KH. Bahauddin Nursalim, atau yang akrab disapa Gus Baha, adalah salah satu ulama karismatik Indonesia yang memiliki kedalaman ilmu luar biasa. Salah satu konsep penting yang sering ia singgung dalam kajiannya adalah Syajaratul Ma'arif, yang secara harfiah berarti "Pohon Pengetahuan." Konsep ini bukan sekadar metafora, melainkan sebuah kerangka berpikir untuk memahami hierarki dan kesinambungan ilmu dalam tradisi Islam.
Syajaratul Ma'arif mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan, terutama ilmu agama, memiliki akar, batang, dan cabang. Mengabaikan akarnya berarti pemahaman kita akan menjadi dangkal dan mudah goyah. Gus Baha sering menekankan bahwa pemahaman yang utuh memerlukan penelusuran mendalam dari sumber primer hingga aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Pohon ini melambangkan bahwa setiap cabang ilmu saling terkait dan bersumber dari batang utama, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Akar Ilmu: Tauhid dan Akhlak
Dalam pandangan Gus Baha, akar dari Syajaratul Ma'arif adalah fondasi keimanan yang kokoh, yaitu Tauhid dan Akhlakul Karimah. Tanpa fondasi ini, ilmu-ilmu lain yang dipelajari hanya akan menjadi hiasan tanpa substansi. Ilmu fikih, tafsir, atau hadis akan kehilangan maknanya jika tidak didasari oleh kesadaran penuh akan keesaan Allah dan etika pergaulan yang mulia. Gus Baha seringkali menyoroti bagaimana praktik ibadah yang benar selalu beriringan dengan perbaikan karakter.
Batang utama pohon ini adalah ilmu-ilmu dasar yang menjadi prasyarat untuk memahami ajaran Islam secara komprehensif. Ini mencakup penguasaan bahasa Arab sebagai bahasa wahyu, kaidah ushul fiqh, dan metodologi pemahaman (manhaj). Penguasaan batang ini memastikan bahwa penafsiran kita terhadap dalil tidak menyimpang dari kaidah yang telah ditetapkan oleh para ulama terdahulu.
Cabang Ilmu dan Relevansinya
Cabang-cabang Syajaratul Ma'arif adalah manifestasi ilmu yang beragam, seperti fikih, tasawuf, tafsir, dan kalam. Yang menarik dari pendekatan Gus Baha adalah bagaimana ia sering mengintegrasikan cabang-cabang ini. Beliau mengajarkan bahwa antara tasawuf (pemahaman spiritual) dan fikih (aturan praktis) tidak boleh terpisah. Keduanya harus berjalan seiring untuk menghasilkan seorang Muslim yang saleh secara lahir dan batin.
Pendekatan ini sangat relevan di era digital saat ini. Banyak informasi agama tersebar luas tanpa filter, seringkali hanya menampilkan cabang-cabang tanpa menjelaskan akarnya. Syajaratul Ma'arif menjadi penangkal terhadap dangkalnya pemahaman. Ketika seseorang hanya mempelajari satu cabang ilmu tanpa melihat pohon secara keseluruhan, mudah baginya untuk jatuh pada pemahaman yang parsial dan memicu perpecahan.
Pentingnya Kesinambungan dan Pewarisan Ilmu
Lebih dari sekadar struktur ilmu, Syajaratul Ma'arif juga menyiratkan proses kesinambungan. Pohon membutuhkan perawatan agar terus tumbuh. Dalam konteks keilmuan Islam, ini berarti tradisi keilmuan harus terus dihidupkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses talaqqi (belajar langsung) atau kajian mendalam. Gus Baha, sebagai pewaris tradisi pesantren, secara konsisten mengingatkan umat untuk menghormati dan mengikuti jejak keilmuan para mufassir dan muhadditsin yang telah meletakkan fondasi pengetahuan ini.
Dengan memahami Syajaratul Ma'arif ala Gus Baha, seorang pencari ilmu diajak untuk bersikap rendah hati, menyadari luasnya samudra ilmu, dan selalu kembali kepada sumber utama. Ini adalah sebuah peta jalan intelektual yang menjamin bahwa setiap langkah dalam menuntut ilmu berada di jalur yang benar, menuju kedekatan sejati dengan Allah SWT melalui pemahaman yang holistik dan beradab.