Representasi Konsep Aerodinamika W13
Kembalinya era mobil Formula 1 dengan regulasi aerodinamika tanah (ground effect) menandai tantangan besar bagi semua tim di grid. Di antara mereka, Mercedes W13, yang dipersenjatai oleh Lewis Hamilton dan George Russell, memegang ekspektasi tertinggi. Mobil ini adalah evolusi dari dominasi mereka yang panjang, namun harus beradaptasi penuh dengan perubahan filosofi desain. Kehadiran W13 di Sirkuit Internasional Bahrain untuk sesi pramusim dan balapan pembuka menjadi sorotan utama dunia motorsport.
Balapan di Bahrain selalu menjadi tolak ukur performa awal musim. Sirkuit yang menuntut keseimbangan antara kecepatan tinggi dan kemampuan pengereman agresif ini memaksa setiap tim untuk mengeluarkan potensi penuh dari paket aerodinamika mereka. Namun, debut publik Mercedes W13 justru menampilkan serangkaian masalah yang tidak terduga. Masalah utama yang langsung terlihat adalah fenomena yang kemudian dikenal luas sebagai "Porpoising".
Porpoising adalah osilasi vertikal cepat yang disebabkan oleh ketidakstabilan sayap tanah (ground effect) saat mobil mencapai kecepatan tinggi. Ketika udara di bawah mobil terperangkap dan terlepas secara periodik, mobil akan memantul hebat, mirip lumba-lumba yang melompat di atas air—inilah asal nama tersebut. Tim lain mengalami hal ini, tetapi W13 tampak menderita dampaknya paling parah, terutama di trek lurus panjang dan saat memasuki tikungan berkecepatan tinggi di Sakhir.
Desain W13 sangat mencolok karena solusi radikal mereka pada sisi bodi mobil (sidepods). Sementara sebagian besar tim memilih desain konvensional atau sedikit lebih ramping, Mercedes memilih pendekatan yang sangat minimalis, hampir tanpa bodi samping, yang mereka yakini akan memaksimalkan aliran udara ke bagian belakang mobil dan meningkatkan efisiensi aerodinamis. Filosofi ini, yang secara teoritis menjanjikan kecepatan maksimal, ternyata menjadi sumber utama kesulitan dalam mengelola Porpoising.
Di Bahrain, meskipun kecepatan lurus Mercedes tetap mengesankan, masalah Porpoising membuat kedua pembalap kesulitan mempertahankan traksi dan, yang lebih penting, membuat mobil sulit dikendarai secara konsisten. Hal ini berdampak langsung pada kualifikasi dan daya tahan ban selama balapan panjang. Pengaturan suspensi yang lebih kaku, yang biasanya menjadi solusi, justru memperburuk pantulan pada sasis W13 yang sensitif.
Meskipun hasil balapan perdana jauh dari harapan—terutama dengan kegagalan ganda di akhir balapan karena masalah bahan bakar yang menyertai kesulitan teknis lainnya—sesi di Bahrain memberikan data krusial bagi tim pabrikan Jerman tersebut. Mereka menyadari bahwa konsep desain radikal mereka perlu segera direvisi. Mercedes harus bekerja keras untuk menemukan titik keseimbangan antara aerodinamika tingkat rendah yang diinginkan dan stabilitas struktural yang dibutuhkan mobil di bawah aturan ground effect yang baru. Pengalaman di sirkuit tersebut menjadi titik balik yang memaksa mereka mengakui bahwa dominasi mereka telah berakhir dan era pengembangan cepat baru saja dimulai. Performa W13 setelah Bahrain membuktikan bahwa adaptasi adalah kunci di era F1 yang baru ini.