Visualisasi hubungan antara pemikiran Aristoteles dan Heidegger.
Filsafat Barat seringkali dilihat sebagai dialog berkelanjutan antar generasi pemikir. Dalam konstelasi pemikiran abad ke-20, Martin Heidegger muncul sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh, yang secara radikal mencoba menginterogasi kembali pertanyaan fundamental tentang keberadaan (Sein). Ironisnya, untuk melakukan revolusi pemikiran ini, Heidegger justru harus kembali ke akar filsafat Yunani kuno, khususnya kepada pemikiran Aristoteles. Hubungan antara Heidegger dan Aristoteles bukanlah sekadar studi sejarah, melainkan sebuah pertemuan dialektis yang membentuk ulang pemahaman kita tentang ontologi.
Heidegger mengkritik tradisi metafisika Barat sejak Plato, yang menurutnya telah melupakan pertanyaan sentral mengenai 'makna dari Keberadaan' (Seinsfrage). Tradisi ini, yang didominasi oleh pandangan subjektivitas (Descartes) dan pandangan tentang entitas yang hadir (Anwesenheit), dianggap telah menyembunyikan esensi terdalam dari Being. Dalam upaya mencari jalan keluar, Heidegger menunjuk Aristoteles sebagai titik awal yang krusial.
Bagi Heidegger, Aristoteles adalah filsuf terakhir yang secara serius menangani ousia (esensi/keberadaan) sebelum tradisi tersebut terdegradasi menjadi sekadar kategori-kategori logis dan metafisika kehadiran. Heidegger mengklaim bahwa terjemahan Latin dari ousia menjadi substantia (substansi) telah mengalihkan fokus dari 'berada' (to be) menuju 'sesuatu yang hadir' (present-at-hand). Aristoteles, melalui konsepnya tentang dynamis (potensi) dan energeia (aktualitas), menawarkan cara untuk memahami Being sebagai suatu proses menjadi, bukan sebagai objek statis.
Karya monumental Heidegger, Sein und Zeit (Ada dan Waktu), meskipun terinspirasi oleh fenomenologi Husserl, secara substansial berutang pada interpretasi mendalamnya terhadap pemikiran Yunani. Heidegger menggunakan analisis Dasein (keberadaan manusia) sebagai titik akses untuk mengungkap struktur fundamental keberadaan.
Pemikiran Aristoteles tentang phronesis (kebijaksanaan praktis) dan pemisahan antara 'ada sebagai potensi' dan 'ada sebagai aktual' menjadi alat penting bagi Heidegger. Heidegger melihat bahwa kegagalan metafisika Barat adalah kegagalan untuk memahami Dasein secara otentik—sebagai makhluk yang selalu 'terlempar' (Geworfenheit) ke dalam dunia dan selalu 'menuju' (Sich-vorweg-sein) kemungkinan-kemungkinan keberadaannya.
Dalam analisisnya, Heidegger menafsirkan kembali konsep-konsep Aristotelian seperti hyle (materi) dan morphe (bentuk), tidak lagi sebagai komponen dualistik, melainkan sebagai aspek-aspek dari cara Being mengungkap dirinya dalam dunia yang terartikulasikan. Jembatan ini memungkinkan Heidegger untuk mengkritik pandangan modern tentang subjek dan objek yang terpisah.
Meskipun ketergantungan Heidegger pada Aristoteles sangat jelas, terutama dalam upayanya merekonstruksi ontologi fundamental, terdapat perbedaan mendasar yang memisahkan keduanya. Aristoteles beroperasi dalam kerangka kosmologis dan teleologis yang relatif tertutup, di mana tujuan (telos) adalah bagian inheren dari keberadaan entitas.
Sebaliknya, Heidegger bergerak menuju pemikiran yang lebih terbuka dan historis. Bagi Heidegger, Being bukanlah substansi yang dapat ditemukan dalam entitas (seperti metafisika Aristotelian), melainkan peristiwa pengungkapan yang terjadi seiring waktu. Pengungkapan ini tidak terikat pada tujuan akhir yang tetap, melainkan selalu bergantung pada "Keterbukaan" (Lichtung) atau "Lapangan" di mana Dasein dapat mengalami dan memahami Being.
Pada akhirnya, ketika Heidegger menantang seluruh tradisi metafisika yang dimulai dari Yunani, ia secara paradoks menggunakan Aristoteles sebagai "senjata" paling tajam. Dengan menggali kembali Aristoteles dari interpretasi skolastik yang mengotori pemahaman aslinya, Heidegger berharap dapat membuka jalan menuju pemahaman baru tentang pertanyaan keberadaan—sebuah pemikiran yang, ironisnya, tetap berhutang pada fondasi yang diletakkan dua milenium sebelumnya. Dialog antara heidegger aristoteles ini membuktikan bahwa pemikiran filsafat paling inovatif seringkali lahir dari dialog mendalam dengan masa lalu yang paling awal.