Salah satu syarat sahnya sholat bagi umat Islam adalah menghadap kiblat, yaitu Ka'bah di Masjidil Haram, Mekkah. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan perintah langsung dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW. Namun, bagaimana status hukum sholat seseorang yang terpaksa atau karena ketidaktahuan tidak menghadap kiblat? Pertanyaan ini sering muncul, terutama dalam situasi perjalanan jauh, darurat, atau bagi mereka yang baru mempelajari Islam.
Menghadap kiblat (istiqbal al-qiblah) adalah rukun sholat yang sangat penting. Ketentuan ini memberikan kesatuan spiritual bagi miliaran Muslim di seluruh dunia, menjadikan sholat bukan hanya ibadah personal, tetapi juga ibadah kolektif yang terstruktur. Jika seseorang mengetahui arah kiblat namun sengaja meninggalkannya tanpa alasan syar'i, sholatnya dipastikan tidak sah dan wajib diulang.
Ilustrasi simbolis arah sholat dan kiblat. Alt: Sketsa orang sholat yang menghadap arah yang salah, dengan panah menunjuk ke Ka'bah.
Apabila seseorang berada di lokasi yang sangat jauh atau belum mengetahui arah kiblat sama sekali—misalnya, sedang dalam perjalanan di lautan tanpa kompas atau baru masuk Islam dan belum sempat belajar—hukumnya berbeda. Dalam keadaan seperti ini, Islam memberikan keringanan berdasarkan prinsip ma'dzurah (dimaafkan) karena ketiadaan ilmu atau sarana.
Para ulama sepakat bahwa seseorang wajib berusaha mencari tahu arah kiblat sebisa mungkin, menggunakan alat bantu (seperti kompas atau aplikasi) atau bertanya kepada orang yang terpercaya. Jika setelah berusaha keras ia tetap keliru, sholatnya tetap sah. Imam Nawawi menyebutkan bahwa jika seseorang berijtihad (bersungguh-sungguh mencari) dan ternyata keliru, ia tidak perlu mengulang sholatnya.
Kondisi lain yang sering menimbulkan pertanyaan adalah sholat di dalam pesawat terbang, kapal laut, atau kendaraan darat yang bergerak. Jika seseorang tidak mungkin turun atau mengarahkan kendaraannya lurus ke kiblat karena pergerakan yang konstan, maka berlaku hukum kemudahan.
Hal ini sejalan dengan kaidah fiqih yang menyatakan bahwa 'kemudahan ditarik ketika muncul kesulitan' (al-mashaqqatu tujlib at-taisīr). Jika berusaha mengarahkannya akan menimbulkan bahaya atau kesulitan ekstrem, maka rukhsah (keringanan) berlaku.
Ini adalah skenario yang paling umum. Seseorang sholat di sebuah tempat, merasa sudah menghadap kiblat, namun setelah selesai sholat ia diberi tahu bahwa arahnya keliru beberapa derajat, atau bahkan berbalik arah.
Menghadap kiblat adalah penegasan kesatuan ibadah. Namun, Islam adalah agama yang bijaksana dan memberikan kelonggaran ketika kondisi menghalangi pemenuhan rukun tersebut secara sempurna. Selama seseorang telah mengerahkan upaya terbaiknya untuk mengetahui arah kiblat—baik dalam kondisi normal, perjalanan, maupun darurat—maka sholatnya dianggap sah di sisi Allah SWT, meskipun ia ternyata keliru dalam penentuannya.
Kunci utamanya adalah niat tulus untuk taat, diikuti dengan usaha maksimal sesuai kemampuan yang ada.