Aristoteles, murid Plato dan salah satu filsuf paling berpengaruh dalam sejarah Barat, menawarkan sebuah kerangka kerja yang sangat berbeda mengenai hakikat kebenaran dibandingkan gurunya. Sementara Plato cenderung melihat kebenaran tertinggi berada di dunia Idea yang transenden, Aristoteles membumikan filsafatnya pada dunia empiris—dunia yang dapat kita amati dan pelajari melalui pengalaman indrawi. Bagi Aristoteles, kebenaran bukanlah sekadar ingatan akan bentuk sempurna, melainkan sebuah properti dari penilaian atau pernyataan yang kita buat tentang realitas.
Konsep sentral dalam pandangan Aristoteles mengenai kebenaran adalah **Teori Korespondensi (Correspondence Theory of Truth)**. Meskipun Aristoteles tidak merumuskan ini secara sistematis seperti para filsuf abad pertengahan, gagasan ini secara implisit mendasari seluruh logika dan metafisikanya.
Secara sederhana, sebuah pernyataan dianggap benar jika dan hanya jika pernyataan itu sesuai dengan fakta atau keadaan aktual di dunia nyata. Ia mengartikulasikannya dalam karyanya, Metafisika: "Mengatakan tentang yang ada bahwa ia tidak ada, atau tentang yang tidak ada bahwa ia ada, adalah salah; sementara mengatakan tentang yang ada bahwa ia ada, dan tentang yang tidak ada bahwa ia tidak ada, adalah benar."
Contoh paling mendasar adalah proposisi "Langit itu biru." Proposisi ini benar jika, saat kita mengamati langit (realitas), kita melihat warna biru. Jika langit mendung atau malam hari, proposisi tersebut (sebagai sebuah pernyataan umum) mungkin tidak koheren dengan keadaan sesaat itu, atau jika kita mengatakannya pada malam hari, pernyataan itu dianggap salah karena tidak sesuai dengan fakta yang diamati. Kebenaran terikat erat pada hubungan antara subjek (apa yang kita ucapkan) dan predikat (bagaimana hal itu ada di dunia).
Untuk mencapai kebenaran korespondensi ini, Aristoteles menekankan pentingnya logika. Logika, atau yang ia sebut sebagai Analitika, adalah alat fundamental yang memungkinkan kita menyusun pemikiran secara benar agar dapat merefleksikan realitas secara akurat. Struktur dasar penalaran adalah silogisme, di mana kesimpulan yang benar hanya dapat ditarik jika premis-premisnya sendiri sudah benar dan strukturnya valid.
Kebenaran pada level proposisi (pernyataan) sangat bergantung pada bagaimana kita mengkategorikan realitas. Aristoteles membagi cara kita berbicara tentang keberadaan (being) menjadi sepuluh Kategori (substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, dll.). Kebenaran muncul ketika predikat yang kita gunakan dalam kalimat sesuai dengan kategori eksistensi subjek tersebut. Misalnya, mengatakan "Socrates itu tinggi" (kualitas) dapat menjadi benar, tetapi mengatakan "tinggi itu ada" tanpa kualifikasi bisa jadi ambigu, karena 'tinggi' hanyalah atribut, bukan substansi independen.
Dalam pandangan Aristoteles, kebenaran dan kepalsuan (kesalahan) adalah kategori yang saling melengkapi dan diterapkan pada tataran ujaran atau pemikiran (logos), bukan pada benda itu sendiri. Benda (misalnya, pohon) secara ontologis ada atau tidak ada; ia tidak bisa 'salah'. Namun, ketika kita membuat pernyataan tentang pohon—"Pohon ini berdaun hijau"—pernyataan itu bisa menjadi benar atau salah berdasarkan kondisi pohon tersebut.
Ini membedakan Aristoteles dari pandangan subjektivis. Kebenaran bukanlah masalah opini pribadi atau perasaan internal, melainkan sebuah kondisi objektif di mana bahasa berhasil menggambarkan dunia sebagaimana adanya. Jika setiap orang percaya bahwa langit itu hijau, tetapi pengamatan independen menunjukkan warna biru, maka kebenaran tetaplah biru.
Implikasi terbesar dari pandangan Aristoteles tentang kebenaran adalah penekanannya pada pengamatan empiris dan penalaran induktif. Untuk mengetahui apa yang benar tentang dunia alam (fisika), kita harus mengamatinya berulang kali. Melalui pengamatan yang terstruktur dan sistematis, kita dapat menyimpulkan prinsip-prinsip umum yang, ketika diuji kembali terhadap realitas, akan menghasilkan pengetahuan yang stabil dan benar.
Oleh karena itu, kebenaran menurut Aristoteles adalah jembatan yang kokoh antara pikiran kita (logos) dan realitas yang dapat diobservasi (kosmos). Ini adalah kebenaran yang dicapai melalui kerja keras intelektual, deduksi logis, dan verifikasi yang berakar kuat pada dunia inderawi, meninggalkan alam spekulasi murni.