Ilustrasi simbolis aktivitas pengumpulan dana bersama.
Arisan, sebuah praktik sosial yang sangat populer di masyarakat Indonesia, melibatkan pengumpulan uang secara berkala dari sekelompok anggota, di mana setiap periode, sejumlah uang terkumpul diberikan kepada satu anggota secara bergilir. Secara sosial, arisan berfungsi sebagai pengikat silaturahmi dan sarana bantuan keuangan tanpa bunga. Namun, ketika praktik ini dianalisis dari sudut pandang hukum Islam, muncul pertanyaan penting: apakah kegiatan ini memiliki landasan dalam sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadits?
Secara etimologis, arisan tidak secara eksplisit disebutkan dalam nash-nash syariat (Al-Qur'an maupun Hadits) dengan nama yang sama. Hal ini wajar mengingat arisan adalah sebuah inovasi sosial (mu'amalah) yang berkembang seiring waktu dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, untuk menilainya, ulama merujuk pada kaidah-kaidah fikih yang mengatur transaksi dan akad yang serupa.
Dalam Islam, transaksi keuangan harus terbebas dari unsur riba (bunga/usury), gharar (ketidakjelasan yang berlebihan), dan maysir (judi). Arisan sering kali disamakan dengan beberapa akad syar'i yang memiliki kemiripan fungsi, yaitu:
Para ulama kontemporer berbeda pandangan mengenai status hukum arisan, bergantung pada bagaimana akad tersebut diformulasikan.
Arisan dianggap mubah (diperbolehkan) jika memenuhi kriteria berikut:
Dalam konteks ini, arisan dipandang sebagai kumpulan dari beberapa akad qardh (pinjam-meminjam) yang terikat oleh kesepakatan bersama.
Para fuqaha (ahli fikih) cenderung melihat arisan sebagai "ta'awun 'ala al-birr wat-taqwa" (tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan), selama tidak ada unsur pemaksaan atau imbalan yang tidak syar'i.
Masalah muncul ketika arisan bertransformasi menjadi praktik yang mengandung unsur terlarang. Beberapa kondisi yang menjadikan arisan bermasalah secara syariat meliputi:
Penting untuk ditekankan kembali: **tidak ditemukan satu pun hadits sahih yang secara eksplisit membahas "arisan"** dengan nomenklatur modern tersebut. Hal ini karena praktik tersebut adalah adaptasi kultural, bukan syariat yang diwahyukan secara langsung.
Sebagai contoh, ketika mengkaji hukum pinjam-meminjam dalam Islam, kita merujuk pada prinsip umum seperti hadits tentang keutamaan memberi pinjaman, bukan hadits tentang metode pengembaliannya jika metode tersebut adalah inovasi sosial.
Imam An-Nawawi dalam kitabnya sering membahas kebolehan al-Ijarah (sewa) atau al-Qardh (pinjaman), yang menjadi dasar pemikiran untuk menilai akad serupa arisan. Selama esensi dari arisan adalah pengalokasian dana secara adil untuk kebutuhan anggota, maka ia sah sebagai bentuk muamalah yang didasarkan pada kerelaan.
Mayoritas ulama kontemporer membolehkan praktik arisan dengan catatan ketat. Arisan pada dasarnya adalah alat sosial-ekonomi yang netral secara hukum. Kehalalan atau keharamannya bergantung pada bagaimana para pesertanya mengimplementasikan aturan mainnya.
Jika arisan dijalankan dengan prinsip transparansi, tanpa penambahan bunga, dan didasarkan pada kesepakatan sukarela, maka arisan dapat dianggap sebagai bentuk qardh hasan kolektif atau ta'awun yang dianjurkan dalam Islam. Hadits dan Al-Qur'an mengajarkan prinsip keadilan dan larangan eksploitasi finansial, dan selama prinsip ini ditegakkan dalam arisan, maka kegiatan tersebut sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Oleh karena itu, masyarakat Muslim diimbau untuk senantiasa memonitor struktur arisan mereka agar tidak terjerumus pada praktik riba atau praktik lain yang dapat membatalkan kebaikannya sebagai sarana tolong-menolong.