Menggali Makna Hari Tarwiyah: Gerbang Menuju Puncak Haji
Dalam rangkaian ibadah haji yang agung, setiap detik dan setiap langkah memiliki makna yang mendalam. Salah satu hari yang menjadi penanda awal dari puncak pelaksanaan rukun Islam kelima ini adalah Hari Tarwiyah. Jatuh pada tanggal 8 Dzulhijjah, hari ini merupakan gerbang spiritual bagi para jamaah haji sebelum mereka bergerak menuju Padang Arafah. Meskipun seringkali tidak sepopuler Hari Arafah atau Hari Nahr (Idul Adha), Hari Tarwiyah memegang peranan krusial sebagai fase persiapan, refleksi, dan pengumpulan bekal, baik fisik maupun rohani.
Hari Tarwiyah adalah momen di mana jutaan umat Islam yang datang dari berbagai penjuru dunia mulai bergerak serentak dari Mekkah menuju Mina. Mereka mengenakan pakaian ihram yang serba putih, menanggalkan segala atribut duniawi, dan menyatukan hati dalam lafaz talbiyah yang menggema. Ini bukan sekadar perpindahan geografis, melainkan sebuah transisi spiritual yang mendalam, dari hiruk pikuk kota menuju keheningan padang pasir yang akan menjadi saksi bisu pengabdian mereka kepada Sang Pencipta.
Sejarah dan Asal-Usul Nama "Tarwiyah"
Nama "Tarwiyah" sendiri kaya akan makna dan sejarah. Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab, dari akar kata "rawa" atau "irtawa", yang memiliki beberapa interpretasi. Setiap interpretasi ini memberikan kita sudut pandang yang berbeda namun saling melengkapi tentang esensi hari yang istimewa ini.
Makna Pertama: Mengambil Bekal Air (Quenching Thirst)
Interpretasi yang paling populer dan historis terkait dengan kondisi geografis dan logistik pada zaman dahulu. Sebelum era modern dengan fasilitas air yang melimpah, perjalanan haji adalah sebuah perjuangan fisik yang luar biasa. Mina dan Arafah pada masa itu adalah lembah gurun yang kering dan tandus. Tidak ada sumber air yang memadai untuk menopang jutaan manusia.
Oleh karena itu, pada tanggal 8 Dzulhijjah, para jamaah haji akan memanfaatkan waktu mereka di Mekkah untuk mengisi penuh wadah-wadah air mereka (seperti qirbah, kantong air dari kulit). Mereka "merasa puas" atau "memuaskan dahaga" (tarawwa) dengan mengambil bekal air sebanyak-banyaknya untuk perjalanan mereka ke Mina, Arafah, dan Muzdalifah. Dari sinilah nama "Hari Tarwiyah" atau "Hari Membawa Bekal Air" berasal. Ini adalah cerminan dari sebuah kearifan praktis yang menyatu dengan ritual ibadah, mengajarkan pentingnya persiapan dan perencanaan dalam menempuh sebuah perjalanan suci.
Makna Kedua: Merenung dan Memikirkan (Contemplation)
Makna kedua berasal dari kata "tarawwa" yang juga berarti berpikir mendalam, merenung, atau berkontemplasi. Konteks ini sangat erat kaitannya dengan kisah agung Nabi Ibrahim AS. Diriwayatkan bahwa pada malam tanggal 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS menerima wahyu melalui mimpi untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Mimpi yang datang dari Allah adalah sebuah kebenaran, namun sebagai seorang manusia, Nabi Ibrahim melewati malam itu dengan penuh perenungan. Beliau berpikir dan merenungkan hakikat dari perintah yang luar biasa berat ini. Proses perenungan inilah yang kemudian dihubungkan dengan nama "Tarwiyah". Hari ini menjadi momentum bagi para jamaah haji untuk meneladani Nabi Ibrahim, merenungkan makna pengorbanan, ketaatan, dan kepasrahan total kepada Allah SWT sebelum menghadapi ujian spiritual terbesar di Arafah.
Makna Ketiga: Melihat dan Menyaksikan (Vision)
Makna ini masih terkait dengan kisah Nabi Ibrahim AS. Kata "tarwiyah" dapat dihubungkan dengan kata "ru'ya" yang berarti mimpi atau penglihatan. Malam tanggal 8 Dzulhijjah adalah malam di mana Nabi Ibrahim "melihat" (ra'a) perintah penyembelihan itu dalam mimpinya. Visi atau mimpi inilah yang menjadi titik awal dari salah satu ujian keimanan terbesar dalam sejarah manusia. Dengan demikian, Hari Tarwiyah menjadi pengingat akan pentingnya keyakinan pada wahyu Ilahi dan kesiapan untuk menjalankan perintah-Nya, bahkan ketika perintah itu terasa melampaui batas logika dan perasaan manusiawi.
Ketiga makna ini, meskipun berasal dari sumber etimologis yang berbeda, secara harmonis membentuk esensi Hari Tarwiyah: sebuah hari untuk persiapan logistik (air), persiapan mental (perenungan), dan persiapan spiritual (keyakinan pada wahyu). Ini adalah pelajaran bahwa ibadah dalam Islam tidak pernah terlepas dari konteks kehidupan nyata; ia memadukan antara kesiapan fisik dan keteguhan batin.
Rangkaian Amalan di Hari Tarwiyah bagi Jamaah Haji
Bagi jamaah haji, Hari Tarwiyah adalah hari dimulainya fase puncak ibadah haji. Rangkaian amalan pada hari ini mengikuti sunnah Rasulullah SAW, menjadi sebuah "pemanasan" sebelum wukuf di Arafah. Berikut adalah rincian amalan yang dilakukan:
1. Memulai Ihram Haji
Bagi jamaah yang melaksanakan haji Tamattu' (mendahulukan umrah sebelum haji), mereka telah berada dalam kondisi tahallul (bebas dari larangan ihram) setelah menyelesaikan umrahnya. Pada pagi hari tanggal 8 Dzulhijjah, mereka akan kembali mengenakan pakaian ihram dari tempat pemondokan mereka di Mekkah. Mereka mandi, memakai wewangian (bagi laki-laki), lalu mengenakan dua helai kain ihram yang tidak berjahit. Setelah itu, mereka berniat untuk melaksanakan haji dengan mengucapkan:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ حَجًّا
"Labbaik Allahumma hajjan." (Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berhaji).
Bagi jamaah yang melaksanakan haji Ifrad atau Qiran, mereka telah berada dalam kondisi ihram sejak awal dan tinggal melanjutkan perjalanan ritual mereka.
2. Bertolak Menuju Mina
Setelah berniat dan berihram, para jamaah haji bergerak menuju Mina, sebuah lembah yang terletak sekitar 7 kilometer di sebelah timur Masjidil Haram. Pergerakan ini biasanya dilakukan pada waktu dhuha. Selama perjalanan, gema talbiyah, takbir, dan tahmid terus dilantunkan, menciptakan suasana spiritual yang luar biasa:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
"Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni'mata laka wal mulk, laa syarika lak."
Talbiyah ini adalah ikrar, jawaban seorang hamba atas panggilan suci Tuhannya. Setiap kalimatnya menegaskan tauhid, pengakuan bahwa segala puji, nikmat, dan kekuasaan hanyalah milik Allah semata, tanpa ada sekutu bagi-Nya.
3. Mabit (Bermalam) dan Melaksanakan Shalat di Mina
Tiba di Mina, para jamaah haji akan menempati tenda-tenda yang telah disediakan. Sunnahnya adalah untuk menetap (mabit) di Mina pada hari Tarwiyah hingga terbit fajar pada hari Arafah (9 Dzulhijjah). Selama berada di Mina, para jamaah melaksanakan beberapa shalat:
- Shalat Dzuhur: Dilaksanakan pada waktunya sebanyak 2 rakaat (di-qashar).
- Shalat Ashar: Dilaksanakan pada waktunya sebanyak 2 rakaat (di-qashar).
- Shalat Maghrib: Dilaksanakan pada waktunya sebanyak 3 rakaat (tidak di-qashar).
- Shalat Isya: Dilaksanakan pada waktunya sebanyak 2 rakaat (di-qashar).
- Shalat Subuh (pada hari ke-9 Dzulhijjah): Dilaksanakan pada waktunya sebanyak 2 rakaat.
Penting untuk dicatat bahwa shalat-shalat ini di-qashar (diringkas) namun tidak di-jama' (digabung). Setiap shalat dikerjakan pada waktunya masing-masing. Ini mengikuti contoh yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW. Hikmahnya adalah untuk memberikan kesempatan bagi para jamaah untuk memperbanyak ibadah personal di antara waktu-waktu shalat, seperti berdzikir, berdoa, dan membaca Al-Qur'an.
4. Memperbanyak Dzikir dan Doa
Malam di Mina pada Hari Tarwiyah bukanlah malam untuk tidur lelap semata. Ia adalah malam kontemplasi. Para jamaah dianjurkan untuk mengisi waktu mereka dengan memperbanyak dzikir, istighfar, membaca Al-Qur'an, dan memanjatkan doa. Ini adalah saat yang tepat untuk introspeksi diri, memohon ampunan atas segala dosa, dan mempersiapkan hati agar benar-benar bersih dan siap untuk berdiri di hadapan Allah di Padang Arafah keesokan harinya. Suasana di Mina yang dipenuhi tenda-tenda putih dan lantunan dzikir menciptakan sebuah "kamp pelatihan spiritual" yang mempersiapkan jiwa untuk momen puncak haji.
Hikmah dan Makna Spiritual Hari Tarwiyah
Di balik rangkaian ritual fisik, Hari Tarwiyah menyimpan hikmah dan makna spiritual yang sangat mendalam. Ia bukan sekadar formalitas atau transit logistik, melainkan sebuah fase yang membentuk fondasi bagi kesuksesan ibadah haji secara keseluruhan.
1. Pelatihan Ketaatan dan Disiplin
Perintah untuk bergerak ke Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah, menginap di sana, dan melaksanakan shalat dengan cara tertentu (qashar tanpa jama') adalah bentuk latihan ketaatan. Para jamaah belajar untuk mengikuti jejak langkah Nabi Muhammad SAW secara presisi. Ini menanamkan disiplin spiritual, di mana seorang hamba tunduk pada aturan Tuhannya tanpa banyak bertanya, dengan keyakinan penuh bahwa setiap detail ritual memiliki hikmah yang agung.
2. Transisi dari Duniawi ke Ukhrawi
Meninggalkan kenyamanan hotel atau pemondokan di Mekkah untuk tinggal di tenda-tenda sederhana di Mina adalah sebuah simbol transisi. Para jamaah secara fisik dan mental melepaskan diri dari kemewahan dan kesibukan dunia. Pakaian ihram yang seragam menghapus perbedaan status sosial, pangkat, dan kekayaan. Semua menjadi sama di hadapan Allah. Mina menjadi sebuah zona karantina spiritual yang memisahkan jamaah dari urusan duniawi agar mereka dapat fokus sepenuhnya pada ibadah dan persiapan menuju Arafah.
3. Persiapan Mental dan Spiritual untuk Wukuf
Wukuf di Arafah adalah inti dari ibadah haji, sebuah momen di mana seorang hamba berdiri di hadapan Tuhannya dalam kondisi paling rentan, memohon ampunan dan rahmat. Momen agung ini membutuhkan persiapan yang matang. Hari Tarwiyah berfungsi sebagai "ruang tunggu" suci. Di Mina, para jamaah dapat menenangkan pikiran, menjernihkan hati, dan memfokuskan niat mereka. Mereka beradaptasi dengan kondisi yang lebih sederhana, melatih kesabaran, dan membangun energi spiritual yang akan mereka curahkan sepenuhnya saat wukuf.
4. Meneladani Jejak Para Nabi
Setiap ritual haji adalah reka ulang dari jejak para nabi, terutama Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar, dan Nabi Ismail AS, serta disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan bermalam di Mina, jamaah haji secara langsung menapaktilasi perjalanan yang sama yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Ini menciptakan ikatan sejarah dan spiritual yang kuat, membuat jamaah merasa menjadi bagian dari kafilah agung orang-orang saleh sepanjang sejarah yang telah menjawab panggilan Allah.
5. Simbol Persatuan Umat Islam
Pemandangan jutaan manusia dari berbagai bangsa, ras, dan bahasa, semuanya mengenakan pakaian putih yang sama, bergerak menuju satu tujuan, dan melantunkan talbiyah yang sama, adalah manifestasi paling nyata dari persatuan (ukhuwwah) Islam. Hari Tarwiyah adalah awal dari visualisasi persatuan kolosal ini. Di tenda-tenda Mina, mereka hidup berdampingan, saling membantu, dan berbagi dalam kesederhanaan, mengingatkan bahwa di hadapan Allah, yang membedakan manusia hanyalah tingkat ketakwaannya.
Amalan bagi Umat Islam yang Tidak Menunaikan Haji
Keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah tidak hanya dirasakan oleh mereka yang sedang berhaji. Umat Islam di seluruh dunia juga dianjurkan untuk memaksimalkan ibadah pada hari-hari mulia ini, termasuk pada Hari Tarwiyah.
Puasa Tarwiyah
Salah satu amalan utama yang dianjurkan adalah Puasa Tarwiyah, yaitu berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah. Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kekuatan dalil spesifik tentang keutamaan puasa di hari ini, mayoritas ulama menganjurkannya berdasarkan keumuman hadits tentang keutamaan beramal saleh di sepuluh hari pertama Dzulhijjah.
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama (Dzulhijjah) ini." (HR. Al-Bukhari)
Berdasarkan hadits umum ini, berpuasa, yang merupakan salah satu amal saleh terbaik, sangat dianjurkan. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa puasa pada Hari Tarwiyah dapat menghapus dosa setahun yang lalu. Meskipun status riwayat ini diperdebatkan, fadilah (keutamaan) berpuasa pada hari ini tetap besar karena termasuk dalam cakupan hari-hari yang agung di sisi Allah. Puasa ini juga menjadi persiapan spiritual bagi mereka yang akan melaksanakan Puasa Arafah pada keesokan harinya.
Memperbanyak Dzikir dan Takbir
Sama seperti jamaah haji yang menggemakan talbiyah, umat Islam di seluruh dunia dianjurkan untuk memperbanyak dzikir, terutama takbir, tahlil, dan tahmid.
- Takbir: Allahu Akbar (الله أكبر)
- Tahlil: La ilaha illallah (لا إله إلا الله)
- Tahmid: Alhamdulillah (الحمد لله)
Memperbanyak dzikir ini sejak awal Dzulhijjah hingga akhir hari Tasyriq adalah sunnah yang dianjurkan, dan pada Hari Tarwiyah, intensitasnya dapat ditingkatkan sebagai bentuk partisipasi spiritual dengan para jamaah haji.
Amalan Saleh Lainnya
Selain puasa dan dzikir, segala bentuk amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya pada hari-hari ini. Umat Islam dianjurkan untuk:
- Memperbanyak sedekah: Berbagi rezeki dengan mereka yang membutuhkan.
- Membaca Al-Qur'an: Merenungi ayat-ayat suci dan mengambil pelajaran darinya.
- Shalat Sunnah: Mendirikan shalat dhuha, tahajud, dan rawatib.
- Menjaga Silaturahmi: Mempererat hubungan dengan keluarga dan kerabat.
- Bertaubat: Memohon ampunan kepada Allah atas segala dosa dan kesalahan.
Kesimpulan: Hari Tarwiyah Sebagai Fondasi Spiritualitas Haji
Hari Tarwiyah, tanggal 8 Dzulhijjah, adalah lebih dari sekadar hari transit dalam perjalanan haji. Ia adalah sebuah stasiun spiritual yang fundamental, sebuah fondasi kokoh yang di atasnya dibangun puncak-puncak ibadah haji. Dari makna historisnya yang mengajarkan tentang pentingnya persiapan bekal, hingga makna spiritualnya yang mengajak pada perenungan mendalam tentang ketaatan dan pengorbanan, Hari Tarwiyah adalah madrasah pertama dalam rangkaian manasik di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.
Di lembah Mina yang hening, di bawah langit gurun yang membentang, jutaan hamba Allah melepaskan ego mereka, menyatukan hati mereka, dan mempersiapkan jiwa mereka untuk bertemu dengan Sang Pencipta di Padang Arafah. Mereka belajar disiplin, kesabaran, dan persaudaraan. Bagi kita yang tidak berada di sana, semangat Hari Tarwiyah tetap bisa diraih melalui puasa, dzikir, dan amal saleh, seraya turut mendoakan para tamu Allah agar mendapatkan haji yang mabrur.
Pada akhirnya, Hari Tarwiyah mengingatkan kita bahwa setiap perjalanan besar, terutama perjalanan spiritual menuju Allah, memerlukan persiapan yang sungguh-sungguh. Ia adalah hari untuk mengisi "wadah air" keimanan dan "wadah hati" dengan ketakwaan, sebelum melangkah menuju lautan ampunan dan rahmat-Nya yang tak bertepi.