungjawaban pidana dengan melakukan kejahatan di negara lain, terutama jika negara tempat kejahatan dilakukan tidak menuntutnya atau memiliki sistem hukum yang sangat berbeda. Asas ini juga bertujuan menjaga nama baik bangsa di mata dunia internasional.
Namun, penerapan asas ini tidaklah tanpa batas. Pasal 5 KUHP membatasi penerapannya pada tindak pidana tertentu yang dianggap serius (kejahatan/misdrijven), bukan pada semua jenis pelanggaran (overtredingen). Selain itu, seringkali dalam praktiknya, diperlukan syarat "kriminalitas ganda" (double criminality), yang berarti perbuatan tersebut juga harus merupakan tindak pidana menurut hukum negara tempat perbuatan itu dilakukan, meskipun syarat ini tidak secara eksplisit tertulis di semua ketentuan.
4. Asas Nasionalitas Pasif atau Asas Perlindungan
Jika asas nasionalitas aktif berfokus pada kewarganegaraan pelaku, maka asas nasionalitas pasif berfokus pada objek atau kepentingan yang dilanggar. Asas ini menyatakan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa pun (baik WNI maupun WNA) yang melakukan tindak pidana di luar negeri, yang perbuatannya tersebut merugikan kepentingan nasional atau keamanan negara Republik Indonesia.
Asas perlindungan ini diatur dalam Pasal 4 KUHP. Logikanya adalah bahwa setiap negara memiliki hak dan kewajiban untuk melindungi eksistensi dan kepentingan vitalnya, di mana pun ancaman itu berasal. Kepentingan yang dilindungi oleh asas ini bersifat sangat fundamental.
Contoh tindak pidana yang jatuh dalam cakupan asas ini antara lain:
- Kejahatan terhadap keamanan negara (misalnya, makar atau spionase terhadap Indonesia yang direncanakan di luar negeri).
- Pemalsuan mata uang atau surat berharga yang dikeluarkan oleh negara Indonesia.
- Pemalsuan meterai, cap, atau merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia.
- Kejahatan jabatan yang dilakukan oleh pejabat Indonesia di luar negeri.
Dalam kasus-kasus seperti ini, negara tempat perbuatan dilakukan mungkin tidak memiliki kepentingan yang sama untuk menuntut pelaku. Misalnya, negara lain mungkin tidak peduli jika seseorang memalsukan Rupiah di wilayah mereka. Oleh karena itu, asas perlindungan memberikan yurisdiksi kepada Indonesia untuk menindak pelaku demi melindungi integritas ekonominya.
5. Asas Universal (Universality Principle)
Asas universal melangkah lebih jauh dari kepentingan satu negara. Asas ini didasarkan pada gagasan bahwa ada kejahatan-kejahatan tertentu yang begitu keji dan mengancam seluruh komunitas internasional, sehingga setiap negara di dunia memiliki yurisdiksi untuk menuntut pelakunya, tanpa memandang kewarganegaraan pelaku, kewarganegaraan korban, atau lokasi kejahatan.
Pelaku kejahatan universal dianggap sebagai hostis humani generis (musuh seluruh umat manusia). Kejahatan yang masuk dalam kategori ini meliputi:
- Pembajakan di laut lepas (piracy).
- Perdagangan budak.
- Genosida.
- Kejahatan terhadap kemanusiaan.
- Kejahatan perang.
- Terorisme internasional.
Dasar pemikirannya adalah untuk memastikan tidak ada tempat yang aman (no safe haven) bagi para pelaku kejahatan paling serius ini. Jika seorang pelaku genosida melarikan diri ke negara lain, negara tersebut, berdasarkan asas universal, dapat menangkap dan mengadilinya meskipun kejahatan itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan negara tersebut. Dalam KUHP, jejak awal asas ini dapat ditemukan dalam ketentuan mengenai pembajakan laut (Pasal 4 angka 2 dan 4), namun perkembangannya lebih banyak didorong oleh konvensi-konvensi internasional yang kemudian diratifikasi ke dalam hukum nasional.
6. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld)
Asas ini, meskipun tidak tertulis secara eksplisit dalam KUHP lama, merupakan ruh dari hukum pidana. Prinsip ini menyatakan bahwa untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang, tidak cukup hanya dengan membuktikan bahwa ia telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang (actus reus). Harus dibuktikan pula bahwa orang tersebut memiliki sikap batin yang salah atau tercela terhadap perbuatannya (mens rea atau kesalahan).
Adagium yang relevan adalah Actus non facit reum, nisi mens sit rea (suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali jika batinnya juga bersalah). Asas ini membedakan antara orang yang sengaja melakukan kejahatan dengan orang yang menyebabkan akibat terlarang karena kecelakaan murni. Seseorang yang secara fisik melakukan perbuatan, tetapi tidak memiliki kesalahan, tidak dapat dipidana. Contohnya adalah orang yang dipaksa dengan todongan senjata untuk melakukan sesuatu (daya paksa/overmacht) atau orang yang tidak waras (tidak mampu bertanggung jawab).
Bentuk-Bentuk Kesalahan
Kesalahan dalam hukum pidana secara umum dibagi menjadi dua bentuk utama:
-
Kesengajaan (Dolus/Opzet):
Pelaku menghendaki perbuatan dan/atau akibat dari perbuatannya. Kesengajaan memiliki beberapa tingkatan:
- Sengaja sebagai tujuan (opzet als oogmerk): Pelaku benar-benar bertujuan untuk mencapai akibat tersebut. Contoh: A menembak B dengan tujuan membunuhnya.
- Sengaja dengan kesadaran kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn): Pelaku tahu bahwa untuk mencapai tujuannya, akibat lain yang tidak diinginkan pasti akan terjadi. Contoh: A ingin mendapat asuransi dengan mengebom pesawat yang ditumpangi B. Meskipun tujuannya adalah kematian B, ia sadar pasti bahwa penumpang lain juga akan tewas.
- Sengaja dengan kesadaran kemungkinan (dolus eventualis): Pelaku menyadari adanya kemungkinan (risiko) akan timbulnya suatu akibat terlarang dari perbuatannya, dan ia menerima risiko tersebut. Contoh: Seseorang kebut-kebutan di jalanan ramai. Ia tidak bertujuan menabrak orang, tetapi ia sadar ada kemungkinan besar hal itu terjadi dan ia tetap melakukannya.
- Kealpaan (Culpa): Pelaku tidak menghendaki akibat dari perbuatannya, namun akibat tersebut terjadi karena kurangnya kehati-hatian atau kurangnya pendugaan yang semestinya. Pelaku dapat dipersalahkan karena ia seharusnya bisa menduga akibat tersebut akan terjadi. Contoh: Seorang pengemudi yang bermain ponsel saat menyetir dan menyebabkan kecelakaan fatal. Ia tidak berniat membunuh, tetapi perbuatannya menunjukkan kelalaian yang besar.
Asas ini memastikan bahwa hukum pidana hanya menargetkan mereka yang secara moral dapat dicela dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.
7. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Ini adalah asas fundamental dalam hukum acara pidana yang menjamin perlindungan hak asasi manusia bagi seorang tersangka atau terdakwa. Asas ini menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas ini tertuang dalam Penjelasan Umum KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan UU Kekuasaan Kehakiman. Implikasi dari asas ini sangat luas dan penting:
- Beban Pembuktian pada Penuntut Umum: Bukan terdakwa yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah, melainkan jaksa penuntut umum yang harus membuktikan kesalahan terdakwa di luar keraguan yang beralasan (beyond reasonable doubt).
- Hak Terdakwa untuk Diam: Terdakwa tidak dapat dipaksa untuk mengakui kesalahannya atau memberikan keterangan yang dapat memberatkan dirinya.
- Perlakuan yang Manusiawi: Selama proses hukum berjalan, seorang tersangka atau terdakwa harus diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah. Ini berarti ia tidak boleh disiksa, diintimidasi, atau direndahkan martabatnya.
- Larangan Penghakiman oleh Publik: Media massa dan masyarakat dilarang untuk "menghakimi" seseorang sebelum adanya putusan pengadilan yang final. Pelabelan seseorang sebagai "pencuri" atau "pembunuh" sebelum terbukti di pengadilan adalah pelanggaran terhadap asas ini.
Asas praduga tak bersalah adalah pilar utama dari peradilan yang adil (fair trial) dan berfungsi untuk mencegah terjadinya penghukuman terhadap orang yang tidak bersalah (miscarriage of justice).
8. Asas Ne Bis in Idem
Asas ne bis in idem, yang diatur dalam Pasal 76 KUHP, secara harfiah berarti "tidak dua kali dalam perkara yang sama". Asas ini melarang seseorang untuk dituntut dan diadili untuk kedua kalinya atas perbuatan yang sama, yang perkaranya telah diputus oleh hakim dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Tujuan dari asas ini adalah untuk memberikan kepastian hukum dan ketenangan bagi seseorang yang telah melalui proses peradilan. Tanpa asas ini, negara melalui aparatnya bisa berulang kali menuntut seseorang atas kasus yang sama hingga mendapatkan putusan yang diinginkan, yang merupakan bentuk persekusi. Asas ini juga menjaga wibawa dan finalitas putusan pengadilan.
Syarat Penerapan Asas Ne Bis in Idem
Agar asas ini dapat diterapkan, tiga syarat kumulatif harus terpenuhi:
- Orang yang Dituntut Sama: Tuntutan kedua harus ditujukan kepada orang yang sama dengan yang telah diadili sebelumnya.
- Perbuatan yang Dituntut Sama (Idem Factum): Perbuatan materiil yang menjadi dasar tuntutan kedua harus sama persis dengan perbuatan yang telah diputus sebelumnya. Ini tidak hanya melihat pada pasal yang didakwakan, tetapi pada rangkaian peristiwa faktualnya.
- Adanya Putusan Hakim yang Berkekuatan Hukum Tetap: Harus sudah ada putusan akhir, baik itu berupa pemidanaan, bebas (vrijspraak), maupun lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), dan putusan tersebut tidak lagi dapat diajukan upaya hukum biasa (banding atau kasasi).
Asas ini merupakan jaminan fundamental bahwa sekali sebuah perkara hukum selesai, maka ia benar-benar selesai.
Kesimpulan: Harmoni Asas Sebagai Penjaga Keadilan
Asas-asas hukum pidana yang telah diuraikan bukanlah konsep-konsep yang berdiri sendiri. Mereka adalah sebuah sistem yang saling terkait dan bekerja sama untuk mencapai tujuan hukum pidana: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial. Asas legalitas memberikan kepastian dan melindungi dari kesewenang-wenangan. Asas teritorial, personalitas, perlindungan, dan universal menentukan batas-batas yurisdiksi negara. Sementara itu, asas tiada pidana tanpa kesalahan, praduga tak bersalah, dan ne bis in idem membentuk benteng pertahanan bagi hak-hak individu dalam menghadapi mesin negara yang kuat dalam proses peradilan pidana.
Memahami dan menghormati asas-asas ini adalah kewajiban bagi semua pihak, mulai dari pembuat undang-undang, aparat penegak hukum, hingga masyarakat luas. Sebab, pada akhirnya, kualitas sebuah sistem peradilan pidana tidak hanya diukur dari kemampuannya untuk menghukum yang bersalah, tetapi juga dari kemampuannya untuk melindungi yang tidak bersalah dan menegakkan supremasi hukum secara adil dan beradab.