Membedah Makna Hari Tarwiyah: Permulaan Puncak Ibadah Haji

Ilustrasi perkemahan jamaah haji di Mina pada Hari Tarwiyah
Ilustrasi perkemahan jamaah haji di Mina pada malam Hari Arafah, sebuah momen refleksi dan persiapan.

Dalam kalender Islam, bulan Dzulhijjah memegang posisi yang sangat istimewa. Ia bukan hanya bulan penutup tahun Hijriah, tetapi juga menjadi panggung bagi salah satu rukun Islam yang paling agung, yaitu ibadah haji. Di antara rangkaian hari-hari mulia pada awal Dzulhijjah, tanggal 8 Dzulhijjah menonjol dengan nama khasnya: Hari Tarwiyah. Bagi jutaan umat Islam yang menunaikan ibadah haji, hari ini adalah gerbang pembuka menuju puncak spiritual di Arafah. Namun, bagi umat Islam di seluruh dunia, Hari Tarwiyah menyimpan lapisan makna, sejarah, dan hikmah yang mendalam, menjadikannya lebih dari sekadar penanda tanggal.

Hari Tarwiyah adalah hari persiapan, baik secara fisik maupun rohani. Ia adalah momen transisi di mana para jamaah haji, yang telah berada di Makkah, mulai bergerak menuju Mina. Mereka meninggalkan hiruk pikuk kota dan memasuki fase isolasi spiritual, menginap di lembah Mina sebagai persiapan untuk wukuf di Arafah keesokan harinya. Nama "Tarwiyah" sendiri bukanlah nama yang muncul tanpa sebab. Ia berakar dari peristiwa sejarah dan memiliki makna linguistik yang kaya, yang masing-masing lapisannya menambah kedalaman pemahaman kita tentang esensi hari yang penuh berkah ini.

Menggali Akar Kata dan Sejarah Penamaan Tarwiyah

Untuk memahami sepenuhnya signifikansi Hari Tarwiyah, kita perlu menyelami asal-usul namanya. Kata "Tarwiyah" (التروية) dalam bahasa Arab berasal dari akar kata rawa-yarwi (رَوَى-يَرْوِي), yang memiliki beberapa makna turunan yang saling berkaitan. Para ulama dan sejarawan menjelaskan setidaknya ada tiga narasi utama yang menjadi latar belakang penamaan hari ke-8 Dzulhijjah ini, dan ketiganya secara indah melengkapi satu sama lain.

1. Makna "Membawa Bekal Air"

Penjelasan yang paling populer dan paling mudah dipahami secara historis adalah bahwa "Tarwiyah" berarti mempersiapkan dan membawa bekal air. Pada zaman dahulu, sebelum era modern dengan segala fasilitasnya, perjalanan haji adalah sebuah ujian fisik yang luar biasa. Wilayah Mina dan Arafah, tempat para jamaah akan menghabiskan beberapa hari berikutnya, adalah lembah gurun yang kering dan tandus. Tidak ada sumber air yang melimpah di sana.

Oleh karena itu, pada tanggal 8 Dzulhijjah, para jamaah haji akan sibuk mempersiapkan diri dengan mengisi penuh tempat-tempat air mereka (qirbah) di Makkah. Mereka "yarwun" (يَرْوُوْنَ), yaitu memberi minum unta-unta dan ternak mereka hingga puas, sekaligus membawa air sebanyak mungkin untuk kebutuhan mereka sendiri selama berada di Mina dan Arafah. Proses "memberi minum hingga puas" atau "membawa bekal air" inilah yang kemudian melekat menjadi nama hari tersebut. Ini adalah cerminan dari sebuah persiapan logistik yang krusial, sebuah tindakan antisipasi yang memastikan kelangsungan hidup di tengah kondisi alam yang keras. Tindakan ini melambangkan bahwa ibadah besar memerlukan persiapan yang matang, tidak hanya spiritual tetapi juga fisik.

2. Makna "Merenung dan Berpikir"

Makna kedua jauh lebih bersifat spiritual dan terkait dengan kisah agung Nabi Ibrahim AS, sang Khalilullah (kekasih Allah). Kata "Tarwiyah" juga berasal dari kata tarawwa-yatarawwa (تَرَوَّى-يَتَرَوَّى), yang berarti berpikir secara mendalam, merenung, atau mempertimbangkan. Konteksnya adalah mimpi yang diterima oleh Nabi Ibrahim AS.

Dikisahkan bahwa pada malam tanggal 8 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim AS bermimpi menerima perintah dari Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail AS. Ketika beliau terbangun, beliau diliputi oleh perenungan yang mendalam. Beliau "yutarawwa" (يُتَرَوَّى), merenungkan apakah mimpi ini benar-benar wahyu dari Allah SWT atau sekadar bisikan dari setan yang ingin menyesatkannya. Keraguan dan proses berpikir inilah yang menjadi esensi dari "Tarwiyah". Ini adalah malam kegelisahan seorang hamba yang diuji dengan perintah terberat, sebuah ujian keimanan yang tiada tara. Hari itu dihabiskan dalam kontemplasi dan permohonan petunjuk kepada Allah. Perenungan ini berlanjut hingga malam berikutnya, ketika mimpi yang sama datang kembali, yang kemudian meyakinkan beliau bahwa perintah itu benar-benar datang dari Allah. Hari berikutnya dikenal sebagai Hari Arafah (hari mengetahui), karena pada hari itulah Nabi Ibrahim 'tahu' atau 'yakin' akan kebenaran wahyu tersebut.

3. Makna "Meriwayatkan Manasik"

Penjelasan ketiga juga bersifat spiritual, menghubungkan Hari Tarwiyah dengan proses pembelajaran manasik haji. Diriwayatkan bahwa pada hari inilah Malaikat Jibril AS datang kepada Nabi Adam AS (dan dalam riwayat lain kepada Nabi Ibrahim AS) untuk mengajarkan tata cara pelaksanaan ibadah haji. Jibril AS "meriwayatkan" atau menunjukkan secara langsung setiap rukun dan wajib haji. Proses periwayatan dan pengajaran inilah yang menjadi salah satu sumber penamaan hari ini. Ini menekankan bahwa ibadah haji adalah ibadah yang bersifat tauqifiyah, yaitu harus dilaksanakan sesuai dengan tuntunan yang telah diajarkan oleh Allah melalui para utusan-Nya, tanpa ada ruang untuk inovasi atau kreasi pribadi.

Ketiga makna ini—persiapan fisik dengan air, perenungan spiritual Nabi Ibrahim, dan periwayatan manasik oleh Jibril—tidak saling bertentangan. Sebaliknya, mereka menyajikan gambaran holistik tentang Hari Tarwiyah: sebuah hari yang menuntut kesiapan fisik, kejernihan batin, dan kepatuhan pada tuntunan ilahi.

Kedudukan Hari Tarwiyah dalam Rangkaian Ibadah Haji

Hari Tarwiyah adalah titik awal dari fase puncak ibadah haji. Ia berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan amalan-amalan di Makkah (seperti Tawaf Qudum) dengan rukun haji yang paling esensial, yaitu wukuf di Arafah. Mari kita lihat posisinya dalam kronologi manasik haji.

Setelah tiba di Makkah, jamaah haji (terutama yang mengambil jenis Haji Tamattu') akan melaksanakan umrah terlebih dahulu, yang diakhiri dengan tahallul (memotong rambut). Setelah itu, mereka berada dalam keadaan halal dan bebas dari larangan ihram sambil menunggu datangnya tanggal 8 Dzulhijjah. Ketika fajar Hari Tarwiyah menyingsing, sebuah gelombang spiritual baru dimulai.

Pada pagi hari tanggal 8 Dzulhijjah, para jamaah haji akan melakukan serangkaian amalan sebagai berikut:

  1. Mandi dan Memakai Pakaian Ihram: Para jamaah kembali menyucikan diri dengan mandi (ghusl) sebagaimana mereka lakukan pertama kali di miqat, lalu mengenakan kembali dua helai kain ihram putih yang suci. Ini adalah simbol pelepasan segala atribut duniawi—pangkat, jabatan, kekayaan, dan status sosial—untuk kembali menjadi hamba yang setara di hadapan Allah.
  2. Berniat Haji: Dari tempat mereka menginap di Makkah, mereka mengucapkan niat untuk memulai ibadah haji. Lafaz niat yang masyhur adalah, "Labbaik Allahumma hajjan" (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, untuk berhaji).
  3. Mengumandangkan Talbiyah: Sejak berniat, lisan para jamaah akan terus-menerus dibasahi dengan kalimat Talbiyah: "Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni'mata laka wal mulk, laa syarika lak." Gema Talbiyah ini akan terus berkumandang, memenuhi udara Makkah dan sepanjang perjalanan menuju Mina, menciptakan atmosfer spiritual yang luar biasa.
  4. Berangkat Menuju Mina: Setelah matahari terbit, jutaan jamaah haji mulai bergerak berbondong-bondong dari Makkah menuju Mina, sebuah lembah yang terletak sekitar 7 kilometer di sebelah timur Masjidil Haram. Pergerakan massal ini adalah pemandangan yang menakjubkan, lautan manusia berpakaian putih bergerak serentak memenuhi panggilan Ilahi.

Aktivitas di Mina pada Hari Tarwiyah

Setibanya di Mina, para jamaah akan menempati tenda-tenda yang telah disediakan. Hari Tarwiyah di Mina bukanlah hari yang dipenuhi dengan ritual fisik yang berat. Sebaliknya, ia adalah hari untuk menenangkan jiwa, memfokuskan hati, dan mempersiapkan diri untuk wukuf. Amalan utama yang dilakukan di Mina pada hari ini adalah:

Para jamaah akan tetap berada di Mina hingga terbitnya fajar pada tanggal 9 Dzulhijjah. Setelah melaksanakan shalat Subuh, mereka kemudian akan melanjutkan perjalanan menuju Padang Arafah untuk melaksanakan wukuf, rukun haji yang paling utama.

Amalan Istimewa bagi yang Tidak Berhaji

Keutamaan Hari Tarwiyah tidak hanya terbatas bagi mereka yang sedang menunaikan ibadah haji. Bagi umat Islam di seluruh dunia, Hari Tarwiyah adalah bagian dari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, yang disebut oleh Rasulullah SAW sebagai hari-hari di mana amal saleh paling dicintai oleh Allah SWT. Oleh karena itu, ada beberapa amalan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan, terutama puasa.

Puasa Tarwiyah

Salah satu amalan yang paling identik dengan Hari Tarwiyah bagi non-jamaah haji adalah Puasa Tarwiyah. Terdapat riwayat yang menyebutkan keutamaan khusus dari puasa pada hari ini. Salah satu hadis, meskipun statusnya diperdebatkan oleh para ulama hadis (sebagian menganggapnya dha'if atau lemah), menyebutkan bahwa puasa pada Hari Tarwiyah dapat menghapuskan dosa selama setahun yang telah berlalu.

Terlepas dari perdebatan mengenai status hadis spesifik tersebut, para ulama sepakat bahwa berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah (dari tanggal 1 hingga 9) adalah amalan yang sangat dianjurkan (sunnah mu'akkadah). Hal ini didasarkan pada hadis yang lebih umum dan kuat yang diriwayatkan dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari sebagian istri Nabi SAW, yang berkata:

"Rasulullah SAW biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijjah, pada hari Asyura (10 Muharram), tiga hari setiap bulan, dan pada hari Senin dan Kamis pertama dari setiap bulan." (HR. Abu Dawud dan An-Nasa'i)

Berdasarkan hadis ini, Puasa Tarwiyah (8 Dzulhijjah) dan Puasa Arafah (9 Dzulhijjah) termasuk dalam anjuran umum untuk berpuasa. Keutamaannya sangat besar, karena ia dilakukan pada hari-hari terbaik di sisi Allah. Puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga melatih kesabaran, meningkatkan ketakwaan, dan membuat seorang hamba lebih dekat dengan Tuhannya. Dengan berpuasa, umat Islam yang tidak berada di tanah suci dapat turut merasakan nuansa spiritual dan meraih sebagian dari keberkahan yang dilimpahkan pada hari-hari tersebut.

Amalan Saleh Lainnya

Selain berpuasa, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amalan-amalan saleh lainnya selama Hari Tarwiyah dan sembilan hari pertama Dzulhijjah, di antaranya:

Hikmah dan Filosofi Mendalam di Balik Hari Tarwiyah

Setiap ritual dalam Islam memiliki hikmah dan filosofi yang kaya. Hari Tarwiyah, sebagai gerbang menuju puncak haji, sarat dengan pelajaran berharga yang relevan bagi setiap Muslim, baik yang sedang berhaji maupun tidak.

1. Pelajaran tentang Pentingnya Persiapan

Secara harfiah, Tarwiyah adalah tentang persiapan bekal air. Secara maknawi, ia mengajarkan kita bahwa untuk menghadapi sebuah "puncak" atau tujuan besar dalam hidup, persiapan yang matang adalah sebuah keniscayaan. Jamaah haji mempersiapkan fisik dan logistik. Namun, yang lebih penting adalah persiapan spiritual. Sebelum menghadap Allah di Arafah dalam kondisi yang paling intim, seorang hamba perlu mempersiapkan hatinya. Hari Tarwiyah adalah kesempatan emas untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakitnya, meluruskan niat semata-mata karena Allah, dan mengisi jiwa dengan zikir dan doa. Pelajaran ini berlaku dalam semua aspek kehidupan: untuk meraih kesuksesan dalam studi, karier, atau keluarga, persiapan yang cermat adalah kunci utamanya.

2. Meneladani Ketaatan dan Pengorbanan Para Nabi

Hari Tarwiyah tidak bisa dilepaskan dari kisah Nabi Ibrahim AS. Hari ini adalah cerminan dari pergulatan batin seorang ayah yang diperintahkan untuk mengorbankan putranya. Perenungan beliau bukanlah bentuk penolakan, melainkan sebuah proses internalisasi perintah Tuhan yang luar biasa berat. Pada akhirnya, ketaatan total beliau menjadi teladan abadi. Dengan menjalani prosesi Tarwiyah, jamaah haji secara simbolis menapaktilasi jejak ketaatan Ibrahim AS. Mereka diajak untuk merenungkan: "Pengorbanan apa yang telah aku berikan untuk Allah? Sejauh mana ketaatanku pada perintah-Nya?" Ini adalah refleksi tentang esensi pengabdian, yaitu menyerahkan segala yang kita cintai kepada Pemilik sejati segala sesuatu.

3. Latihan Kesabaran dan Disiplin

Perjalanan dari Makkah ke Mina, hidup di dalam tenda yang sederhana, mengikuti jadwal shalat yang presisi (qashar tanpa jama'), dan berada di tengah jutaan orang dari berbagai latar belakang adalah latihan kesabaran dan disiplin tingkat tinggi. Di Mina, segala kemewahan dan kenyamanan duniawi dilepaskan. Jamaah belajar untuk beradaptasi, bertoleransi, dan mengendalikan ego. Kesabaran dalam menghadapi kepadatan, antrean, dan kondisi yang serba terbatas adalah bagian tak terpisahkan dari ibadah. Disiplin dalam menjalankan shalat tepat waktu mengajarkan pentingnya manajemen waktu dan prioritas dalam hidup seorang Muslim.

4. Manifestasi Ukhuwwah Islamiyyah (Persaudaraan Islam)

Di Mina, semua perbedaan sirna. Tidak ada lagi si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat jelata, kulit putih dan kulit hitam. Semua terbalut dalam dua helai kain ihram yang sama. Mereka makan, tidur, dan beribadah dalam kondisi yang nyaris serupa. Pemandangan ini adalah manifestasi paling nyata dari persaudaraan Islam. Hari Tarwiyah menjadi ajang untuk memperkuat ikatan ukhuwwah, belajar saling membantu, dan merasakan denyut nadi persatuan umat yang melintasi batas-batas geografis, etnis, dan budaya. Ini adalah pengingat bahwa di hadapan Allah, semua manusia adalah setara, dan yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan mereka.

Hari Tarwiyah dalam Konteks Era Modern

Pelaksanaan Hari Tarwiyah di era modern tentu sangat berbeda dengan zaman Rasulullah SAW atau bahkan beberapa dekade yang lalu. Pemerintah Arab Saudi telah menyediakan fasilitas yang sangat canggih untuk melayani para "tamu Allah". Tenda-tenda di Mina kini dilengkapi dengan penyejuk udara, karpet tebal, dan pasokan air serta listrik yang melimpah. Transportasi dari Makkah ke Mina tidak lagi menggunakan unta, melainkan bus ber-AC atau kereta super cepat (Mashaer Metro).

Kemudahan ini, di satu sisi, adalah anugerah besar dari Allah yang patut disyukuri. Ia meringankan beban fisik jamaah, terutama yang sudah lanjut usia atau memiliki kondisi kesehatan tertentu. Namun, di sisi lain, kemudahan ini juga menghadirkan tantangan spiritual baru. Tantangannya adalah bagaimana menjaga esensi Tarwiyah—yaitu perenungan, kesederhanaan, dan fokus ibadah—di tengah segala kenyamanan modern.

Distraksi seperti gawai, media sosial, dan keinginan untuk terus mengabarkan setiap momen perjalanan kepada dunia luar bisa menggerus kekhusyukan. Jamaah modern dituntut untuk memiliki disiplin diri yang lebih kuat untuk benar-benar memanfaatkan waktu di Mina untuk berkontemplasi (tafakkur) dan berzikir, bukan sekadar "transit" sambil bermain ponsel. Hikmah Tarwiyah tetap sama, namun medium dan tantangannya telah berevolusi. Kemampuan untuk "melepaskan dunia" sejenak di tengah fasilitas yang nyaman menjadi ujian tersendiri bagi jamaah haji masa kini.

Kesimpulan: Hari Tarwiyah, Hari Membasahi Jiwa

Pada akhirnya, Hari Tarwiyah adalah lebih dari sekadar tanggal kedelapan di bulan Dzulhijjah. Ia adalah sebuah fase spiritual yang fundamental dalam perjalanan haji. Namanya yang berarti "membawa bekal air" secara indah melambangkan fungsinya: ia adalah hari untuk "membasahi" kembali jiwa yang mungkin telah kering oleh urusan dunia. Ia adalah hari untuk mengisi bekal takwa sebelum menghadapi ujian keimanan di Arafah.

Melalui perenungan yang terinspirasi dari Nabi Ibrahim AS, melalui peneladanan sunnah Rasulullah SAW di Mina, dan melalui amalan puasa bagi yang tidak berhaji, Tarwiyah mengajak seluruh umat Islam untuk berhenti sejenak. Berhenti untuk berpikir, merenung, dan mempersiapkan diri. Ia adalah pengingat bahwa setiap puncak pencapaian, terutama puncak spiritual, memerlukan persiapan yang sungguh-sungguh. Ia adalah hari di mana jutaan hamba Allah secara kolektif memulai langkah terakhir mereka menuju ampunan-Nya, membuktikan bahwa inti dari ibadah adalah kesiapan hati, kepasrahan total, dan ketaatan tanpa syarat kepada Sang Maha Pencipta.

🏠 Homepage