Sebuah penegasan akan eksistensi.
Dalam lanskap komunikasi modern, terkadang kita terjebak dalam keraguan eksistensial, baik mengenai fakta, peluang, maupun keberadaan sesuatu yang sulit dipahami. Namun, frasa sederhana namun kuat, "yes there are," berfungsi sebagai jangkar konfirmasi. Ini bukan sekadar jawaban; ini adalah pernyataan filosofis bahwa apa yang kita cari atau ragukan, memang ada.
Di era di mana informasi palsu (hoaks) mudah menyebar, skeptisisme adalah pertahanan yang sehat. Namun, skeptisisme yang berlebihan dapat menyebabkan kita menolak kebenaran yang nyata. Penggunaan frasa "yes there are" membantu mengarahkan narasi kembali ke ranah validasi. Misalnya, ketika mendiskusikan peluang inovasi di pasar yang sudah jenuh, sering kali ada anggapan bahwa semua celah telah terisi. Namun, jika kita melakukan analisis mendalam, yes there are ceruk pasar baru yang terbentuk akibat perubahan perilaku konsumen yang cepat.
Hal ini berlaku juga dalam bidang sains dan penemuan. Banyak terobosan besar diawali dari hipotesis yang diabaikan. Ketika para ilmuwan gigih mencari, mereka akhirnya dapat menjawab keraguan komunitas ilmiah dengan penemuan solid: "yes there are—bukti yang selama ini kita cari." Kenyataan ini menegaskan bahwa penolakan terhadap kemungkinan sering kali merupakan penghalang terbesar menuju kemajuan. Mengadopsi mentalitas konfirmasi positif ini mendorong eksplorasi lebih lanjut alih-alih kepuasan diri.
Dalam konteks sosial dan kemanusiaan, frasa ini memiliki bobot emosional yang signifikan. Ketika membahas isu-isu ketidakadilan atau ketidaksetaraan, seringkali muncul suara-suara yang meremehkan skala masalah tersebut. Mereka mungkin berargumen bahwa isu tersebut dilebih-lebihkan atau tidak relevan lagi. Namun, bagi mereka yang mengalaminya secara langsung, jawabannya tegas: yes there are korban, yes there are ketidakadilan yang harus diatasi.
Mengakui keberadaan masalah adalah langkah pertama menuju solusi. Tanpa penegasan bahwa masalah tersebut sungguh-sungguh ada—yes there are—upaya kolektif untuk perbaikan akan lumpuh. Ini menuntut empati dan kemauan untuk melihat melampaui kenyamanan zona kita sendiri untuk memvalidasi pengalaman orang lain. Keberanian untuk mengakui keberadaan kesulitan adalah fondasi bagi setiap gerakan perubahan sosial yang otentik.
Mari kita lihat dari sudut pandang pengembangan perangkat lunak. Ketika sebuah sistem lama dianggap terlalu usang dan tidak bisa diperbarui, muncul asumsi bahwa tidak ada lagi cara untuk mengintegrasikan fitur modern. Namun, arsitek sistem yang berpengalaman tahu bahwa yes there are lapisan abstraksi yang memungkinkan integrasi bertahap. Mereka tidak menyerah pada kesulitan inheren, melainkan mencari celah adaptasi.
Ini mengajarkan kita bahwa hampir setiap sistem—baik itu teknis, biologis, atau sosial—memiliki titik lemah atau potensi yang belum termanfaatkan. Tugas kita adalah mengidentifikasi titik tersebut. Dengan bertanya, "Apakah masih ada cara lain?" dan bersiap untuk mendengar jawabannya yang mungkin adalah "yes there are," kita membuka pintu bagi inovasi yang menyelamatkan atau menyempurnakan.
Pada akhirnya, frasa "yes there are" adalah simbol dari optimisme yang berbasis bukti. Itu adalah penolakan terhadap fatalisme dan penegasan terhadap potensi realitas yang dinamis. Baik dalam konteks penemuan ilmiah, perbaikan sosial, atau pemecahan masalah teknis sehari-hari, mengakui bahwa hal-hal yang kita cari—jawaban, solusi, atau bahkan sekadar keberadaan—memang ada, adalah kunci untuk maju. Dunia tidak statis, dan selalu ada ruang baru untuk eksplorasi, selama kita mau mengakui bahwa yes there are hal-hal yang menunggu untuk ditemukan.