Memahami Hari Tarwiyah: Gerbang Menuju Puncak Ibadah Haji

Ilustrasi tenda-tenda di Mina pada Hari Tarwiyah Hari Tarwiyah di Mina Ilustrasi grafis sederhana yang menggambarkan suasana perkemahan di Mina dengan latar belakang perbukitan dan bulan sabit, melambangkan persiapan jemaah haji.

Ilustrasi jemaah haji di tenda-tenda Mina pada Hari Tarwiyah

Dalam rangkaian ibadah haji yang agung, setiap hari dan setiap ritual memiliki makna dan hikmah yang mendalam. Salah satu hari yang menjadi penanda awal dari puncak ibadah haji adalah tanggal 8 Zulhijah, yang dikenal sebagai Hari Tarwiyah. Bagi jutaan jemaah haji, hari ini bukan sekadar hari biasa. Ia adalah hari persiapan, hari kontemplasi, dan gerbang spiritual sebelum melangkah ke Padang Arafah. Memahami apa itu Tarwiyah adalah kunci untuk menghayati perjalanan haji secara utuh, merasakan setiap detak spiritual yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para nabi sebelumnya.

Banyak orang mungkin lebih familiar dengan Wukuf di Arafah, melempar jumrah di Mina, atau Tawaf di Masjidil Haram. Namun, Hari Tarwiyah memegang peranan krusial sebagai fondasi dari semua itu. Ia adalah fase transisi, di mana jemaah secara fisik dan mental bergerak dari hiruk pikuk kota Makkah menuju kesunyian dan kesederhanaan Mina, mempersiapkan diri untuk dialog paling intim dengan Sang Pencipta pada hari berikutnya. Artikel ini akan mengupas tuntas seluk-beluk Hari Tarwiyah, dari makna etimologisnya, jejak sejarahnya, rincian amalannya, hingga hikmah agung yang tersembunyi di baliknya.

Mengurai Makna Kata "Tarwiyah"

Untuk memahami esensi Hari Tarwiyah, kita perlu menelusuri akar katanya. Kata "Tarwiyah" (التَرْوِيَة) berasal dari bahasa Arab, dari akar kata rawa-yarwi (رَوَى - يَرْوِي). Kata ini memiliki beberapa makna yang saling berkaitan dan semuanya merefleksikan aktivitas yang terjadi pada hari tersebut di masa lalu maupun secara spiritual.

1. Makna Harfiah: Memberi Minum dan Membawa Bekal Air

Makna paling literal dan historis dari "tarwiyah" adalah "membawa bekal air" atau "memberi minum hingga puas". Pada zaman dahulu, sebelum adanya fasilitas modern seperti sekarang, perjalanan dari Makkah ke Arafah adalah sebuah perjalanan padang pasir yang berat. Mina, yang menjadi persinggahan pertama, belum memiliki sumber air yang melimpah. Oleh karena itu, para jemaah haji akan menggunakan hari ke-8 Zulhijah ini untuk mempersiapkan bekal, terutama air, dalam jumlah yang cukup untuk diri mereka sendiri dan unta-unta mereka. Mereka akan mengisi penuh tempat-tempat air mereka (qirab) sebagai persiapan untuk perjalanan menuju Arafah dan Muzdalifah. Aktivitas "membawa bekal air" inilah yang menjadi asal-usul penamaan hari tersebut sebagai Yaumut Tarwiyah (Hari Membawa Bekal Air).

Penamaan ini menjadi pengingat abadi tentang kondisi fisik para pendahulu kita dalam menunaikan panggilan Ilahi, mengajarkan kita tentang pentingnya persiapan dan kesungguhan dalam beribadah.

2. Makna Kiasan: Berpikir dan Merenung

Akar kata yang sama, rawa-yarwi, juga bisa berkembang menjadi kata tarawwa-yatarawwa (تَرَوَّى - يَتَرَوَّى), yang berarti "berpikir secara mendalam", "mempertimbangkan", atau "merenung". Makna ini sangat relevan dengan aspek spiritual Hari Tarwiyah. Hari ini dihubungkan dengan sebuah peristiwa penting yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS. Diriwayatkan bahwa pada malam ke-8 Zulhijah, Nabi Ibrahim AS bermimpi diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Ketika bangun di pagi hari (Hari Tarwiyah), beliau menghabiskan waktu untuk berpikir dan merenungkan (yutarawwi) apakah mimpi tersebut benar-benar wahyu dari Allah atau hanya gangguan dari setan. Keraguan dan proses perenungan mendalam inilah yang kemudian dikaitkan dengan penamaan hari tersebut.

3. Makna Lain: Meriwayatkan

Dalam konteks lain, kata rawa-yarwi juga berarti "meriwayatkan" sebuah hadis atau kisah. Meskipun makna ini tidak secara langsung menjadi sebab penamaan, ia secara spiritual dapat dihubungkan. Hari Tarwiyah adalah hari di mana jemaah haji "meriwayatkan" kembali jejak langkah (sunnah) Nabi Muhammad SAW. Mereka bergerak dari Makkah ke Mina pada hari ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam Haji Wada' (haji perpisahan). Dengan melakukan hal ini, setiap jemaah seolah-olah menjadi perawi hidup dari sunnah agung tersebut, menjaga tradisi kenabian tetap hidup dari generasi ke generasi.

Dari ketiga makna ini, kita dapat melihat bahwa Tarwiyah adalah hari yang kaya akan dimensi. Ia adalah hari persiapan fisik (membawa air), hari perenungan batin (meneladani Nabi Ibrahim), dan hari peneguhan sunnah (mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW).

Sejarah dan Kedudukan Hari Tarwiyah dalam Rangkaian Haji

Praktik singgah di Mina pada Hari Tarwiyah bukanlah inovasi baru dalam Islam. Ia memiliki akar sejarah yang panjang. Sebelum masa kenabian, masyarakat Arab Jahiliyah juga melakukan perjalanan haji, meskipun praktik mereka telah banyak tercampur dengan kemusyrikan. Mereka juga melakukan perjalanan ke Arafah, namun seringkali tanpa tatanan yang jelas.

Ketika Islam datang, syariat haji dimurnikan dan disempurnakan oleh Rasulullah SAW. Puncaknya adalah saat beliau melaksanakan Haji Wada'. Dalam haji tersebut, Rasulullah SAW memberikan contoh praktik manasik haji yang sempurna, yang menjadi pedoman bagi seluruh umat Islam hingga akhir zaman. Salah satu bagian dari praktik tersebut adalah apa yang beliau lakukan pada tanggal 8 Zulhijah.

Praktik Rasulullah SAW pada Haji Wada'

Pada pagi hari Kamis, tanggal 8 Zulhijah, setelah melaksanakan salat Subuh di Makkah (tepatnya di daerah Abtah), Rasulullah SAW beserta para sahabatnya mulai bergerak menuju Mina. Bagi para sahabat yang sebelumnya telah bertahallul setelah umrah (karena mengambil haji Tamattu'), mereka kembali mengenakan kain ihram dari tempat tinggal mereka di Makkah pada pagi hari itu juga. Rasulullah SAW menunggangi untanya dan memimpin rombongan besar tersebut, terus-menerus menggemakan talbiyah:

"Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni'mata laka wal mulk, laa syarika lak."

Setibanya di Mina, beliau dan para sahabat mendirikan tenda-tenda. Beliau kemudian melaksanakan salat Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya secara qashar (meringkas salat empat rakaat menjadi dua) tetapi tidak di-jama' (digabung). Setiap salat dilaksanakan pada waktunya masing-masing. Beliau bermalam (mabit) di Mina pada malam tersebut, menghabiskan waktu dengan berzikir, berdoa, dan mempersiapkan diri. Keesokan paginya, setelah melaksanakan salat Subuh dan menunggu matahari terbit, barulah beliau melanjutkan perjalanan menuju Arafah. Rangkaian tindakan inilah yang menjadi dasar hukum dan sunnah bagi pelaksanaan Hari Tarwiyah.

Status Hukum Bermalam di Mina pada Hari Tarwiyah

Berdasarkan praktik yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para ulama fikih membahas status hukum dari kegiatan pada Hari Tarwiyah, khususnya berangkat dan bermalam di Mina. Terdapat sedikit perbedaan pandangan di antara mazhab-mazhab fikih, namun mayoritas sepakat pada esensinya.

Pandangan Mayoritas Ulama (Jumhur)

Mazhab Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali berpendapat bahwa berangkat menuju Mina pada tanggal 8 Zulhijah dan bermalam di sana adalah sunnah mu'akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Ini berarti, seorang jemaah haji sangat dianjurkan untuk mengikuti jejak Nabi ini. Jika seseorang melakukannya, ia akan mendapatkan pahala yang besar karena menghidupkan sunnah. Namun, jika ia meninggalkannya—misalnya dengan langsung menuju Arafah pada tanggal 9 Zulhijah—hajinya tetap sah dan ia tidak diwajibkan membayar dam (denda). Meskipun demikian, ia telah kehilangan sebuah keutamaan yang besar dalam ibadah hajinya.

Dalil mereka sangat jelas: perbuatan Nabi Muhammad SAW. Rasulullah melakukannya secara konsisten dan para sahabat mengikutinya. Tidak ada riwayat yang menunjukkan beliau memerintahkannya sebagai sebuah kewajiban, sehingga statusnya ditetapkan sebagai sunnah yang ditekankan.

Pandangan Lainnya

Sebagian kecil ulama, termasuk dalam Mazhab Maliki, memandang singgah di Mina ini sebagai sesuatu yang mustahabb (disukai atau dianjurkan) tetapi tidak sampai tingkat sunnah mu'akkadah. Perbedaan ini lebih bersifat terminologis, namun intinya sama: mengikuti jejak Nabi pada hari ini adalah sebuah keutamaan yang sebaiknya tidak ditinggalkan tanpa uzur yang syar'i.

Pada praktiknya, jutaan jemaah haji dari seluruh dunia berusaha semaksimal mungkin untuk menghidupkan sunnah ini. Mereka berbondong-bondong bergerak ke Mina, mengubah lembah yang tadinya sepi menjadi lautan tenda putih yang dihuni oleh para tamu Allah (dhuyufurrahman).

Rincian Amalan dan Tata Cara pada Hari Tarwiyah

Bagi jemaah haji, memahami urutan amalan pada Hari Tarwiyah sangatlah penting agar dapat melaksanakannya dengan benar dan khusyuk. Tata caranya sedikit berbeda tergantung pada jenis haji yang diambil (Tamattu', Qiran, atau Ifrad).

1. Bagi Jemaah Haji Tamattu'

Haji Tamattu' adalah jenis haji yang paling umum dilakukan oleh jemaah dari luar Arab Saudi, termasuk Indonesia. Jemaah ini melakukan umrah terlebih dahulu, lalu bertahallul (keluar dari kondisi ihram), dan baru memulai ihram untuk haji pada Hari Tarwiyah.

2. Bagi Jemaah Haji Ifrad dan Qiran

Jemaah yang mengambil haji Ifrad (haji saja) atau Qiran (menggabungkan haji dan umrah dalam satu niat dan pekerjaan) sudah berada dalam kondisi ihram sejak mereka pertama kali tiba di miqat. Oleh karena itu, mereka tidak perlu berniat ihram lagi.

Amalan Selama Berada di Mina

Setelah tiba di Mina dan menempati tenda (maktab) masing-masing, ada beberapa amalan utama yang dianjurkan untuk dilakukan:

  1. Melaksanakan Salat Fardu: Jemaah melaksanakan salat Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya di Mina. Salat yang berjumlah empat rakaat (Zuhur, Asar, Isya) dilaksanakan secara qashar (diringkas menjadi dua rakaat). Namun, salat-salat ini tidak di-jama' (digabungkan). Setiap salat dikerjakan pada waktunya masing-masing. Salat Magrib (tiga rakaat) dan Subuh (dua rakaat) tetap dilaksanakan seperti biasa. Salat bisa dilakukan berjamaah di tenda atau di masjid-masjid terdekat jika memungkinkan.
  2. Bermalam (Mabit): Menghabiskan malam tanggal 9 Zulhijah di Mina adalah bagian dari sunnah Tarwiyah. Malam ini adalah kesempatan emas untuk beribadah.
  3. Memperbanyak Ibadah Personal: Waktu di Mina pada Hari Tarwiyah sebaiknya diisi dengan berbagai bentuk ibadah personal. Ini termasuk:
    • Berzikir: Mengingat Allah dengan membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.
    • Membaca Al-Qur'an: Merenungi ayat-ayat suci Al-Qur'an dan maknanya.
    • Berdoa: Memanjatkan doa-doa pribadi, memohon ampunan, rahmat, dan kebaikan dunia akhirat.
    • Bermuhasabah: Melakukan introspeksi diri, merenungi dosa-dosa yang telah lalu, dan bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
  4. Menjaga Adab: Selama di Mina, jemaah harus menjaga adab-adab ihram dan adab sebagai tamu Allah. Hindari perdebatan (jidal), perbuatan fasik, dan perkataan yang tidak bermanfaat. Fokuskan seluruh energi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
  5. Menunggu Pagi Hari ke-9 Zulhijah: Setelah melaksanakan salat Subuh pada tanggal 9 Zulhijah, jemaah menunggu hingga matahari terbit. Setelah itu, mereka akan melanjutkan perjalanan ke Arafah untuk melaksanakan rukun haji yang paling utama, yaitu wukuf.

Hikmah dan Filosofi Agung di Balik Hari Tarwiyah

Setiap syariat dalam Islam pasti mengandung hikmah yang luar biasa, tak terkecuali pelaksanaan Hari Tarwiyah. Mengapa jemaah haji harus singgah terlebih dahulu di Mina sebelum ke Arafah? Mengapa tidak langsung menuju puncak haji? Di sinilah letak keindahan tatanan syariat haji.

1. Persiapan Spiritual dan Mental (Training Camp)

Hari Tarwiyah di Mina berfungsi sebagai sebuah "kamp pelatihan" atau "stasiun transit" spiritual. Wukuf di Arafah adalah puncak dari haji, sebuah momen dialog yang sangat intens dan personal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Untuk bisa mencapai kekhusyukan maksimal di Arafah, diperlukan persiapan batin yang matang. Mina adalah tempatnya.

Dengan menginap semalam di Mina, jemaah diajak untuk melepaskan diri sejenak dari kesibukan duniawi yang masih terasa di Makkah. Suasana Mina yang lebih tenang, dengan lautan tenda seragam, menciptakan atmosfer yang kondusif untuk kontemplasi. Jemaah diberi waktu untuk "memanaskan mesin spiritual" mereka, mengumpulkan fokus, dan membersihkan hati sebelum menghadap Allah di Arafah. Tanpa fase persiapan ini, banyak jemaah mungkin akan tiba di Arafah dalam kondisi lelah secara fisik dan belum siap secara mental, sehingga kehilangan momen-momen berharga di sana.

2. Meneladani Jejak Para Nabi (Ittiba'us Sunnah)

Dengan melaksanakan amalan Hari Tarwiyah, setiap jemaah secara langsung menghidupkan sunnah Nabi Muhammad SAW. Ini adalah bentuk cinta dan ketaatan kepada Rasulullah. Lebih jauh lagi, hari ini juga mengingatkan kita pada kisah perenungan Nabi Ibrahim AS. Dengan demikian, jemaah haji sedang menapaktilasi jejak dua nabi agung, sang Khalilullah (Ibrahim AS) dan sang Habibullah (Muhammad SAW). Perasaan terhubung dengan sejarah para nabi ini akan menambah kekhusyukan dan keagungan ibadah haji.

3. Latihan Kesabaran, Kesederhanaan, dan Persaudaraan

Kehidupan di Mina adalah miniatur dari kehidupan yang sederhana. Jemaah meninggalkan kenyamanan hotel di Makkah untuk tinggal di tenda-tenda yang seragam, tidur di atas kasur tipis, dan berbagi fasilitas umum dengan jutaan orang lainnya dari berbagai bangsa, suku, dan status sosial. Semua orang mengenakan pakaian yang sama (ihram), menghilangkan semua simbol status duniawi.

Proses ini mengajarkan banyak hal:

4. Adaptasi Fisik dan Logistik

Dari sisi praktis, singgah di Mina juga memberikan kesempatan bagi jemaah untuk beradaptasi dengan kondisi di perkemahan sebelum menghadapi puncak kepadatan di Arafah dan Muzdalifah. Ini adalah kesempatan untuk menyesuaikan diri secara fisik dengan cuaca dan lingkungan. Secara logistik, pergerakan bertahap dari Makkah ke Mina, lalu ke Arafah, membantu mengurai kepadatan jutaan jemaah, sehingga pergerakan menjadi lebih teratur dan terkendali.

Kesalahan Umum yang Perlu Dihindari pada Hari Tarwiyah

Meskipun amalannya terlihat sederhana, ada beberapa kesalahan yang terkadang dilakukan oleh jemaah haji pada Hari Tarwiyah. Mengetahui hal ini dapat membantu kita untuk menghindarinya.

Kesimpulan: Tarwiyah Adalah Pintu Gerbang Kesucian

Pada akhirnya, Tarwiyah adalah lebih dari sekadar ritual persinggahan. Ia adalah sebuah proses inisiasi, sebuah gerbang yang harus dilalui oleh para tamu Allah sebelum memasuki "ruang" yang paling sakral dalam ibadah haji, yaitu Arafah. Ia adalah hari untuk mengisi kembali "wadah" spiritual kita, merenungkan makna perjalanan hidup, dan meneguhkan kembali komitmen kita untuk mengikuti jejak Rasulullah SAW.

Dengan memahami makna, sejarah, amalan, dan hikmah di balik Hari Tarwiyah, seorang jemaah haji tidak lagi melihatnya sebagai sekadar formalitas, melainkan sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dari sebuah transformasi spiritual. Ia adalah hari di mana kita mempersiapkan bekal air untuk fisik kita, sekaligus mempersiapkan bekal takwa untuk jiwa kita, sebelum berdiri di hadapan Allah SWT di padang Arafah, memohon ampunan dan rahmat-Nya yang tak terhingga.

🏠 Homepage