Dalam dunia hukum, terutama dalam konteks peradilan pidana, terdapat dua pendekatan fundamental yang menentukan bagaimana suatu kasus diadili: asas akusator (adversarial system) dan asas inkisitor (inquisitorial system). Kedua sistem ini memiliki filosofi, peran para pihak, serta mekanisme pembuktian yang sangat berbeda. Memahami perbedaan antara keduanya sangat penting untuk mengapresiasi keragaman sistem peradilan di berbagai negara dan implikasinya terhadap keadilan bagi para pihak yang terlibat.
Asas akusator, yang juga dikenal sebagai sistem pembuktian, adalah pendekatan di mana proses peradilan dilihat sebagai kontes atau persaingan antara dua pihak yang berlawanan: penuntut (jaksa) dan terdakwa (dibela oleh pengacara). Dalam sistem ini, beban pembuktian sepenuhnya berada pada pihak penuntut. Pihak penuntut harus mengajukan bukti-bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah melampaui keraguan yang wajar (beyond a reasonable doubt).
Peran hakim dalam sistem akusator cenderung pasif. Hakim berperan sebagai wasit yang memastikan bahwa persidangan berjalan sesuai dengan aturan hukum dan prosedur yang berlaku. Hakim tidak aktif mencari bukti atau menyelidiki kasus. Sebaliknya, hakim mendengarkan argumen dan bukti yang disajikan oleh kedua belah pihak, kemudian membuat keputusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Ciri-ciri utama asas akusator meliputi:
Contoh negara yang menganut sistem akusator adalah Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan negara-negara yang dipengaruhi oleh tradisi hukum Anglo-Saxon.
Sebaliknya, asas inkisitor, yang juga dikenal sebagai sistem penyidikan, menempatkan hakim pada posisi yang lebih sentral dan aktif dalam proses pencarian kebenaran. Dalam sistem ini, hakim tidak hanya bertindak sebagai penengah, tetapi juga bertanggung jawab untuk menyelidiki dan mencari bukti yang relevan untuk mengungkap fakta kasus.
Peran hakim dalam sistem inkisitor adalah aktif. Hakim dapat memerintahkan investigasi lebih lanjut, mewawancarai saksi, mengumpulkan bukti, dan bahkan mengajukan pertanyaan kepada terdakwa secara langsung untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang kejadian. Tujuannya adalah untuk mencapai kebenaran materiil seobjektif mungkin.
Ciri-ciri utama asas inkisitor meliputi:
Contoh negara yang menganut sistem inkisitor adalah Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan banyak negara di Eropa Kontinental serta beberapa negara di Asia yang dipengaruhi oleh tradisi hukum Eropa Kontinental.
Perbedaan mendasar antara kedua sistem ini terletak pada siapa yang memegang kendali utama dalam pencarian kebenaran. Dalam sistem akusator, kendali ada pada pihak yang bersengketa, dengan hakim sebagai penengah yang menjaga aturan. Sementara itu, dalam sistem inkisitor, hakim memegang kendali aktif dalam proses investigasi.
Implikasi dari perbedaan ini sangat luas. Sistem akusator seringkali dikritik karena potensi ketidakseimbangan jika salah satu pihak memiliki sumber daya yang lebih baik untuk menyajikan kasusnya. Namun, sistem ini juga dipuji karena memberikan kesempatan yang lebih besar bagi terdakwa untuk mempertahankan diri dan tidak merasa terpojok oleh kekuasaan negara.
Di sisi lain, sistem inkisitor berpotensi menghasilkan kebenaran yang lebih objektif karena investigasi dilakukan oleh otoritas independen (hakim). Namun, ada kekhawatiran bahwa peran aktif hakim dapat mengaburkan batas antara penuntut dan hakim, serta memberikan tekanan yang tidak semestinya pada terdakwa.
Penting untuk dicatat bahwa banyak sistem peradilan modern saat ini tidak murni menganut salah satu sistem, melainkan mengadopsi elemen-elemen dari keduanya untuk menciptakan keseimbangan yang lebih baik. Misalnya, sistem akusator modern mungkin memiliki hakim yang dapat meminta bukti tambahan dalam keadaan tertentu, sementara sistem inkisitor modern mungkin semakin menekankan hak-hak pembelaan.
Dengan memahami karakteristik masing-masing asas, kita dapat lebih menghargai kompleksitas dan upaya yang dilakukan oleh sistem peradilan di seluruh dunia untuk mencapai keadilan yang seimbang dan efektif. Kedua pendekatan memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing, dan pilihan sistem sering kali mencerminkan nilai-nilai budaya dan sejarah suatu negara.