Mengupas Tuntas Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perjanjian
Dalam denyut nadi kehidupan sosial dan ekonomi, interaksi antar individu merupakan sebuah keniscayaan. Dari transaksi jual beli sederhana di pasar tradisional hingga kesepakatan merger miliaran dolar antar korporasi multinasional, semuanya berlandaskan pada satu konsep fundamental dalam hukum perdata: perjanjian atau kontrak. Jantung yang memompa kehidupan ke dalam setiap perjanjian ini adalah sebuah asas agung yang dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak (freedom of contract atau party autonomy). Asas ini merupakan pilar utama yang menopang seluruh bangunan hukum perjanjian, memberikan kekuatan kepada individu untuk mengatur sendiri hubungan hukum mereka, seolah-olah mereka adalah legislator bagi diri mereka sendiri.
Secara esensial, kebebasan berkontrak memberikan pengakuan bahwa setiap subjek hukum memiliki otonomi kehendak (will autonomy) untuk secara bebas menentukan apakah ia ingin masuk ke dalam suatu hubungan kontraktual, dengan siapa ia akan membuatnya, apa saja isi dan substansi dari perjanjian tersebut, serta dalam bentuk apa kesepakatan itu akan dituangkan. Asas ini memandang individu sebagai entitas yang rasional, mampu menimbang untung rugi, dan paling mengetahui apa yang terbaik bagi kepentingannya. Dengan demikian, negara, melalui sistem hukumnya, pada prinsipnya tidak boleh melakukan intervensi terhadap kesepakatan yang telah dibuat secara sukarela oleh para pihak, selama kesepakatan tersebut tidak melanggar batas-batas yang telah ditentukan.
Pentingnya asas ini melampaui sekadar teori hukum di ruang-ruang kuliah. Ia adalah fondasi bagi dinamika pasar bebas, inovasi bisnis, dan kepastian hukum dalam berusaha. Tanpa kebebasan untuk merancang perjanjian sesuai kebutuhan spesifik mereka, pelaku ekonomi akan terhambat oleh kekakuan dan formalitas yang berlebihan, yang pada akhirnya akan melumpuhkan roda perekonomian. Namun, di sisi lain, kebebasan ini bukanlah kebebasan yang absolut dan tanpa batas. Ia bergerak dalam sebuah koridor yang dibatasi oleh kepentingan publik, moralitas, dan perlindungan terhadap pihak yang lebih lemah. Artikel ini akan mengupas secara mendalam, dari akar filosofis hingga implementasinya di era digital, mengenai seluk-beluk asas kebebasan berkontrak, batasannya, serta relevansinya yang abadi dalam dunia yang terus berubah.
Sejarah dan Filosofi di Balik Kebebasan Berkontrak
Untuk memahami esensi dari asas kebebasan berkontrak, kita perlu menelusuri kembali jejak sejarah dan akar filosofisnya yang tertanam kuat pada era Pencerahan (Enlightenment) di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18. Era ini ditandai dengan munculnya pemikiran yang mengagungkan akal budi (rasionalisme), hak-hak individu, dan penolakan terhadap otoritas absolut, baik itu dari monarki maupun gereja. Dari rahim intelektual inilah lahir paham individualisme dan liberalisme, yang menjadi landasan filosofis bagi kebebasan berkontrak.
Para pemikir seperti John Locke dengan teorinya tentang hak-hak alamiah (natural rights) yang meliputi hak atas hidup, kebebasan, dan kepemilikan, memberikan fondasi bahwa individu memiliki otonomi yang inheren. Kehendak bebas individu adalah suci dan harus dihormati. Negara hadir bukan untuk mendikte, melainkan untuk melindungi hak-hak tersebut. Dalam konteks ekonomi, Adam Smith melalui magnum opusnya, "The Wealth of Nations", mengemukakan gagasan "tangan tak terlihat" (invisible hand) yang mengatur pasar. Ia berpendapat bahwa ketika setiap individu dibiarkan bebas mengejar kepentingannya sendiri melalui transaksi sukarela (kontrak), maka secara kolektif, kesejahteraan masyarakat akan tercapai secara efisien tanpa perlu intervensi negara yang berlebihan.
Gagasan-gagasan ini beresonansi kuat dengan kebutuhan zaman, terutama saat Revolusi Industri mulai bergulir. Dinamika ekonomi baru yang ditandai dengan produksi massal, perdagangan yang meluas, dan kebutuhan modal yang besar, menuntut adanya sebuah sistem hukum yang fleksibel, cepat, dan memberikan kepastian. Kontrak menjadi instrumen vital untuk mengakomodasi transaksi-transaksi kompleks ini. Sistem hukum feodal yang kaku, penuh dengan status dan formalitas, dianggap sebagai penghalang. Diperlukan sebuah paradigma baru di mana status seseorang (bangsawan, petani, pedagang) tidak lagi relevan; yang penting adalah kesepakatan yang mereka buat sebagai individu yang bebas dan setara.
Puncak dari pengakuan yuridis terhadap asas kebebasan berkontrak terjadi pada saat kodifikasi hukum sipil di Eropa, yang paling monumental adalah Code Civil des Français atau dikenal sebagai Kode Napoleon. Pasal 1134 dari kode tersebut (dalam versi aslinya) menyatakan, "Les conventions légalement formées tiennent lieu de loi à ceux qui les ont faites," yang berarti "Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya." Frasa ini menjadi kredo suci bagi asas kebebasan berkontrak dan prinsip pacta sunt servanda (janji harus ditepati).
Pengaruh Kode Napoleon ini menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Belanda. Belanda kemudian mengadopsi prinsip serupa dalam Burgerlijk Wetboek (BW) mereka. Melalui jalur kolonialisme, Burgerlijk Wetboek inilah yang kemudian dibawa ke Hindia Belanda dan setelah kemerdekaan Indonesia, diadopsi menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Dengan demikian, DNA filosofis dari Pencerahan Eropa, yang menjunjung tinggi otonomi individu dan kebebasan, terwariskan secara langsung ke dalam sistem hukum perdata Indonesia, dengan asas kebebasan berkontrak sebagai salah satu manifestasi utamanya.
Landasan Yuridis Kebebasan Berkontrak di Indonesia
Di dalam tatanan hukum positif Indonesia, asas kebebasan berkontrak mendapatkan legitimasi utamanya dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal ini, yang merupakan terjemahan langsung dari Pasal 1374 Burgerlijk Wetboek lama, berbunyi:
"Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."
Pasal ini merupakan fondasi (cornerstone) dari seluruh hukum perjanjian di Indonesia. Mari kita bedah makna yang terkandung di dalamnya. Frasa "semua persetujuan" menunjukkan universalitas dari asas ini; pada dasarnya, para pihak bebas untuk membuat perjanjian mengenai apa pun, baik yang sudah diatur secara khusus oleh undang-undang (kontrak nominaat seperti jual beli, sewa-menyewa) maupun yang belum diatur sama sekali (kontrak innominaat seperti waralaba, leasing, sebelum diatur lebih lanjut). Ini memberikan ruang yang sangat luas bagi inovasi dan perkembangan jenis-jenis kontrak baru seiring dengan kebutuhan masyarakat.
Bagian paling krusial adalah frasa "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Ini mengandung makna bahwa kesepakatan privat yang dibuat oleh dua pihak atau lebih memiliki kekuatan mengikat yang setara dengan undang-undang publik bagi para pihak tersebut. Negara, melalui aparaturnya (termasuk hakim), wajib mengakui dan menegakkan isi perjanjian tersebut seolah-olah itu adalah produk hukum dari lembaga legislatif. Prinsip ini dikenal dengan adagium Latin pacta sunt servanda, yang artinya janji itu mengikat dan harus ditepati. Konsekuensinya, salah satu pihak tidak dapat secara sepihak membatalkan atau mengubah isi perjanjian tanpa persetujuan pihak lainnya, kecuali jika ada alasan-alasan sah yang diatur oleh undang-undang.
Dari Pasal 1338 KUH Perdata ini, para ahli hukum merumuskan beberapa elemen inti dari kebebasan berkontrak, yaitu:
- Kebebasan untuk Membuat atau Tidak Membuat Perjanjian: Setiap orang memiliki hak penuh untuk memutuskan apakah akan terlibat dalam suatu hubungan kontraktual atau tidak. Tidak boleh ada paksaan dari pihak mana pun, termasuk negara, untuk memaksa seseorang membuat kontrak. Pilihan untuk abstain dari berkontrak adalah bagian dari kebebasan itu sendiri.
- Kebebasan untuk Memilih Pihak (Partner Kontrak): Individu bebas menentukan dengan siapa ia ingin mengikatkan diri. Seseorang berhak memilih untuk bertransaksi dengan A dan menolak bertransaksi dengan B, berdasarkan pertimbangannya sendiri, selama tidak melanggar peraturan anti-diskriminasi dalam konteks tertentu (misalnya dalam pelayanan publik).
- Kebebasan untuk Menentukan Isi Perjanjian: Ini adalah jantung dari kebebasan berkontrak. Para pihak memiliki otonomi penuh untuk merumuskan hak dan kewajiban masing-masing. Mereka bisa menentukan objek perjanjian, harga, jangka waktu, cara pembayaran, klausul ganti rugi, pilihan penyelesaian sengketa, dan berbagai detail lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama.
- Kebebasan untuk Menentukan Bentuk Perjanjian: Hukum perjanjian Indonesia menganut asas konsensualisme (sebagaimana tersirat dalam Pasal 1320 KUH Perdata), yang berarti perjanjian lahir sejak tercapainya kata sepakat, tanpa memerlukan formalitas tertentu. Oleh karena itu, para pihak bebas memilih apakah perjanjian akan dibuat secara lisan, melalui tindakan diam-diam, atau dituangkan dalam bentuk tulisan (baik akta di bawah tangan maupun akta otentik), kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang oleh undang-undang disyaratkan bentuknya (misalnya perjanjian hibah tanah harus dengan akta PPAT).
- Kebebasan untuk Memilih Hukum yang Berlaku (Choice of Law): Dalam konteks perjanjian yang memiliki unsur asing (perdata internasional), para pihak diberikan kebebasan untuk memilih sistem hukum negara mana yang akan mengatur kontrak mereka. Hal ini memberikan kepastian hukum bagi para pelaku bisnis internasional.
Namun, perlu dicatat bahwa kekuatan mengikat dari Pasal 1338 ayat (1) ini memiliki prasyarat penting, yaitu frasa "dibuat secara sah". Sah di sini merujuk pada pemenuhan empat syarat kumulatif yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: (1) adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu hal tertentu; dan (4) suatu sebab (causa) yang halal. Jika salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi, maka asas kebebasan berkontrak tidak dapat ditegakkan sepenuhnya, dan perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Batasan-batasan dalam Asas Kebebasan Berkontrak
Sebagaimana telah disinggung, kebebasan berkontrak bukanlah sebuah kebebasan yang tanpa tepi. Ia ibarat sebuah sungai deras yang arusnya perlu dibatasi oleh tanggul-tanggul agar tidak meluap dan menyebabkan kerusakan. Filsuf hukum Roscoe Pound mengingatkan bahwa kepentingan individu (individual interests) harus selalu diseimbangkan dengan kepentingan masyarakat (social interests) dan kepentingan publik (public interests). Hukum tidak bisa membiarkan otonomi individu digunakan sebagai alat untuk melegitimasi ketidakadilan, eksploitasi, atau kekacauan sosial.
Batasan-batasan terhadap asas kebebasan berkontrak di Indonesia secara eksplisit dirumuskan dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yang menyatakan:
"Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum."
Pasal ini, yang mengatur tentang "sebab yang halal" sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320), menjadi sumber utama dari tiga batasan fundamental terhadap kebebasan berkontrak. Mari kita ulas satu per satu.
1. Tidak Boleh Bertentangan dengan Undang-Undang
Ini adalah batasan yang paling konkret dan mudah diidentifikasi. Para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang isinya, tujuannya, atau pelaksanaannya melanggar peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa (dwingend recht). Undang-undang di sini harus diartikan secara luas, mencakup UUD, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Daerah.
Contohnya sangat banyak dalam praktik. Sebuah perjanjian jual beli narkotika adalah batal demi hukum karena objeknya secara tegas dilarang oleh Undang-Undang Narkotika. Perjanjian antara dua pengusaha untuk menetapkan harga jual produk mereka secara bersamaan (kartel) adalah batal karena melanggar Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebuah perjanjian kerja yang menetapkan upah di bawah Upah Minimum Regional (UMR) adalah tidak sah pada bagian upahnya karena bertentangan dengan peraturan ketenagakerjaan. Begitu pula, klausul dalam perjanjian kredit yang mengenakan bunga melebihi batas yang wajar (riba) dapat dianggap bertentangan dengan prinsip hukum yang melindungi debitur.
2. Tidak Boleh Bertentangan dengan Kesusilaan Baik (Goede Zeden)
Batasan ini bersifat lebih abstrak dan dinamis dibandingkan dengan undang-undang. Kesusilaan baik merujuk pada nilai-nilai moral, etika, dan kepatutan yang hidup dan diakui oleh mayoritas masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Standar ini tidak tertulis dalam kitab undang-undang, melainkan digali dari rasa keadilan dan norma-norma sosial yang berlaku.
Contoh klasik adalah perjanjian yang bertujuan untuk melakukan perbuatan asusila, seperti perjanjian untuk menjadi simpanan seseorang atau perjanjian untuk mengelola rumah bordil. Meskipun mungkin tidak ada pasal undang-undang yang secara spesifik melarang "kontrak menjadi simpanan", perjanjian semacam itu akan dianggap batal demi hukum karena causa atau tujuannya bertentangan dengan kesusilaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Contoh lain bisa berupa perjanjian jual beli organ tubuh manusia, atau perjanjian taruhan yang tidak diizinkan. Hakim memiliki peran krusial dalam menafsirkan apa yang termasuk dalam lingkup "kesusilaan baik" ini, dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai di masyarakat.
3. Tidak Boleh Bertentangan dengan Ketertiban Umum (Openbare Orde)
Ketertiban umum adalah konsep yang paling luas dan fundamental. Ia mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan dasar-dasar atau sendi-sendi pokok dari tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebuah perjanjian dianggap melanggar ketertiban umum jika pelaksanaannya akan mengganggu atau merusak kepentingan fundamental negara atau masyarakat secara keseluruhan.
Ini bukan hanya tentang keamanan fisik (seperti perjanjian untuk melakukan makar), tetapi juga mencakup fondasi ekonomi, sosial, dan politik negara. Misalnya, perjanjian yang bertujuan untuk menyelundupkan barang-barang ilegal akan merusak tatanan ekonomi dan penerimaan negara. Perjanjian yang mengikat seorang pekerja seumur hidup tanpa hak untuk mengundurkan diri akan melanggar prinsip dasar kemerdekaan individu yang dijamin konstitusi. Demikian pula, perjanjian yang menghalangi seseorang untuk menjalankan hak pilihnya dalam pemilihan umum akan dianggap bertentangan dengan ketertiban umum karena mencederai pilar demokrasi.
Ketiga batasan ini menunjukkan bahwa negara tidak sepenuhnya pasif. Ketika kebebasan individu berpotensi membahayakan tatanan yang lebih besar, hukum akan melakukan intervensi untuk membatasi kebebasan tersebut demi kemaslahatan bersama.
Peran Negara dan Hakim dalam Mengawasi Kebebasan Berkontrak
Paham liberalisme klasik yang mendasari kebebasan berkontrak mengasumsikan bahwa para pihak yang membuat kontrak berada dalam posisi tawar (bargaining position) yang setara. Namun, realitas sosial dan ekonomi seringkali menunjukkan sebaliknya. Sering terjadi ketimpangan posisi yang signifikan, misalnya antara seorang buruh dengan perusahaan raksasa, seorang konsumen dengan lembaga keuangan, atau seorang petani dengan perusahaan agribisnis. Dalam situasi seperti ini, membiarkan kebebasan berkontrak berjalan absolut justru akan melahirkan eksploitasi dan ketidakadilan, di mana pihak yang kuat mendiktekan syarat-syarat yang merugikan pihak yang lemah.
Menyadari hal ini, paradigma negara hukum modern bergeser dari konsep "negara penjaga malam" (nachtwakerstaat) yang hanya pasif, menjadi "negara kesejahteraan" (welfare state) yang aktif melakukan intervensi untuk melindungi warganya yang rentan. Intervensi ini menjadi semacam "tanggul" tambahan yang mengoreksi penerapan asas kebebasan berkontrak.
Intervensi Negara melalui Legislasi
Negara secara aktif menciptakan berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa untuk melindungi pihak yang posisinya dianggap lebih lemah. Undang-undang ini membatasi kebebasan para pihak dalam merumuskan isi kontrak pada sektor-sektor tertentu. Contohnya antara lain:
- Hukum Perburuhan: Undang-Undang Ketenagakerjaan menetapkan standar minimum yang tidak boleh dilanggar, seperti upah minimum, jam kerja maksimum, hak cuti, dan pesangon. Pengusaha dan pekerja tidak bebas untuk menyepakati upah di bawah UMR, meskipun si pekerja "rela" menerimanya karena butuh pekerjaan.
- Hukum Perlindungan Konsumen: Undang-Undang Perlindungan Konsumen melarang pencantuman klausula baku tertentu dalam perjanjian yang ditawarkan oleh pelaku usaha kepada konsumen. Contohnya adalah klausula yang menyatakan pelaku usaha berhak mengubah isi perjanjian secara sepihak atau klausula yang mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha.
- Hukum Persaingan Usaha: Seperti disebutkan sebelumnya, UU ini melarang perjanjian-perjanjian antar pelaku usaha yang dapat mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, demi melindungi kepentingan pasar dan konsumen secara umum.
- Hukum Perbankan dan Jasa Keuangan: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan banyak peraturan yang mengatur isi kontrak antara lembaga jasa keuangan dengan nasabahnya, misalnya mengenai transparansi suku bunga, biaya-biaya, dan mekanisme penanganan pengaduan.
Peran Korektif Hakim melalui Penafsiran
Selain intervensi legislatif, lembaga yudikatif (pengadilan) juga memegang peranan vital dalam mengawasi pelaksanaan kebebasan berkontrak. Hakim tidak lagi hanya menjadi "corong undang-undang" yang menerapkan isi kontrak secara harfiah. Hakim memiliki kewenangan untuk melakukan koreksi jika sebuah perjanjian dinilai mengandung ketidakadilan yang nyata. Instrumen utama yang digunakan hakim adalah:
- Penafsiran Itikad Baik (Good Faith): Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa "Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik." Awalnya, itikad baik hanya ditafsirkan secara subjektif (kejujuran saat membuat kontrak). Namun, perkembangannya, terutama di yurisprudensi, menafsirkannya secara objektif, yaitu pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan norma kepatutan dan keadilan. Berdasarkan prinsip ini, hakim dapat mengesampingkan atau "memoderasi" isi klausul kontrak yang dianggap tidak adil atau tidak patut, meskipun klausul itu telah disepakati para pihak.
- Doktrin Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden / Undue Influence): Doktrin yang berkembang di yurisprudensi ini memungkinkan pembatalan kontrak jika terbukti salah satu pihak membuat perjanjian karena adanya penyalahgunaan keadaan oleh pihak lain. Keadaan yang disalahgunakan bisa berupa keadaan darurat, ketergantungan, ketidaktahuan, atau kurangnya pengalaman dari salah satu pihak, yang dimanfaatkan oleh pihak lain untuk memperoleh keuntungan yang tidak wajar. Ini adalah bentuk perlindungan terhadap kehendak yang cacat, yang tidak sepenuhnya bebas.
Melalui instrumen-instrumen ini, hukum modern berusaha menyeimbangkan antara menghormati otonomi kehendak para pihak dengan memastikan bahwa hasil dari otonomi tersebut tidak melahirkan ketidakadilan yang merusak tatanan sosial.
Kebebasan Berkontrak di Era Digital dan Kontrak Elektronik
Revolusi digital telah mengubah lanskap interaksi manusia secara drastis, termasuk cara kita membuat kontrak. Kini, kita setiap hari berinteraksi dengan kontrak elektronik, seringkali tanpa kita sadari sepenuhnya. Saat mendaftar akun media sosial, menginstal aplikasi, berbelanja online, atau menggunakan layanan streaming, kita dihadapkan pada "Syarat dan Ketentuan" (Terms and Conditions) atau "Kebijakan Privasi" (Privacy Policy) yang harus kita setujui dengan sekali klik.
Fenomena ini melahirkan tantangan baru yang signifikan bagi asas kebebasan berkontrak. Model kontrak yang dominan di dunia digital adalah kontrak baku (standard form contract) atau yang sering disebut sebagai clickwrap, browsewrap, atau shrinkwrap agreement. Kontrak ini dirancang secara sepihak oleh penyedia layanan (pihak yang kuat) dan disodorkan kepada pengguna (pihak yang lemah) dengan basis "ambil atau tinggalkan" (take it or leave it). Pengguna tidak memiliki ruang untuk negosiasi. Mereka hanya punya dua pilihan: setuju dengan semua klausul yang ada, atau tidak bisa menggunakan layanan sama sekali.
Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah "kesepakatan" yang diberikan dalam model ini benar-benar mencerminkan kehendak yang bebas? Beberapa isu kritis yang muncul adalah:
- Ketidakseimbangan Informasi dan Posisi Tawar: Pengguna seringkali tidak membaca, atau bahkan jika membaca, tidak memahami sepenuhnya isi syarat dan ketentuan yang panjang, rumit, dan ditulis dalam bahasa hukum yang sulit. Di sisi lain, penyedia platform memiliki tim hukum yang merancang setiap klausul untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan risiko mereka.
- Klausul-klausul yang Tidak Terduga: Seringkali di dalam kontrak-kontrak digital ini tersembunyi klausul-klausul yang merugikan pengguna, seperti pemberian lisensi yang sangat luas kepada platform untuk menggunakan konten yang diunggah pengguna, pembatasan tanggung jawab platform secara ekstrem, pilihan forum penyelesaian sengketa di negara yang jauh, atau persetujuan untuk pengumpulan dan penggunaan data pribadi secara ekstensif.
- Ilusi Persetujuan: Tindakan mengklik tombol "Saya Setuju" seringkali lebih merupakan formalitas teknis untuk mengakses layanan daripada sebuah manifestasi kesepakatan yang sadar dan terinformasi atas setiap klausul yang ada di dalamnya.
Menghadapi tantangan ini, sistem hukum di berbagai negara, termasuk Indonesia, berupaya beradaptasi. Di Indonesia, dasar hukum untuk kontrak elektronik diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) beserta peraturan pelaksananya. UU ITE pada prinsipnya mengakui keabsahan kontrak elektronik dan menyamakannya dengan kontrak konvensional. Namun, pengawasan terhadap substansinya tetap mengacu pada prinsip-prinsip hukum perjanjian umum dalam KUH Perdata, termasuk batasan-batasan terhadap kebebasan berkontrak dan perlindungan terhadap pihak yang lemah.
Praktik peradilan di masa depan akan sangat menentukan bagaimana asas kebebasan berkontrak ini diterapkan dalam konteks digital. Hakim kemungkinan akan lebih kritis dalam meninjau klausul-klausul dalam kontrak clickwrap, terutama yang dianggap tidak wajar atau sangat merugikan konsumen. Konsep itikad baik dan larangan penyalahgunaan keadaan akan menjadi alat yang semakin penting untuk melindungi pengguna dari praktik-praktik yang tidak adil, meskipun mereka secara teknis telah "menyetujui" syarat dan ketentuan tersebut.
Masa Depan Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak bukanlah konsep yang statis. Ia terus berevolusi, beradaptasi dengan perubahan nilai-nilai sosial, perkembangan ekonomi, dan kemajuan teknologi. Ke depan, ada beberapa tren yang kemungkinan besar akan membentuk wajah baru dari asas fundamental ini.
Pertama, adanya pergeseran global dari paradigma kebebasan absolut menuju kebebasan yang bertanggung jawab (responsible freedom). Dunia usaha semakin didorong untuk tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan mereka. Isu-isu ESG (Environmental, Social, and Governance) mulai meresap ke dalam praktik kontrak. Misalnya, dalam kontrak rantai pasok global, perusahaan besar kini seringkali mensyaratkan pemasok mereka untuk mematuhi standar perburuhan yang layak dan praktik lingkungan yang berkelanjutan. Kontrak tidak lagi hanya menjadi alat transaksi ekonomi, tetapi juga instrumen untuk mempromosikan tanggung jawab sosial korporat.
Kedua, perkembangan teknologi blockchain melahirkan konsep smart contracts. Ini adalah program komputer yang secara otomatis mengeksekusi, mengontrol, atau mendokumentasikan peristiwa dan tindakan yang relevan secara hukum sesuai dengan persyaratan perjanjian. Smart contracts menawarkan efisiensi dan kepastian yang luar biasa karena "kode adalah hukum" (code is law); sekali diprogram, ia akan berjalan sesuai logika yang ditentukan tanpa bisa diintervensi. Di satu sisi, ini bisa dilihat sebagai manifestasi tertinggi dari pacta sunt servanda. Namun, di sisi lain, ini menimbulkan tantangan baru. Bagaimana jika terjadi kesalahan dalam kode? Bagaimana menerapkan prinsip itikad baik atau doktrin penyalahgunaan keadaan pada kode yang kaku dan tidak fleksibel? Bagaimana jika keadaan berubah secara drastis (force majeure) yang tidak diantisipasi dalam kode? Harmonisasi antara kekakuan kode smart contract dengan fleksibilitas dan prinsip keadilan dalam hukum konvensional akan menjadi perdebatan hukum yang menarik di masa depan.
Ketiga, dengan semakin kompleksnya produk dan jasa, terutama di sektor keuangan dan teknologi, peran regulasi yang proaktif dalam menetapkan "aturan main" kontrak akan semakin penting. Negara tidak bisa hanya menunggu terjadinya sengketa, tetapi harus lebih aktif menetapkan standar minimum dan klausul-klausul yang dilarang untuk mencegah kerugian pada pihak yang lemah sejak awal. Keseimbangan antara memberikan ruang bagi inovasi melalui kebebasan berkontrak dan menetapkan pagar pengaman melalui regulasi akan terus menjadi tantangan bagi para pembuat kebijakan.
Kesimpulan
Asas kebebasan berkontrak, yang lahir dari semangat Pencerahan, tetap menjadi pilar yang tak tergoyahkan dalam hukum perjanjian modern. Ia adalah pengakuan atas martabat dan otonomi individu untuk membentuk takdir hukumnya sendiri. Tanpa asas ini, dinamika ekonomi dan sosial akan terbelenggu dalam kekakuan, menghambat kreativitas dan efisiensi. Di Indonesia, kekuatannya ditegaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang memberikan kekuatan laksana undang-undang pada kesepakatan privat.
Namun, perjalanan sejarah dan realitas sosial telah mengajarkan kita bahwa kebebasan yang tidak terkendali dapat menjadi pedang bermata dua, yang berpotensi menindas pihak yang lemah dan mengganggu harmoni sosial. Oleh karena itu, hukum membangun benteng-benteng pembatas berupa larangan bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Negara, melalui legislasi, dan hakim, melalui penafsiran yang berkeadilan, memainkan peran aktif sebagai penjaga keseimbangan, memastikan bahwa kebebasan tidak berubah menjadi kesewenang-wenangan.
Di tengah gelombang digitalisasi dan tantangan global baru, asas kebebasan berkontrak tidaklah usang. Sebaliknya, ia diuji dan dipaksa untuk beradaptasi. Ia harus menemukan bentuk barunya dalam menghadapi kontrak clickwrap, smart contracts, dan tuntutan akan tanggung jawab sosial. Pada akhirnya, esensi dari asas ini akan selalu relevan: sebuah pencarian tiada henti untuk titik keseimbangan yang adil antara otonomi kehendak individu dan perlindungan terhadap nilai-nilai kebersamaan, sebuah harmoni antara kebebasan dan keadilan.