Konsep Syajaratul Ma'arif, atau Pohon Pengetahuan, seringkali dikaitkan dengan pemikiran ulama kontemporer KH. Bahauddin Nursalim, yang lebih akrab disapa Gus Baha. Konsep ini bukanlah istilah baru dalam tradisi keilmuan Islam, namun Gus Baha seringkali mengemasnya dengan analogi yang sangat sederhana namun mendalam, membuatnya mudah dipahami oleh masyarakat awam. Dalam pandangan Gus Baha, ilmu pengetahuan—terutama ilmu agama—bukanlah sekadar tumpukan teks atau hafalan, melainkan sebuah organisme hidup yang harus tumbuh dan berbuah.
Analogi pohon ini sangat kuat. Sebuah pohon memerlukan akar yang kokoh, batang yang kuat, cabang-cabang yang menjulur, hingga akhirnya menghasilkan buah yang bermanfaat. Dalam konteks keilmuan, akar adalah pondasi dasar, batang adalah metodologi penguasaan ilmu, dan buah adalah penerapan ilmu tersebut dalam kehidupan nyata yang membawa maslahat bagi diri sendiri dan lingkungan sosial.
Ilustrasi sederhana dari konsep Pohon Ilmu.
Dalam pandangan Gus Baha, akar dari Syajaratul Ma'arif adalah fondasi keimanan dan pemahaman dasar syariat. Jika akarnya tidak kuat—misalnya, hanya mengandalkan teori tanpa dasar akidah yang sahih—maka pohon ilmu tersebut rentan tumbang diterpa angin keraguan. Akar ini mencakup pemahaman tauhid yang benar, penghayatan rukun Islam dan rukun Iman, serta pengenalan terhadap dasar-dasar fikih yang praktis. Tanpa akar ini, cabang-cabang ilmu yang lebih tinggi menjadi tidak relevan atau bahkan menyesatkan.
Gus Baha sering menekankan bahwa ilmu yang sejati dimulai dari pengakuan akan keagungan Allah SWT. Keilmuan bukan bertujuan untuk pamer kecerdasan, melainkan untuk semakin mengenal Pencipta. Inilah pondasi yang membuat ilmu itu berkah dan mampu bertahan lama dalam ingatan serta praktik.
Setelah akar tertanam, muncullah batang. Batang merepresentasikan struktur ilmu itu sendiri—bagaimana cara kita mempelajari, menata, dan memahami berbagai disiplin ilmu. Ini termasuk penguasaan bahasa Arab, metode istinbat hukum, hingga pemahaman kontekstual terhadap teks-teks klasik. Cabang-cabangnya adalah spesialisasi ilmu, seperti tafsir, hadis, tasawuf, atau ushul fikih.
Gus Baha menganalogikan bahwa seseorang tidak bisa tiba-tiba memanjat cabang tanpa melalui batang. Artinya, penguasaan ilmu harus bertahap dan sistematis. Kesalahan umum yang sering dikritik adalah melompati dasar-dasar fundamental demi menguasai isu-isu kontemporer yang bombastis. Pohon ilmu sejati tumbuh perlahan, memperluas jangkauannya secara alami seiring dengan penguatan batang utamanya.
Bagian terpenting dari Syajaratul Ma'arif adalah buah. Buah dari ilmu bukanlah gelar akademis, banyaknya hafalan, atau kemampuan berdebat yang memukau. Menurut Gus Baha, buah ilmu adalah akhlak mulia dan kemanfaatan praktis. Ilmu yang tidak menghasilkan kebaikan (buah) dalam perilaku sehari-hari adalah ilmu yang mandul.
Buah dari ilmu agama seharusnya terlihat dalam sikap tawadhu (rendah hati), kasih sayang kepada sesama, dan kesungguhan dalam beribadah. Ilmu yang benar akan melunakkan hati, bukan mengeraskannya. Jika seseorang semakin berilmu namun semakin sombong atau intoleran, maka pohon ilmunya kering, buahnya tidak ada, atau bahkan beracun. Oleh karena itu, proses "memanen" ilmu adalah proses pembentukan karakter yang berorientasi pada keridhaan Allah dan pelayanan kemanusiaan.
Konsep Syajaratul Ma'arif Gus Baha mengajak kita untuk melihat perjalanan intelektual sebagai proses organik yang dinamis. Ia bukan sekadar akumulasi informasi, melainkan sebuah proses penumbuhan yang menuntut kesabaran (untuk menumbuhkan akar dan batang) dan ketulusan (agar menghasilkan buah yang baik). Dengan memandang ilmu sebagai pohon, kita diingatkan bahwa ilmu yang paling tinggi nilainya adalah ilmu yang mampu menaungi dan memberi manfaat bagi orang lain, layaknya pohon rindang yang memberi naungan dan buah segar bagi siapa pun yang singgah.