Filosofia Aristotelica, yang dikembangkan oleh Aristoteles dari Stagira, merupakan salah satu pilar utama dalam sejarah pemikiran Barat. Berbeda dengan gurunya, Plato, yang cenderung fokus pada dunia ide yang transenden, Aristoteles mengarahkan pandangannya pada dunia empiris—dunia yang dapat kita amati dan pelajari melalui indra. Filosofi ini tidak hanya mencakup metafisika, tetapi juga logika, fisika, biologi, etika, dan politik, menjadikannya sistem pemikiran yang komprehensif dan sangat berpengaruh.
Kontribusi Aristoteles yang paling revolusioner dan bertahan lama adalah dalam bidang logika. Ia dianggap sebagai bapak logika formal. Dalam karyanya Organon, Aristoteles memperkenalkan silogisme—sebuah bentuk penalaran deduktif di mana kesimpulan ditarik dari dua atau lebih premis. Silogisme klasik, misalnya: "Semua manusia adalah fana (Premis Mayor); Socrates adalah manusia (Premis Minor); maka, Socrates adalah fana (Kesimpulan)," menjadi cetak biru untuk pemikiran rasional selama berabad-abad. Logika Aristoteles menekankan pada pentingnya definisi yang jelas, kategori yang tepat, dan menghindari kontradiksi dalam argumen. Ini adalah fondasi yang esensial bagi ilmu pengetahuan empiris.
Dalam metafisikanya, Aristoteles memperkenalkan konsep hylomorphism, pandangan bahwa segala sesuatu di dunia tersusun dari materi (hyle) dan bentuk (morphe). Namun, konsep yang lebih dinamis adalah pembedaan antara potensi (dynamis) dan aktualitas (energeia). Sebuah biji ek memiliki potensi untuk menjadi pohon ek, dan pohon ek itu adalah aktualitas dari biji tersebut. Perubahan (gerak) dalam pandangan Aristoteles adalah realisasi potensi menjadi aktualitas. Ini membantu menjelaskan bagaimana sesuatu bisa berubah tanpa kehilangan identitas dasarnya, sebuah masalah besar dalam filsafat pra-Sokratik.
Etika Aristoteles, terutama yang dijabarkan dalam Etika Nikomakea, berpusat pada pencapaian Eudaimonia. Istilah ini sering diterjemahkan sebagai 'kebahagiaan', namun maknanya lebih kaya; ini berarti 'hidup yang berkembang' atau 'kehidupan yang baik dan dilakukan dengan baik'. Menurut Aristoteles, kebahagiaan bukanlah keadaan emosional sesaat, melainkan aktivitas jiwa yang sesuai dengan kebajikan (arete) sepanjang hidup yang lengkap.
Untuk mencapai kebajikan, manusia harus mempraktikkan Doktrin Jalan Tengah (atau Mesotes). Kebajikan moral adalah titik tengah antara dua ekstrem viciositas: kekurangan dan kelebihan. Misalnya, keberanian adalah jalan tengah antara sifat pengecut (kekurangan) dan sifat gegabah (kelebihan). Menemukan jalan tengah ini memerlukan akal praktis (phronesis), kemampuan untuk menilai situasi dan bertindak dengan bijaksana dalam konteks spesifik. Tindakan etis bukanlah aturan kaku, melainkan hasil dari kebiasaan baik yang diasah melalui praktik rasional.
Aristoteles melihat manusia secara inheren sebagai Zoon Politikon—hewan politik atau makhluk sosial yang dirancang untuk hidup dalam komunitas (polis). Kehidupan yang benar-benar baik hanya dapat dicapai dalam kerangka negara kota yang terorganisir dengan baik. Tujuannya adalah menciptakan kondisi bagi warganya untuk menjalankan kehidupan yang bajik. Dalam bukunya Politik, ia menganalisis berbagai konstitusi, mencari bentuk pemerintahan yang paling stabil dan menguntungkan bagi kehidupan Eudaimonia warganya, seringkali condong pada bentuk campuran yang menyeimbangkan kepentingan aristokrasi dan demokrasi.
Warisan Filosofia Aristotelica sangat luas. Ia membentuk dasar bagi teologi Kristen abad pertengahan melalui pemikiran Thomas Aquinas, menjadi cetak biru logika di dunia Islam, dan terus relevan dalam etika kontemporer yang menekankan pengembangan karakter dan tujuan akhir kehidupan.