ID Ilustrasi Keuangan dan Komunitas

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Arisan

Arisan, sebuah praktik pengumpulan dana sosial yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia, sering kali menjadi subjek diskusi hangat dalam ranah fikih muamalah. Secara sederhana, arisan adalah sebuah sistem di mana sekelompok orang berkumpul secara berkala untuk menyetorkan sejumlah uang yang kemudian diberikan secara bergilir kepada salah satu anggota kelompok.

Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah: Apakah arisan termasuk kategori utang piutang, jual beli, ataukah skema investasi yang diatur dalam hukum Islam? Memahami klasifikasi ini sangat krusial karena menentukan keabsahan dan konsekuensi syar’i dari transaksi tersebut. Mayoritas ulama kontemporer cenderung mengategorikan arisan sebagai bentuk percampuran antara akad saling tolong-menolong (ta'awun) dan akad utang piutang (qardh), namun dengan beberapa batasan khusus.

Komponen Akad dalam Arisan

Untuk menilai keabsahan arisan, perlu diuraikan elemen-elemen penyusunnya. Arisan bukanlah murni investasi karena tidak ada unsur bagi hasil (profit sharing) yang pasti dari modal yang diputar, melainkan pengembalian modal yang telah disetorkan. Namun, ia juga bukan utang murni tanpa syarat.

Jika arisan dipandang sebagai skema pinjaman, maka uang yang diterima anggota adalah haknya atas modal yang ia setor. Tantangan muncul ketika praktik arisan disertai dengan adanya tambahan uang, yang dikenal sebagai "uang lelang" atau "uang jasa," yang dibayarkan oleh anggota yang menerima giliran lebih dulu.

Hukum Uang Tambahan (Riba atau Bukan?)

Isu yang paling sering menjadi perdebatan adalah mengenai hukum penambahan atau potongan yang dikenakan pada uang yang diterima anggota yang mendapat giliran lebih awal (misalnya, uang yang dipotong untuk kas atau uang lelang).

  1. Arisan Tanpa Kelebihan Nilai: Jika setiap anggota hanya menyetor sejumlah uang tetap dan menerima jumlah yang sama persis ketika gilirannya tiba, tanpa ada bunga atau potongan wajib, arisan ini umumnya dinyatakan halal. Ini dianggap sebagai ta'awun yang dibungkus dalam mekanisme bergilir.
  2. Arisan dengan Kelebihan Nilai (Riba Fadhl): Jika ada anggota yang harus membayar lebih atau menerima kurang secara sistematis yang mengarah pada penambahan nilai uang (bunga), maka praktik ini masuk kategori riba fadhl (riba karena pertukaran barang sejenis yang tidak sama takarannya) atau riba qardh (bunga pinjaman). Hal ini dilarang keras dalam Islam.
  3. Uang Jasa/Uang Kas (Ujrah): Beberapa ulama membolehkan pemotongan kecil dari total iuran untuk menutup biaya administrasi atau operasional penyelenggaraan arisan, asalkan pemotongan tersebut wajar dan disepakati bersama di awal, serta tidak digunakan untuk memperkaya penyelenggara semata. Namun, jika pemotongan tersebut bersifat signifikan dan bertujuan utama menguntungkan penyelenggara, hal ini mendekati praktik riba.

Prinsip Kehati-hatian dan Akad yang Sah

Agar arisan terhindar dari unsur haram, terutama yang mendekati praktik riba, para fuqaha menyarankan beberapa syarat utama:

Praktik arisan yang melibatkan sistem undian (nasib) tanpa premi atau bunga wajib tetap menjadi solusi keuangan sosial yang banyak digunakan. Selama struktur dasarnya mempertahankan prinsip pertukaran modal yang setara, arisan tetap relevan sebagai bagian dari muamalah komunal yang dibolehkan.

Kesimpulannya, hukum islam arisan bergantung penuh pada bagaimana akad tersebut dieksekusi. Jika terlepas dari unsur riba, baik riba fadhl maupun riba qardh, arisan dianggap sebagai bentuk kerjasama dan tolong-menolong yang dianjurkan dalam Islam. Namun, kehati-hatian ekstrem diperlukan agar praktik sosial ini tidak berubah menjadi transaksi keuangan terlarang.

🏠 Homepage