Bahtsul Masail: Kompleksitas Hukum Arisan Qurban

Diskusi Ijtihad

Visualisasi diskusi hukum syariah

Ibadah qurban merupakan ritual penting dalam Islam yang dilaksanakan setiap Hari Raya Idul Adha. Pelaksanaannya memerlukan ketersediaan hewan ternak yang memenuhi syarat sah, seperti usia dan kondisi fisik. Dalam konteks sosial masyarakat Muslim, sering kali muncul praktik inovatif untuk memudahkan pelaksanaan qurban, salah satunya adalah melalui skema arisan qurban.

Arisan qurban adalah bentuk gotong royong di mana sekelompok individu menyisihkan dana secara periodik, yang kemudian dikumpulkan dan diberikan kepada satu anggota secara bergiliran untuk dibelikan hewan qurban pada tahun tertentu. Meskipun niatnya mulia—memfasilitasi lebih banyak orang menunaikan qurban—skema ini memunculkan beragam pertanyaan krusial dari perspektif fikih, yang kemudian menjadi bahan utama dalam forum Bahtsul Masail (pembahasan masalah keagamaan kontemporer).

Dasar Hukum dan Klasifikasi Fikih

Secara fundamental, hukum asal ibadah qurban adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan), yang mensyaratkan adanya kepemilikan penuh atas hewan qurban saat pelaksanaan. Dalam arisan qurban, terjadi perpindahan kepemilikan dana atau barang secara bertahap, yang menimbulkan perdebatan mengenai apakah transaksi ini menyerupai jual-beli, utang-piutang, atau akad mudharabah (bagi hasil) yang tidak relevan.

Para ulama dalam forum bahtsul masail cenderung mengkategorikan arisan qurban berdasarkan mekanisme yang digunakan. Jika skema arisan hanya bersifat pengumpulan dana untuk kemudian dana tersebut digunakan bersama-sama (dengan syarat kepemilikan penuh terpenuhi saat diserahkan sebagai qurban), seringkali diperbolehkan. Namun, masalah muncul ketika arisan melibatkan janji untuk mendapatkan hewan qurban pada undian tertentu.

Isu Utama: Gharar dan Riba

Dua isu utama yang sering muncul dalam pembahasan ini adalah gharar (ketidakjelasan/spekulasi) dan potensi riba.

Gharar dalam Arisan Qurban: Gharar terjadi karena ada elemen ketidakpastian. Peserta tidak langsung memiliki hewan qurban saat membayar iuran pertama; ia baru memilikinya ketika gilirannya tiba. Jika uang yang dikumpulkan diinvestasikan atau digunakan untuk membeli hewan sebelum waktunya, dan nilai hewan tersebut berfluktuasi, maka muncul ketidakpastian mengenai barang yang diakadkan. Sebagian pandangan menganggap ini mendekati praktik lotere (qimar) jika tujuan utamanya adalah mendapatkan hak qurban melalui undian, bukan sekadar menabung.

Potensi Riba: Jika skema arisan mewajibkan anggota yang belum mendapatkan giliran untuk menanggung kerugian jika terjadi kenaikan harga, atau jika ada keuntungan yang diperoleh dari dana yang terkumpul (selain untuk pembelian qurban), ini bisa jatuh ke dalam ranah riba karena adanya penambahan nilai pada uang pinjaman atau simpanan.

Solusi Fikih yang Diusulkan

Dalam upaya mencari solusi yang sah secara syariat, forum Bahtsul Masail biasanya mengarahkan peserta arisan untuk memisahkan dua akad yang berbeda:

  1. Akad Tabungan (Qardh Hasan): Setiap iuran yang dibayarkan oleh peserta dianggap sebagai pinjaman tanpa bunga (qardh hasan) kepada panitia atau kolektor arisan. Dana ini dikumpulkan.
  2. Akad Wakalah (Perwakilan): Setelah dana terkumpul sesuai harga qurban di tahun giliran peserta, barulah peserta menunjuk panitia sebagai wakilnya untuk membeli dan melaksanakan qurban atas nama peserta tersebut.

Dengan memisahkan akad ini, aspek kepemilikan hewan menjadi jelas pada saat pelaksanaan qurban. Uang yang diserahkan di awal adalah uang tabungan (utang), bukan pembayaran langsung untuk qurban yang belum terwujud. Ini meminimalisir unsur gharar karena peserta tahu bahwa uangnya aman dan akan digunakan untuk tujuan qurban sesuai janji.

Perbedaan Pandangan dan Kehati-hatian

Penting dicatat bahwa tidak semua model arisan qurban diterima oleh semua mazhab atau otoritas keagamaan. Pandangan yang paling ketat cenderung melarang total skema arisan yang melibatkan undian untuk penentuan siapa yang berqurban tahun ini, karena menekankan bahwa ibadah qurban harus dilakukan atas dasar kemauan murni dan kepemilikan langsung atas hewan saat penyembelihan.

Oleh karena itu, kesimpulan dalam Bahtsul Masail selalu menekankan bahwa praktik arisan qurban harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Jika skema tersebut dirancang murni sebagai mekanisme menabung kolektif (tabungan berjangka) dan bukan sebagai undian hak qurban yang ditentukan di awal, maka ia cenderung lebih mudah diterima secara syariat. Inti permasalahan terletak pada bagaimana akad disusun: apakah ia mengarah pada jual beli barang yang belum ada (fasid) ataukah hanya berupa skema bantuan dana untuk mencapai tujuan ibadah yang sah.

🏠 Homepage