Memahami Posisi Kloset Menghadap Kiblat
Islam adalah agama yang sempurna, mengatur setiap aspek kehidupan pemeluknya dengan detail yang menakjubkan. Dari urusan ibadah ritual hingga etika dalam kehidupan sehari-hari, semuanya memiliki tuntunan. Salah satu aspek yang seringkali menjadi pertanyaan, terutama dalam konteks arsitektur modern, adalah adab dalam buang hajat, khususnya mengenai posisi kloset atau WC yang menghadap kiblat atau membelakanginya. Topik ini, meskipun terkesan sepele bagi sebagian orang, menunjukkan betapa dalamnya perhatian Islam terhadap adab dan penghormatan terhadap simbol-simbol suci.
Kiblat, yang berpusat di Ka'bah, Makkah, bukan sekadar arah shalat. Ia adalah simbol pemersatu umat Islam di seluruh dunia, titik fokus spiritual yang mengingatkan setiap Muslim akan keesaan Allah SWT. Oleh karena itu, menjaga kehormatan dan kesucian arah ini menjadi bagian dari manifestasi iman. Artikel ini akan mengupas tuntas permasalahan posisi kloset menghadap kiblat, mulai dari dasar hukumnya dalam hadis, perbedaan pendapat para ulama, hikmah di baliknya, hingga solusi praktis dalam kehidupan modern.
Dasar Hukum dari Sunnah Nabi
Pembahasan mengenai adab ini bersumber langsung dari hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Terdapat beberapa riwayat yang menjadi landasan utama para ulama dalam merumuskan hukumnya. Memahami hadis-hadis ini beserta konteksnya adalah kunci untuk mengerti perbedaan pendapat yang muncul kemudian.
Hadis yang Melarang
Hadis yang paling fundamental terkait larangan ini diriwayatkan oleh sahabat Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jika kalian mendatangi tempat buang hajat, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya saat buang air besar atau buang air kecil. Akan tetapi, menghadaplah ke arah timur atau barat.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang menunjukkan derajat kesahihannya yang sangat tinggi. Perintah dalam hadis ini sangat jelas dan lugas: larangan untuk menghadap ataupun membelakangi kiblat. Perkataan "menghadaplah ke arah timur atau barat" adalah konteks bagi penduduk Madinah, di mana arah kiblat mereka adalah ke selatan. Sehingga, menghadap timur atau barat berarti menyamping dari arah kiblat. Esensi dari perintah ini adalah untuk tidak searah atau berlawanan arah dengan kiblat.
Hadis lain yang senada juga diriwayatkan dari sahabat lain seperti Salman Al-Farisi dan Abu Hurairah, yang semakin menguatkan adanya larangan ini. Larangan ini dipahami oleh sebagian besar ulama sebagai bentuk pengagungan (ta'zhim) terhadap kiblat.
Hadis yang Tampak Membolehkan
Di sisi lain, terdapat riwayat yang seolah-olah bertentangan dengan hadis Abu Ayyub di atas. Riwayat ini datang dari sahabat Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Beliau berkata:
“Sungguh aku pernah menaiki atap rumah Hafshah (saudari beliau dan istri Nabi), lalu aku melihat Rasulullah SAW sedang buang hajat dengan menghadap ke arah Syam dan membelakangi Ka’bah.”
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Dalam konteks geografis Madinah, menghadap Syam (utara) berarti membelakangi Ka'bah (selatan). Perbuatan Nabi SAW ini secara zahir (tekstual) tampak berlawanan dengan sabda beliau dalam hadis Abu Ayyub. Inilah yang menjadi titik tolak munculnya perbedaan pandangan di kalangan para fuqaha (ahli fikih).
Bagaimana mungkin sabda Nabi melarang sesuatu, namun perbuatan beliau justru melakukannya? Para ulama dengan kearifan dan kedalaman ilmunya berusaha melakukan al-jam'u wat taufiq, yaitu mengkompromikan dan menyelaraskan dalil-dalil yang tampak bertentangan ini, bukan dengan menolak salah satunya.
Perbedaan Pendapat Para Ulama Fikih
Dari dua kelompok hadis tersebut, para ulama dari berbagai mazhab merumuskan pandangan hukum yang berbeda. Perbedaan ini bukanlah sebuah perpecahan, melainkan rahmat dan kekayaan intelektual dalam Islam yang menunjukkan betapa dinamisnya ijtihad para ulama.
Pendapat Pertama: Haram Secara Mutlak
Sebagian kecil ulama berpendapat bahwa larangan menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat bersifat mutlak, baik di dalam ruangan (bangunan) maupun di luar ruangan (tanah lapang). Mereka berpegang teguh pada keumuman lafaz hadis Abu Ayyub Al-Anshari yang bersifat qauli (ucapan), dan dalam kaidah ushul fikih, ucapan Nabi lebih diutamakan daripada perbuatan jika terjadi pertentangan, karena ucapan bersifat umum untuk seluruh umat, sedangkan perbuatan bisa jadi memiliki kekhususan bagi beliau.
Ulama yang memegang pendapat ini antara lain Imam Abu Hanifah (dalam salah satu riwayat), Mujahid, dan beberapa ulama dari mazhab Zhahiri. Alasan mereka adalah bahwa illat (sebab) dari larangan ini adalah untuk mengagungkan kiblat, dan pengagungan ini tidak dibatasi oleh tempat, baik di dalam maupun di luar bangunan.
Pendapat Kedua: Boleh Secara Mutlak
Ini adalah pendapat yang paling sedikit pengikutnya. Mereka berargumen bahwa hadis Ibnu Umar yang menceritakan perbuatan Nabi telah menasakh (menghapus) hukum yang ada pada hadis Abu Ayyub. Artinya, larangan tersebut berlaku di awal Islam, kemudian dibolehkan setelahnya. Pendapat ini dipegang oleh beberapa ulama seperti Urwah bin Zubair dan Rabi'ah Ar-Ra'yi. Namun, mayoritas ulama menolak konsep nasakh dalam kasus ini karena kedua hadis masih mungkin untuk dikompromikan.
Pendapat Ketiga: Haram di Tanah Lapang, Boleh di Dalam Bangunan (Pendapat Jumhur)
Ini adalah pendapat mayoritas ulama (jumhur), termasuk di dalamnya pandangan resmi dari mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Pendapat inilah yang paling populer dan banyak diamalkan di berbagai belahan dunia Islam. Cara mereka mengkompromikan dua hadis tersebut sangatlah logis dan cemerlang.
- Hadis larangan dari Abu Ayyub dipahami berlaku untuk kondisi di luar ruangan atau di tanah lapang (padang pasir) di mana tidak ada penghalang antara orang tersebut dengan arah kiblat.
- Hadis perbuatan Nabi dari Ibnu Umar dipahami berlaku untuk kondisi di dalam ruangan atau bangunan, di mana terdapat dinding atau penghalang lainnya. Perbuatan Nabi tersebut terjadi di atas atap rumah yang memiliki struktur bangunan sebagai penghalang.
Dengan demikian, menurut jumhur ulama, hukumnya dirinci sebagai berikut:
- Haram: Menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat di tempat terbuka tanpa ada penghalang (sutrah).
- Boleh (Tidak Makruh): Menghadap atau membelakangi kiblat saat buang hajat di dalam bangunan seperti toilet, kamar mandi, atau tempat tertutup lainnya yang memiliki dinding sebagai penghalang.
Imam Asy-Syafi'i menjelaskan bahwa dinding bangunan berfungsi sebagai penghalang yang menghilangkan kemakruhan atau keharaman. Penghalang ini memutus "koneksi" langsung antara orang yang buang hajat dengan arah kiblat yang agung, sehingga unsur perendahan terhadap kiblat menjadi hilang. Pendapat ini dianggap sebagai jalan tengah yang paling kuat karena berhasil mengamalkan kedua dalil hadis tanpa menafikan salah satunya.
Hikmah dan Filosofi di Balik Larangan
Setiap aturan dalam syariat Islam pasti mengandung hikmah yang mendalam, baik yang bisa kita nalar maupun tidak. Dalam larangan menghadap kiblat saat buang hajat, terdapat beberapa hikmah agung yang dapat kita renungkan.
1. Pengagungan (Ta'zhim) terhadap Syiar Islam
Hikmah paling utama adalah untuk menanamkan dalam diri seorang Muslim rasa pengagungan terhadap kiblat. Kiblat adalah syiar agung Allah. Dengan menjaganya dari hal-hal yang dianggap kotor atau rendah (seperti buang hajat), kita sedang melatih jiwa kita untuk selalu menghormati apa yang dihormati oleh Allah. Ini adalah bentuk adab seorang hamba kepada Tuhannya, bahkan dalam kondisi yang paling pribadi sekalipun.
2. Menjaga Konsistensi Spiritual
Seorang Muslim menghadap kiblat lima kali sehari dalam kondisi terbaiknya: suci, bersih, dan khusyuk saat shalat. Mengarahkan bagian tubuh yang sama ke arah yang sama saat dalam kondisi sebaliknya (sedang buang kotoran) dianggap sebagai sesuatu yang kurang pantas dan dapat mencederai konsistensi penghormatan spiritual. Islam mengajarkan untuk membedakan antara kondisi agung dan kondisi biasa.
3. Pendidikan Adab yang Komprehensif
Aturan ini mengajarkan bahwa Islam adalah jalan hidup yang menyeluruh. Tidak ada satu pun aspek kehidupan yang luput dari tuntunan. Bahkan dalam urusan yang paling privat seperti di kamar mandi, seorang Muslim tetap dituntun untuk beradab. Ini membentuk karakter Muslim yang senantiasa sadar akan pengawasan Allah (muraqabah) di setiap waktu dan tempat.
4. Membedakan Diri dari Praktik Lain
Pada masa lalu, beberapa kepercayaan atau agama memiliki ritual tertentu yang berhubungan dengan arah mata angin atau benda-benda langit saat melakukan aktivitas tertentu. Islam datang dengan syariatnya sendiri yang khas, yang bertujuan untuk memurnikan ibadah dan adab hanya karena Allah, bukan karena kepercayaan lain. Menghadap atau menyamping dari kiblat adalah murni karena perintah Allah, bukan karena kepercayaan pada kekuatan arah tertentu.
Aplikasi Praktis dalam Kehidupan Modern
Mengetahui hukum dan hikmahnya tentu harus bermuara pada penerapan praktis. Bagaimana kita mengaplikasikan tuntunan ini dalam konteks rumah, kantor, atau fasilitas umum di zaman sekarang?
Saat Membangun atau Merenovasi Rumah
Bagi mereka yang sedang dalam tahap merancang, membangun, atau merenovasi rumah, ini adalah kesempatan emas untuk menerapkan sunnah secara ideal. Langkah-langkah yang bisa dilakukan adalah:
- Tentukan Arah Kiblat yang Akurat: Gunakan kompas, aplikasi penentu arah kiblat di ponsel pintar, atau berkonsultasi dengan ahli untuk mengetahui arah kiblat yang presisi di lokasi bangunan Anda.
- Rancang Tata Letak Kamar Mandi: Posisikan dudukan kloset (baik kloset duduk maupun jongkok) agar tidak lurus menghadap atau membelakangi arah kiblat. Posisi terbaik adalah menyamping (membentuk sudut 90 derajat) atau setidaknya serong secara signifikan dari arah kiblat.
- Komunikasikan kepada Arsitek dan Tukang: Sampaikan keinginan Anda ini dengan jelas kepada perancang dan para pekerja bangunan. Jelaskan bahwa ini adalah bagian dari keyakinan dan adab yang ingin Anda terapkan di rumah Anda.
Melakukan hal ini sejak awal akan jauh lebih mudah dan murah dibandingkan harus membongkar dan merenovasi ulang di kemudian hari. Ini adalah investasi untuk ketenangan batin dan pahala karena mengikuti sunnah.
Jika Kloset di Rumah Sudah Terlanjur Menghadap Kiblat
Banyak dari kita yang tinggal di rumah yang sudah jadi, baik itu membeli dari developer, rumah warisan, atau rumah kontrakan. Seringkali, posisi kloset sudah terpasang dan ternyata lurus menghadap atau membelakangi kiblat. Apa yang harus dilakukan?
Mengingat pendapat jumhur ulama membolehkannya karena berada di dalam bangunan, secara hukum fikih, hal tersebut tidaklah berdosa. Namun, keluar dari perbedaan pendapat (khuruj minal khilaf) dan mengambil sikap kehati-hatian adalah sesuatu yang sangat dianjurkan dan lebih utama (afdhal). Ada beberapa solusi yang bisa ditempuh:
- Solusi Ideal: Renovasi. Jika memiliki kemampuan finansial dan kesempatan, merenovasi posisi kloset adalah pilihan terbaik. Ini akan memberikan ketenangan hati yang sempurna.
- Solusi Praktis: Mengubah Posisi Duduk. Ini adalah solusi yang paling mudah dan dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa biaya. Saat menggunakan kloset, usahakan untuk memiringkan atau menyerongkan posisi tubuh sedikit ke kiri atau ke kanan. Cukup dengan bergeser beberapa derajat saja sudah dianggap keluar dari posisi lurus menghadap atau membelakangi kiblat. Meskipun klosetnya tetap, yang terpenting adalah posisi tubuh kita saat buang hajat.
- Memahami Keringanan (Rukhsah): Jika kedua solusi di atas sulit dilakukan (misalnya karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk duduk serong, atau tinggal di properti sewaan), maka tidak perlu merasa berdosa atau bersalah. Anda berada dalam posisi yang dibolehkan menurut pendapat mayoritas ulama. Islam tidak membebani seseorang di luar kemampuannya.
Bagaimana dengan Fasilitas Umum?
Ketika menggunakan toilet di kantor, mal, bandara, atau fasilitas umum lainnya, kita tidak memiliki kendali atas desainnya. Jika kita mendapati kloset menghadap kiblat, sikap yang terbaik adalah:
- Jika memungkinkan, carilah bilik toilet lain yang posisinya lebih baik.
- Jika tidak ada pilihan lain, gunakan toilet tersebut sambil berusaha menyerongkan posisi badan sebisa mungkin.
- Jika itu pun sulit, maka tidak ada masalah. Dosa desain tersebut tidak ditanggung oleh pengguna, melainkan oleh perancang atau pemilik gedung yang mungkin tidak mengetahui atau tidak peduli dengan adab ini.
Pertanyaan Seputar Topik (FAQ)
Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering muncul terkait masalah ini beserta jawabannya yang ringkas.
Apakah hukumnya sama untuk buang air kecil dan buang air besar?
Ya, hadis Abu Ayyub Al-Anshari menyebutkan keduanya secara eksplisit ("saat buang air besar atau buang air kecil"). Oleh karena itu, larangan (di tempat terbuka) atau anjuran untuk menghindarinya (di tempat tertutup) berlaku untuk kedua aktivitas tersebut.
Apakah ini berlaku untuk kloset jongkok dan kloset duduk?
Tentu saja. Hukum ini tidak berkaitan dengan jenis kloset, melainkan dengan posisi tubuh seseorang saat buang hajat terhadap arah kiblat. Jadi, adab ini berlaku universal untuk semua jenis kloset.
Bagaimana jika saya tidak tahu persis arah kiblat di suatu tempat?
Jika Anda berada di tempat asing dan tidak tahu arah kiblat, maka Anda tidak dibebani kewajiban ini. Lakukan sesuai dengan perkiraan atau keyakinan Anda. Jika tidak memungkinkan untuk memperkirakan, maka tidak ada masalah. Kewajiban ini berlaku bagi orang yang mengetahui atau mampu mengetahui arah kiblat.
Bagaimana hukumnya di kendaraan yang bergerak seperti pesawat atau kereta api?
Dalam kondisi darurat atau di atas kendaraan yang terus bergerak, berlaku kaidah "kesulitan mendatangkan kemudahan". Posisi toilet di pesawat atau kereta api bersifat tetap dan tidak bisa diubah. Dalam situasi seperti ini, tidak ada larangan untuk menggunakannya sebagaimana adanya. Prioritasnya adalah menunaikan hajat untuk kesehatan dan kenyamanan.
Kesimpulan: Sebuah Cerminan Adab dan Keimanan
Pembahasan mengenai posisi kloset menghadap kiblat adalah sebuah contoh indah tentang bagaimana Islam memperhatikan detail terkecil dalam kehidupan seorang Muslim. Ini bukan sekadar aturan yang kaku, melainkan sebuah pendidikan adab untuk senantiasa mengagungkan syiar-syiar Allah SWT.
Meskipun mayoritas ulama (jumhur) berpendapat bahwa larangan tersebut tidak berlaku di dalam bangunan yang tertutup, mengambil sikap kehati-hatian dengan mengatur posisi kloset agar menyamping dari arah kiblat adalah sebuah pilihan yang lebih utama dan menunjukkan kesempurnaan adab (ihsan). Hal ini menunjukkan tingkat keimanan dan kecintaan seseorang dalam menerapkan sunnah Rasulullah SAW dalam setiap aspek kehidupannya.
Bagi yang sudah terlanjur memiliki kloset menghadap kiblat di dalam rumah, janganlah berkecil hati atau merasa berdosa, karena Anda mengikuti pendapat jumhur yang kuat. Namun, jika ada kesempatan dan kemudahan, berusaha memperbaikinya adalah sebuah kebaikan. Pada akhirnya, yang terpenting adalah niat dan usaha kita untuk senantiasa menjadi hamba yang lebih baik, yang perhatiannya terhadap adab kepada Allah tidak pernah luntur, bahkan di tempat yang paling tersembunyi sekalipun.