Pengantar Isu Arisan dalam Fiqh Muamalah
Arisan, sebagai sebuah praktik sosial ekonomi yang sudah mengakar kuat di masyarakat Indonesia, seringkali menimbulkan pertanyaan serius mengenai status hukumnya dalam tinjauan syariat Islam. Praktik ini melibatkan pengumpulan dana secara berkala dari sekelompok orang, kemudian diberikan secara bergiliran kepada anggota kelompok tersebut. Karena melibatkan unsur uang dan janji (akad), banyak ulama yang memberikan perhatian khusus untuk membedah apakah arisan termasuk kategori hutang piutang, jual beli, ataukah termasuk praktik yang menyerupai riba atau judi.
Salah satu tokoh yang sering menjadi rujukan dalam pembahasan fiqh kontemporer di Indonesia adalah Ustadz Erwandi Tarlis. Beliau dikenal dengan pendekatan yang mendalam terhadap dalil-dalil syar'i dalam menjelaskan isu-isu muamalah modern. Dalam konteks hukum arisan, pandangan Ustadz Erwandi Tarlis cenderung sangat hati-hati dan menekankan pada kejelasan akad serta potensi yang dapat menyeret pelakunya pada hal yang diharamkan.
Klasifikasi Arisan Menurut Ustadz Erwandi Tarlis
Ustadz Erwandi Tarlis membedakan arisan menjadi beberapa kategori, tergantung pada unsur tambahan apa yang melekat pada kegiatan tersebut. Secara mendasar, arisan murni yang hanya berupa tolong-menolong atau pinjam meminjam uang tanpa ada unsur tambahan yang bersifat menguntungkan (riba) atau unsur ketidakpastian (gharar) seringkali diperbolehkan, namun dengan catatan ketat.
Beliau seringkali merujuk pada kaidah dasar bahwa segala bentuk muamalah mubah (diperbolehkan) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Namun, masalah muncul ketika arisan disisipi dengan 'imbalan' bagi si pemenang undian di awal atau di akhir, atau jika terjadi pemaksaan nominal tertentu yang melebihi pokok simpanan.
Bahaya Riba dan Gharar dalam Arisan
Poin krusial dalam pandangan Ustadz Erwandi adalah potensi masuknya unsur riba. Riba, dalam konteks ini, dapat terjadi jika ada penambahan nilai pada uang pokok yang dipinjamkan atau dititipkan. Misalnya, jika pemenang arisan harus membayar lebih dari jumlah yang ia setorkan pada putaran berikutnya, atau jika ada biaya administrasi yang jelas tidak proporsional dan mengandung unsur keuntungan terselubung, maka hal ini bisa terjerumus pada riba.
Selain riba, unsur gharar (ketidakpastian) juga menjadi sorotan. Arisan yang menggunakan sistem undian sering dianggap mengandung unsur ketidakpastian waktu penerimaan uang. Meskipun demikian, Ustadz Erwandi menekankan bahwa jika pengundian tersebut dilakukan hanya sebagai metode penentuan urutan dan tidak ada imbalan (keuntungan) yang melekat pada status pemenang undian selain menerima uang pokoknya, maka unsur gharar tersebut masih bisa ditoleransi karena arisan pada dasarnya adalah transaksi tolong-menolong yang disepakati bersama.
Syarat Arisan yang Diperbolehkan
Untuk memastikan arisan tetap berada dalam koridor syariah, Ustadz Erwandi Tarlis sering menggarisbawahi beberapa syarat utama:
- Akad yang Jelas: Harus ada kesepakatan yang transparan mengenai jumlah setoran, durasi, dan mekanisme pembagian.
- Tidak Ada Keuntungan Berlebih: Pemenang hanya berhak menerima uang pokok yang telah ia setorkan ditambah uang setoran anggota lain pada putaran tersebut (sesuai sistem arisan), bukan mendapatkan bonus atau keuntungan tambahan dari penyelenggara.
- Sifat Pinjam-Meminjam atau Titipan: Arisan harus dipandang sebagai bentuk ta’awun (tolong-menolong) atau hutang piutang yang disepakati. Jika dianggap hutang, maka tidak boleh ada tambahan apapun saat pengembalian atau penerimaan.
- Tidak Ada Unsur Judi: Hasil penerimaan uang harus berdasarkan urutan yang disepakati (undi atau daftar), bukan berdasarkan tebakan atau spekulasi yang berujung pada kerugian bagi salah satu pihak.
Kesimpulan Pandangan
Secara ringkas, Ustadz Erwandi Tarlis cenderung memandang arisan sebagai kegiatan yang hukum asalnya boleh (mubah) selama ia murni sebagai sarana tolong-menolong dan tidak dicemari oleh unsur-unsur yang diharamkan seperti riba atau judi yang berlebihan. Kehati-hatian sangat dianjurkan, terutama dalam arisan modern yang seringkali menambahkan biaya admin atau bunga terselubung demi keuntungan panitia. Umat Islam didorong untuk memilih skema arisan yang paling mendekati praktik hutang piutang tanpa unsur tambahan keuntungan.