Membedah Konsep Asas Universal: Pilar Keadilan Tanpa Batas

Dalam labirin kompleks hubungan antarmanusia dan antarbangsa, terdapat sebuah pertanyaan mendasar: adakah kejahatan yang begitu keji sehingga pelakunya tidak dapat bersembunyi di balik perisai kedaulatan negara? Adakah nilai-nilai yang begitu fundamental sehingga berlaku bagi setiap individu di planet ini, tanpa memandang paspor, budaya, atau lokasi geografis? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini mengarah pada sebuah konsep hukum dan filsafat yang kuat dan seringkali kontroversial, yaitu asas universal.

Asas universal, atau yang dalam konteks hukum internasional lebih dikenal sebagai yurisdiksi universal, adalah sebuah prinsip yang menegaskan bahwa kejahatan tertentu dianggap sangat serius dan merusak tatanan kemanusiaan secara keseluruhan, sehingga setiap negara memiliki hak—bahkan kewajiban—untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. Prinsip ini bekerja tanpa memedulikan di mana kejahatan itu dilakukan, apa kewarganegaraan pelaku, atau siapa kewarganegaraan korbannya. Ia adalah manifestasi dari ide bahwa beberapa kejahatan bukan hanya menyerang satu individu atau satu negara, melainkan menyerang seluruh umat manusia.

Konsep ini mendobrak fondasi tradisional hukum yang selama ini bersandar pada teritorialitas, di mana sebuah negara hanya berwenang mengadili kejahatan yang terjadi di dalam wilayahnya. Asas universal melampaui batas-batas geografis, mengubah peta keadilan dari serangkaian pulau terisolasi menjadi sebuah samudra yurisdiksi yang saling terhubung. Ini adalah senjata pamungkas dalam perang melawan impunitas, sebuah upaya untuk memastikan bahwa pelaku genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kejahatan perang tidak akan pernah menemukan tempat yang aman untuk berlindung.

Ikon Asas Universal Ilustrasi globe dengan garis-garis yang menghubungkan berbagai titik, melambangkan jangkauan hukum dan prinsip universal.

Definisi dan Ruang Lingkup Asas Universal

Untuk memahami esensi asas universal, kita perlu membedahnya dari beberapa prinsip yurisdiksi lain yang lebih umum dalam hukum pidana internasional. Secara tradisional, ada beberapa dasar bagi sebuah negara untuk mengklaim yurisdiksi atas suatu tindak pidana:

  • Asas Teritorialitas: Ini adalah asas yang paling fundamental. Suatu negara memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi di dalam wilayahnya, termasuk di darat, laut, dan udara.
  • Asas Nasionalitas (atau Personalitas Aktif): Sebuah negara dapat mengadili warga negaranya sendiri atas kejahatan yang mereka lakukan di mana pun di dunia.
  • Asas Personalitas Pasif: Sebuah negara dapat mengklaim yurisdiksi jika korbannya adalah warga negaranya, terlepas dari lokasi kejahatan atau kewarganegaraan pelaku. Asas ini lebih kontroversial.
  • Asas Protektif: Suatu negara dapat mengadili tindakan yang dilakukan di luar negeri jika tindakan tersebut mengancam keamanan nasionalnya, seperti pemalsuan mata uang atau spionase.

Asas universal berdiri terpisah dari semua itu. Ia tidak memerlukan adanya kaitan langsung antara negara yang mengadili dengan kejahatan itu sendiri. Satu-satunya kaitan yang dibutuhkan adalah sifat kejahatan yang begitu mengerikan sehingga dianggap sebagai urusan seluruh komunitas internasional. Dasar pemikirannya adalah konsep hostis humani generis, yang berarti "musuh seluruh umat manusia". Pelaku kejahatan universal dianggap telah menyatakan perang terhadap semua bangsa, sehingga setiap bangsa berhak untuk menangkap dan menghukum mereka.

Landasan filosofis yang lebih modern adalah norma jus cogens, atau norma yang memaksa dalam hukum internasional. Ini adalah prinsip-prinsip yang diakui oleh komunitas internasional sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dalam keadaan apa pun. Larangan terhadap genosida, penyiksaan, dan perbudakan adalah contoh-contoh utama dari jus cogens. Kejahatan yang melanggar norma-norma ini secara otomatis memicu kemungkinan penerapan yurisdiksi universal.

Kejahatan di Bawah Yurisdiksi Universal

Tidak semua kejahatan internasional jatuh di bawah payung yurisdiksi universal. Komunitas global secara bertahap mencapai konsensus, meskipun tidak selalu bulat, mengenai jenis-jenis kejahatan yang paling berat. Kejahatan-kejahatan ini dikenal sebagai "kejahatan inti" (core crimes) dalam hukum pidana internasional.

1. Genosida

Genosida adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama. Ini termasuk pembunuhan anggota kelompok, menyebabkan penderitaan fisik atau mental yang serius, menciptakan kondisi kehidupan yang dirancang untuk menghancurkan kelompok, mencegah kelahiran, dan memindahkan anak-anak secara paksa. Genosida dianggap sebagai "kejahatan dari segala kejahatan" karena tujuannya adalah memusnahkan eksistensi sebuah kelompok manusia.

2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan

Ini adalah serangkaian tindakan mengerikan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil. Contohnya meliputi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, pemenjaraan sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, penganiayaan, dan penghilangan paksa. Yang membedakannya dari kejahatan biasa adalah skala dan sifat sistematisnya; ini bukan tindakan acak, melainkan kebijakan yang terorganisir.

3. Kejahatan Perang

Kejahatan perang adalah pelanggaran serius terhadap hukum perang, yang diatur dalam Konvensi Jenewa dan protokol-protokol tambahannya. Kejahatan ini dapat terjadi dalam konflik bersenjata internasional maupun non-internasional. Contohnya termasuk pembunuhan yang disengaja terhadap tawanan perang atau warga sipil, penyiksaan, penghancuran properti yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer, serta penggunaan senjata yang dilarang.

4. Penyiksaan (Torture)

Meskipun sering menjadi bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan, penyiksaan juga diakui sebagai kejahatan tersendiri di bawah yurisdiksi universal, terutama melalui Konvensi Menentang Penyiksaan. Ini didefinisikan sebagai tindakan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik fisik maupun mental, untuk tujuan seperti memperoleh informasi, menghukum, atau mengintimidasi.

5. Pembajakan (Piracy)

Secara historis, pembajakan adalah kejahatan universal pertama yang diakui. Karena para perompak beroperasi di laut lepas, di luar yurisdiksi negara mana pun, mereka dianggap sebagai ancaman bagi perdagangan dan keamanan semua bangsa. Oleh karena itu, setiap negara memiliki hak untuk menangkap dan mengadili perompak yang mereka temui di perairan internasional.

Dimensi Filosofis dan Etis dari Asas Universal

Di balik kerangka hukum yang kaku, asas universal berakar pada gagasan filosofis yang mendalam tentang kemanusiaan bersama. Prinsip ini mengasumsikan adanya tatanan moral universal yang melampaui budaya dan sistem politik yang beragam. Ia menyiratkan bahwa ada perbuatan yang secara inheren salah, terlepas dari siapa yang melakukannya atau di mana itu terjadi. Gagasan ini terkait erat dengan beberapa aliran pemikiran etis.

Hukum Kodrat dan Hak Asasi Manusia

Salah satu fondasi tertua adalah teori hukum kodrat (natural law). Teori ini berpendapat bahwa ada hukum moral yang lebih tinggi, yang berasal dari alam, Tuhan, atau akal budi, dan hukum buatan manusia harus selaras dengannya. Larangan terhadap pembunuhan massal atau penyiksaan, menurut pandangan ini, bukanlah sekadar kesepakatan sosial, melainkan cerminan dari kebenaran moral yang abadi. Dari sinilah konsep hak asasi manusia modern berkembang. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, misalnya, didasarkan pada keyakinan bahwa "semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama." Asas universal adalah mekanisme penegakan hukum untuk melindungi martabat dan hak-hak yang paling mendasar ini ketika sistem nasional gagal atau justru menjadi pelaku.

Imperatif Kategoris Kantian

Filsuf Immanuel Kant memperkenalkan konsep "imperatif kategoris", sebuah prinsip etika deontologis. Salah satu formulasinya adalah: "Bertindaklah hanya sesuai dengan maksim yang melaluinya engkau dapat sekaligus menghendaki agar ia menjadi hukum universal." Dalam konteks ini, kejahatan seperti genosida tidak mungkin diuniversalkan. Tidak ada dunia yang rasional di mana pemusnahan sebuah kelompok dapat menjadi hukum universal. Oleh karena itu, tindakan semacam itu secara fundamental tidak bermoral dan harus dilarang secara universal. Asas universal dalam hukum dapat dilihat sebagai penerapan praktis dari prinsip etis ini, menyatakan bahwa norma-norma tertentu (seperti larangan genosida) harus ditegakkan secara universal.

"Ketidakadilan di mana pun adalah ancaman bagi keadilan di mana-mana. Kita terperangkap dalam jaringan timbal balik yang tak terhindarkan, terikat dalam satu pakaian takdir. Apa pun yang memengaruhi seseorang secara langsung, akan memengaruhi semua orang secara tidak langsung."

Tanggung Jawab untuk Melindungi (Responsibility to Protect)

Dalam perkembangannya, pemikiran tentang universalitas melahirkan konsep "Tanggung Jawab untuk Melindungi" (R2P). Doktrin ini menyatakan bahwa kedaulatan bukan lagi hak mutlak sebuah negara untuk melakukan apa pun di dalam perbatasannya, melainkan sebuah tanggung jawab. Setiap negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi rakyatnya dari kejahatan besar. Jika sebuah negara tidak mau atau tidak mampu memenuhi tanggung jawab ini, maka tanggung jawab tersebut beralih ke komunitas internasional. Meskipun R2P lebih sering dikaitkan dengan intervensi kemanusiaan, semangatnya sejalan dengan asas universal: keduanya menempatkan perlindungan martabat manusia di atas kedaulatan negara yang absolut.

Implementasi dan Praktik di Dunia Nyata

Teori tentang asas universal akan tetap menjadi abstraksi akademis tanpa adanya implementasi nyata. Sejarah mencatat beberapa momen penting di mana prinsip ini diuji dan diterapkan, membentuk preseden bagi perkembangan hukum internasional modern. Setiap kasus membawa pelajaran berharga tentang potensi dan keterbatasan yurisdiksi universal.

Peradilan Nuremberg dan Tokyo

Meskipun bukan contoh murni dari yurisdiksi universal yang dijalankan oleh satu negara, Pengadilan Militer Internasional di Nuremberg dan Tokyo setelah Perang Dunia II adalah titik balik yang monumental. Untuk pertama kalinya, para pemimpin negara diadili oleh pengadilan internasional atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Peradilan ini menetapkan prinsip fundamental bahwa "mengikuti perintah atasan" bukanlah pembelaan yang valid untuk kejahatan yang mengerikan, dan bahwa individu, bukan hanya negara, dapat dimintai pertanggungjawaban di bawah hukum internasional. Semangat Nuremberg adalah bahwa kejahatan tertentu begitu besar sehingga komunitas internasional memiliki kepentingan untuk mengadilinya.

Kasus Adolf Eichmann

Salah satu contoh paling dramatis dari penerapan yurisdiksi universal oleh pengadilan nasional adalah kasus Adolf Eichmann. Eichmann, salah satu arsitek utama Holocaust, melarikan diri dan hidup bersembunyi di Argentina. Agen intelijen Israel menangkapnya dan membawanya ke Yerusalem untuk diadili. Pengadilan Israel mendasarkan yurisdiksinya sebagian besar pada asas universal. Argumennya adalah bahwa kejahatan Eichmann—genosida terhadap orang Yahudi—adalah kejahatan terhadap seluruh umat manusia. Oleh karena itu, setiap negara, termasuk Israel yang baru terbentuk, memiliki hak untuk mengadilinya sebagai perwakilan komunitas internasional. Kasus ini menjadi preseden kuat bahwa pelaku kejahatan paling keji tidak dapat lolos dari keadilan hanya karena kejahatan tersebut tidak terjadi di wilayah negara yang mengadilinya.

Kasus Augusto Pinochet

Pada akhir abad ke-20, kasus mantan diktator Chili, Augusto Pinochet, mengguncang dunia hukum internasional. Saat Pinochet berada di London untuk perawatan medis, seorang hakim Spanyol mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional terhadapnya atas tuduhan penyiksaan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang dilakukan di Chili. Pengadilan tertinggi di Inggris (House of Lords) memutuskan bahwa sebagai mantan kepala negara, Pinochet tidak memiliki kekebalan dari tuntutan atas kejahatan penyiksaan, yang merupakan kejahatan di bawah yurisdiksi universal. Meskipun pada akhirnya Pinochet tidak diekstradisi ke Spanyol karena alasan kesehatan, kasus ini menetapkan prinsip penting bahwa imunitas kepala negara tidak berlaku untuk kejahatan internasional tertentu, membuka pintu bagi penuntutan serupa di masa depan.

Peran Pengadilan Nasional di Belgia dan Spanyol

Beberapa negara, terutama Belgia dan Spanyol, telah mengadopsi undang-undang yurisdiksi universal yang sangat luas. Pengadilan mereka menjadi forum bagi para korban dari seluruh dunia untuk mencari keadilan. Meskipun undang-undang ini seringkali direvisi karena tekanan politik, mereka berhasil memulai penyelidikan dan tuntutan terhadap pejabat dari berbagai negara atas kejahatan yang dilakukan di tempat-tempat seperti Rwanda, Kongo, dan Guatemala. Upaya ini menunjukkan bagaimana pengadilan nasional dapat berperan sebagai benteng keadilan global ketika jalur lain tertutup.

Tantangan, Kritik, dan Perdebatan

Meskipun memiliki tujuan yang mulia, asas universal bukanlah tanpa kontroversi. Penerapannya seringkali memicu perdebatan sengit tentang kedaulatan, politik, dan keadilan. Kritik yang dilontarkan bukan hanya datang dari negara-negara yang pejabatnya menjadi target, tetapi juga dari para ahli hukum yang mempertanyakan kepraktisan dan keadilannya.

1. Benturan dengan Kedaulatan Negara

Kritik paling fundamental adalah bahwa yurisdiksi universal mengancam prinsip kedaulatan negara, yang merupakan pilar utama tatanan internasional. Menurut pandangan ini, setiap negara memiliki hak eksklusif untuk mengatur urusan di dalam perbatasannya dan mengadili kejahatan yang terjadi di sana. Ketika negara lain, yang tidak memiliki hubungan langsung dengan kejahatan tersebut, mencoba untuk mengadili pejabat dari negara pertama, hal itu dianggap sebagai campur tangan yang tidak dapat diterima terhadap urusan dalam negeri. Hal ini dapat menciptakan ketegangan diplomatik dan merusak hubungan antarnegara.

2. Risiko Politisasi dan Penuntutan Selektif

Kekhawatiran lain adalah bahwa yurisdiksi universal dapat digunakan sebagai alat politik. Negara-negara kuat dituduh dapat menggunakan prinsip ini untuk menargetkan para pemimpin negara-negara yang lebih lemah atau yang secara politik berseberangan dengan mereka. Sementara itu, pejabat dari negara-negara kuat itu sendiri seolah-olah kebal dari penuntutan semacam itu. Hal ini menciptakan persepsi "keadilan pemenang" atau standar ganda, di mana hukum internasional hanya berlaku bagi yang lemah. Tuduhan penuntutan yang selektif dapat mendelegitimasi seluruh konsep keadilan universal.

3. Kesulitan Praktis dalam Penegakan

Menerapkan yurisdiksi universal sangatlah rumit. Pengadilan nasional menghadapi tantangan besar dalam mengumpulkan bukti dan kesaksian dari negara lain, yang seringkali tidak kooperatif. Menghadirkan terdakwa ke pengadilan juga bisa menjadi hal yang mustahil tanpa kerja sama ekstradisi. Proses peradilan semacam ini membutuhkan sumber daya finansial dan logistik yang sangat besar, yang mungkin tidak dimiliki oleh banyak sistem peradilan. Selain itu, ada risiko bahwa terdakwa tidak akan mendapatkan peradilan yang adil karena kendala bahasa, budaya, dan akses terhadap penasihat hukum yang kompeten.

4. Keadilan versus Rekonsiliasi

Dalam beberapa situasi pasca-konflik, sebuah negara mungkin memilih jalan rekonsiliasi daripada penuntutan pidana. Mekanisme seperti komisi kebenaran dan rekonsiliasi atau amnesti mungkin dianggap lebih kondusif untuk membangun kembali masyarakat yang terpecah. Penuntutan yang diprakarsai oleh negara lain melalui yurisdiksi universal dapat mengganggu proses perdamaian dan rekonsiliasi domestik yang rapuh ini. Hal ini menimbulkan dilema etis yang kompleks: manakah yang harus diprioritaskan, akuntabilitas pidana individu atau stabilitas dan perdamaian kolektif?

5. Keberadaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC)

Berdirinya Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengubah lanskap keadilan global. Beberapa berpendapat bahwa dengan adanya ICC sebagai lembaga permanen untuk mengadili kejahatan inti, peran yurisdiksi universal oleh pengadilan nasional menjadi kurang relevan. Menurut pandangan ini, kasus-kasus besar seharusnya diserahkan kepada ICC untuk memastikan konsistensi dan legitimasi. Namun, pendukung yurisdiksi universal berpendapat sebaliknya. Mereka menunjukkan bahwa yurisdiksi ICC terbatas—ia hanya dapat mengadili kejahatan yang dilakukan setelah pendiriannya dan hanya di negara-negara anggota atau melalui rujukan Dewan Keamanan PBB. Oleh karena itu, yurisdiksi universal oleh pengadilan nasional tetap menjadi jaring pengaman yang krusial untuk mengisi celah-celah di mana ICC tidak dapat bertindak.

Masa Depan Asas Universal

Di tengah dunia yang semakin terhubung namun juga semakin terpolarisasi, masa depan asas universal berada di persimpangan jalan. Globalisasi dan teknologi informasi telah mempermudah penyebaran kesadaran tentang kekejaman yang terjadi di belahan dunia lain, menciptakan tuntutan publik yang lebih besar untuk akuntabilitas. Organisasi masyarakat sipil dan para aktivis hak asasi manusia kini memiliki alat yang lebih canggih untuk mendokumentasikan kejahatan dan mendorong proses hukum.

Namun, pada saat yang sama, kebangkitan kembali nasionalisme dan penekanan pada kedaulatan negara di banyak belahan dunia menjadi tantangan berat. Beberapa negara telah secara aktif mempersempit undang-undang yurisdiksi universal mereka sebagai respons terhadap tekanan politik. Pertarungan antara idealisme keadilan global dan realisme politik akan terus membentuk evolusi prinsip ini.

Masa depan kemungkinan besar terletak pada pendekatan komplementer. Asas universal yang diterapkan oleh pengadilan nasional tidak dilihat sebagai saingan, melainkan sebagai pelengkap bagi lembaga-lembaga seperti ICC. Kerjasama internasional yang lebih erat dalam penyelidikan dan penuntutan akan menjadi kunci. Mungkin juga akan ada pergeseran fokus ke model-model hibrida, seperti pengadilan khusus yang didukung internasional yang beroperasi di negara tempat kejahatan terjadi, menggabungkan keahlian internasional dengan legitimasi lokal.

Pada akhirnya, asas universal adalah lebih dari sekadar doktrin hukum; ia adalah sebuah pernyataan moral. Ia menyatakan bahwa ada garis batas yang tidak boleh dilintasi oleh siapa pun, terlepas dari kekuasaan atau posisi mereka. Ia adalah janji kepada para korban di seluruh dunia bahwa penderitaan mereka tidak akan dilupakan dan bahwa upaya untuk mencari keadilan tidak akan pernah berhenti di perbatasan negara. Meskipun jalannya terjal dan penuh rintangan, perjuangan untuk menegakkan prinsip universal ini adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan umat manusia menuju dunia yang lebih adil dan manusiawi.

🏠 Homepage