Peci, atau yang dikenal juga sebagai songkok atau kopiah, merupakan salah satu penutup kepala identik yang dikenakan oleh jutaan pria, terutama di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Keberadaannya yang begitu populer menimbulkan pertanyaan mendasar: sebenarnya peci berasal dari negara mana?
Meskipun identik dengan budaya Melayu dan sering diasosiasikan dengan negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, asal usul peci ternyata lebih kompleks dan mencakup wilayah geografis yang lebih luas. Sejarah peci tidak terpusat pada satu negara tunggal, melainkan merupakan hasil dari evolusi budaya dan pengaruh dari berbagai peradaban.
Penelusuran asal usul peci mengarah pada beberapa teori yang saling terkait. Salah satu teori paling kuat mengaitkan peci dengan tradisi penutup kepala di Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman Empire). Kekaisaran ini, yang berpusat di wilayah Turki modern, memiliki pengaruh budaya dan agama yang sangat luas di berbagai belahan dunia selama berabad-abad.
Di era Kekaisaran Utsmaniyah, penggunaan berbagai jenis topi dan penutup kepala sangat umum. Bentuk peci yang kita kenal sekarang, yaitu topi berbentuk silinder datar tanpa pinggiran, diduga kuat merupakan evolusi dari jenis topi yang dikenakan oleh para pejabat dan kaum terpelajar pada masa itu. Bentuknya yang sederhana dan fungsional membuatnya mudah diadopsi.
Perkembangan teknologi pembuatan tekstil dan penyebaran gaya busana dari pusat-pusat kekuasaan seperti Istanbul turut berperan dalam mendifusikan model peci ini. Para pedagang, ulama, dan musafir yang melakukan perjalanan dari jantung Kekaisaran Utsmaniyah membawa serta tradisi busana mereka, termasuk peci, ke wilayah-wilayah taklukan atau yang memiliki hubungan dagang, salah satunya adalah Asia Tenggara.
Ketika peci tiba di Asia Tenggara, ia tidak hanya sekadar diadopsi, tetapi juga mengalami adaptasi sesuai dengan budaya dan kebutuhan lokal. Di Indonesia, misalnya, peci menjadi simbol identitas nasional dan keagamaan yang kuat. Penggunaannya semakin meluas seiring dengan perkembangan gerakan Islam dan nasionalisme pada awal abad ke-20.
Bentuk peci di Indonesia bervariasi, mulai dari yang paling sederhana (songkok laken) hingga yang lebih berstruktur dengan lapisan keras di bagian dalam. Peci hitam polos menjadi yang paling umum, namun ada juga variasi dengan motif bordir atau bahan yang berbeda. Keberadaannya dalam momen-momen penting seperti salat Jumat, hari raya Idul Fitri, atau acara resmi semakin mempertegas posisinya dalam masyarakat.
Di Malaysia dan Brunei Darussalam, peci juga memegang peranan penting. Songkok, nama yang lebih umum digunakan di sana, seringkali memiliki variasi bentuk dan hiasan yang khas. Songkok beludru hitam adalah yang paling klasik dan banyak dikenakan oleh pria Muslim, terutama saat acara keagamaan dan perayaan.
Terlepas dari asal usul negaranya yang bisa ditelusuri ke berbagai wilayah, peci telah menjadi lebih dari sekadar aksesori mode. Di banyak komunitas Muslim, peci melambangkan kesopanan, kerendahan hati, dan identitas keagamaan. Mengenakan peci dapat diartikan sebagai upaya untuk menghormati ajaran agama dan menunjukkan afiliasi kepada komunitas Muslim.
Bagi sebagian orang, peci juga merupakan simbol warisan budaya. Ia mengingatkan pada leluhur dan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun. Bahkan bagi mereka yang tidak selalu mengenakannya setiap hari, peci tetap menjadi objek yang memiliki nilai sentimental dan historis.
Jadi, jika ditanya peci berasal dari negara mana, jawabannya tidak sesederhana satu negara saja. Kemungkinan besar, bentuk dasar peci modern berakar dari tradisi penutup kepala di Kekaisaran Utsmaniyah. Namun, ia tumbuh dan berkembang menjadi simbol yang kuat dan identik dengan berbagai budaya di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika. Peci kini adalah lambang kesopanan, identitas keagamaan, dan warisan budaya yang berhasil melintasi batas negara dan bersatu dalam keragaman.