Arisan merupakan kegiatan sosial dan ekonomi yang sangat populer di tengah masyarakat Indonesia. Secara sederhana, arisan adalah kumpulan dana rutin dari beberapa orang di mana setiap anggota secara bergilir mendapatkan sejumlah uang terkumpul pada periode tertentu. Meskipun tampak sebagai kegiatan gotong royong yang positif, aspek keagamaannya seringkali menimbulkan perdebatan, terutama terkait dengan unsur riba atau perjudian. Untuk memahaminya lebih dalam, rujukan pandangan ulama kontemporer seperti Ustadz Adi Hidayat (UAH) menjadi penting.
Ustadz Adi Hidayat seringkali menekankan pentingnya memeriksa setiap transaksi finansial berdasarkan prinsip syariah yang jelas. Ketika membahas hukum arisan, beliau tidak memberikan fatwa tunggal yang bisa disamaratakan untuk semua jenis arisan. Sebaliknya, beliau membedah setiap elemen yang membentuk akad arisan tersebut, terutama fokus pada apakah ada unsur gharar (ketidakjelasan), riba (bunga/usury), atau unsur qimar (judi).
Ilustrasi: Kesepakatan dalam Pengumpulan Dana
Prinsip Dasar: Pinjaman vs. Jual Beli
Menurut kajian yang sering disampaikan Ustadz Adi Hidayat, arisan yang diperbolehkan secara syariat harus memenuhi kriteria jual beli yang murni atau pinjaman (qardh) yang tidak mengandung unsur bunga. Jika arisan dipandang sebagai akad pinjaman berulang, maka penambahan nilai atau premi yang dibayarkan oleh anggota yang mendapat giliran lebih awal akan terjerumus dalam riba fadhl atau riba nasi'ah, tergantung modusnya.
UAH menjelaskan bahwa keabsahan arisan terletak pada niat dan mekanismenya. Arisan yang murni adalah sebuah wadah sosial di mana setiap orang menyetorkan sejumlah uang yang sama (misalnya Rp100.000) dan kemudian salah satu orang mengambil seluruh uang tersebut tanpa ada tambahan biaya administrasi yang berlebihan yang dijadikan keuntungan bagi penyelenggara atau anggota lain.
Pembedaan Arisan Halal dan Haram
Terdapat dua skema arisan yang paling sering dibahas:
- Arisan Murni (Diperbolehkan): Ini adalah arisan di mana uang yang dikumpulkan sepenuhnya dikembalikan kepada anggota secara bergantian. Jika Anda membayar Rp100.000 selama 10 bulan, total uang yang Anda setor adalah Rp1.000.000, dan Anda akan menerimanya kembali secara penuh pada giliran Anda (misalnya, Anda dapat Rp1.000.000 di bulan kelima). Dalam skema ini, tidak ada keuntungan bagi pihak lain atas uang Anda, sehingga tidak termasuk riba. Ini lebih mendekati konsep tabungan bersama atau pinjaman tanpa bunga.
- Arisan dengan Premi (Berpotensi Haram): Ini terjadi ketika ada potongan atau premi yang wajib dibayarkan oleh pihak yang mengambil uang di awal. Potongan ini seringkali ditujukan sebagai jasa penyelenggara atau sebagai keuntungan bagi anggota yang mengambil di akhir. Ustadz Adi Hidayat sering mengaitkan hal ini dengan riba. Jika uang yang diterima lebih besar dari yang disetor (karena ada premi), maka itu adalah riba. Sebaliknya, jika uang yang diterima lebih kecil karena dipotong, maka itu juga berpotensi haram karena uang yang disetorkan tidak kembali penuh tanpa adanya objek pertukaran yang syar'i (seperti jual beli barang).
Bahaya Unsur Judi (Qimar)
Aspek penting lainnya adalah unsur untung-untungan. Jika arisan menggunakan sistem undian di mana ada peluang anggota tertentu tidak akan pernah mendapat uangnya (karena arisan dibubarkan sebelum semua anggota mendapat giliran), maka ini mendekati perjudian (qimar). UAH menegaskan bahwa Islam melarang segala bentuk transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian yang merugikan salah satu pihak tanpa ada imbalan yang sepadan atau akad yang jelas.
Arisan yang sah harus menjamin semua pihak pada akhirnya akan menerima kembali modalnya secara utuh, hanya saja waktunya berbeda. Jika ada yang untung karena mendapat duluan tanpa harus menunggu, itu dimungkinkan selama tidak ada biaya tambahan yang memberatkan orang lain.
Kesimpulan Menurut Kajian UAH
Inti dari pandangan Ustadz Adi Hidayat mengenai hukum arisan adalah melihat akadnya. Jika arisan hanya berfungsi sebagai sarana gotong royong untuk membantu sesama anggota mendapatkan uang tunai lebih cepat, tanpa ada tambahan bunga, potongan tetap (premi), atau unsur spekulasi yang merugikan, maka arisan tersebut dapat dikategorikan sebagai transaksi yang diperbolehkan (mubah) atau bahkan sunnah jika niatnya adalah tolong-menolong.
Namun, jika arisan tersebut mengandung elemen riba (kelebihan pembayaran atau kekurangan pengembalian) atau mengandung unsur perjudian karena adanya ketidakpastian nasib uang anggota, maka hukumnya menjadi haram. Penting bagi setiap muslim untuk selalu transparan dalam akad dan memastikan bahwa uang yang keluar sama dengan uang yang akan diterima, dengan selisih waktu sebagai konsekuensi logis dari sistem bergilir.
Dengan memahami rincian ini, umat dapat menjalankan kegiatan sosial ekonomi seperti arisan tanpa melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam syariat Islam, sesuai dengan tuntunan yang sering disampaikan oleh para ulama kontemporer seperti Ustadz Adi Hidayat.
Oleh karena itu, sebelum bergabung dalam sebuah arisan, sangat disarankan untuk menanyakan secara rinci mekanisme pembagian, potensi premi, dan jaminan pengembalian modal penuh. Kehati-hatian dalam muamalah adalah kunci keberkahan.