As-Sami': Allah Maha Mendengar
Di antara samudra keagungan Asmaul Husna, nama-nama terindah milik Allah Subhanahu wa Ta'ala, terdapat satu nama yang menanamkan ketenangan, harapan, sekaligus kewaspadaan dalam hati seorang hamba. Nama itu adalah As-Sami', yang berarti Yang Maha Mendengar. Konsep pendengaran yang terkandung dalam nama ini jauh melampaui pemahaman manusiawi kita. Ia bukan sekadar kemampuan menangkap gelombang suara, melainkan sebuah sifat kesempurnaan ilahiah yang meliputi segala sesuatu, tanpa batas, tanpa halangan, dan tanpa memerlukan perantara apa pun.
Memahami As-Sami' adalah sebuah perjalanan spiritual untuk menyadari bahwa tidak ada satu pun suara, bisikan, rintihan, atau bahkan getaran hati yang luput dari pendengaran-Nya. Dari gemuruh galaksi yang bertabrakan di ujung alam semesta hingga langkah semut hitam di atas batu hitam pada malam yang paling kelam, semuanya berada dalam cakupan pendengaran-Nya yang mutlak. Kesadaran ini, jika meresap ke dalam jiwa, akan mengubah cara kita berbicara, berdoa, dan menjalani hidup secara fundamental.
Makna Mendalam di Balik Nama As-Sami'
Secara etimologi, kata As-Sami' (السَّمِيعُ) berasal dari akar kata Arab sa-mi-'a (سَمِعَ), yang memiliki arti dasar "mendengar". Namun, dalam konteks Asmaul Husna, bentuk fa'iil (فَعِيْل) seperti pada As-Sami' menunjukkan sebuah makna superlatif dan permanen. Ini bukan sekadar "yang mendengar", tetapi "Yang Maha Sempurna dalam Pendengaran-Nya". Pendengaran-Nya adalah sifat yang melekat pada Dzat-Nya, azali, dan abadi.
Perbedaan Pendengaran Allah dengan Makhluk
Untuk mengapresiasi keagungan sifat As-Sami', kita harus terlebih dahulu memahami keterbatasan pendengaran kita sebagai makhluk. Pendengaran manusia sangat terbatas dan penuh kekurangan:
- Terbatas oleh Jarak: Kita tidak bisa mendengar suara dari jarak yang jauh. Suara yang lirih di kamar sebelah pun mungkin tidak terdengar oleh kita.
- Terbatas oleh Frekuensi: Telinga manusia hanya mampu menangkap rentang frekuensi suara tertentu (sekitar 20 Hz hingga 20.000 Hz). Kita tidak bisa mendengar suara infrasonik yang digunakan gajah atau ultrasonik yang didengar lumba-lumba.
- Memerlukan Media: Suara membutuhkan media rambat seperti udara, air, atau benda padat untuk sampai ke telinga kita. Di ruang hampa, tidak ada suara yang bisa kita dengar.
- Memerlukan Organ Fisik: Pendengaran kita bergantung pada organ yang kompleks dan rapuh: gendang telinga, tulang-tulang pendengaran, dan koklea. Jika salah satunya rusak, kemampuan mendengar kita akan terganggu.
- Terhalang oleh Penghalang: Dinding tebal, kebisingan lain, atau sumbatan dapat menghalangi kita mendengar sesuatu dengan jelas.
- Tidak Mampu Memilah Sempurna: Ketika banyak suara datang bersamaan, kita kesulitan untuk fokus pada satu suara dan mengabaikan yang lain.
Pendengaran Allah, sebaliknya, suci dari semua keterbatasan ini. Sifat As-Sami' milik-Nya adalah kesempurnaan mutlak:
- Meliputi Segala Sesuatu: Pendengaran Allah tidak dibatasi oleh jarak, ruang, atau waktu. Dia mendengar bisikan di dasar lautan dan doa di langit ketujuh pada saat yang bersamaan.
- Tanpa Batas Frekuensi: Dia mendengar semua jenis suara, baik yang bisa didengar makhluk maupun yang tidak. Yang nyaring dan yang lirih, yang terucap dan yang tersembunyi, semuanya sama jelas bagi-Nya.
- Tidak Memerlukan Media atau Organ: Pendengaran-Nya adalah sifat Dzat-Nya, tidak bergantung pada medium atau alat apa pun. Sifat-Nya tidak serupa dengan makhluk.
- Tidak Terhalang oleh Apa Pun: Tidak ada penghalang fisik atau non-fisik yang dapat menghalangi pendengaran-Nya. Banyaknya suara tidak membuat-Nya bingung atau kewalahan. Satu suara tidak menutupi suara yang lain.
Aisyah radhiyallahu 'anha pernah mengungkapkan kekagumannya terhadap sifat ini ketika turun ayat pertama Surah Al-Mujadilah. Khaulah binti Tsa'labah datang mengadukan perihal suaminya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan suara yang sangat pelan. Aisyah yang berada sangat dekat di ruangan itu pun tidak dapat mendengar seluruh keluhannya dengan jelas. Namun, Allah mendengar aduan itu dari atas tujuh lapis langit dan menurunkan wahyu. Aisyah berkata:
"Segala puji bagi Allah yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Sungguh, wanita itu datang mengadu kepada Rasulullah, dan aku berada di sudut rumah, aku tidak dapat mendengar apa yang ia katakan. Lalu Allah 'Azza wa Jalla menurunkan: 'Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengadukan (perihal) suaminya kepadamu (Muhammad)...'" (QS. Al-Mujadilah: 1).
Kisah ini menjadi bukti nyata betapa sempurna dan meliputinya pendengaran Allah. Keluhan seorang wanita yang putus asa, yang diucapkan dengan lirih dan mungkin terhalang oleh isak tangis, didengar dengan jelas oleh Sang Pencipta dan dijawab dengan wahyu abadi.
As-Sami' dalam Lembaran Al-Qur'an dan Sunnah
Nama As-Sami' disebutkan puluhan kali di dalam Al-Qur'an, sering kali digandengkan dengan nama-nama lain yang menyempurnakan maknanya, seperti Al-'Alim (Yang Maha Mengetahui), Al-Bashir (Yang Maha Melihat), dan Al-Qarib (Yang Maha Dekat). Penggandengan ini memberikan pemahaman yang lebih kaya dan mendalam.
1. As-Sami' Al-'Alim (Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui)
Penggandengan ini menegaskan bahwa pendengaran Allah tidak hanya menangkap suara, tetapi juga mengetahui niat, maksud, dan latar belakang di balik suara itu. Ketika seseorang berdoa, Allah tidak hanya mendengar kata-kata yang terucap, tetapi juga mengetahui keikhlasan, keraguan, atau keputusasaan yang ada di dalam hati pendoa.
Contohnya dalam firman Allah:
"Dan jika setan mengganggumu dengan suatu godaan, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS. Fushshilat: 36)
Ayat ini mengajarkan kita bahwa ketika kita memohon perlindungan (isti'adzah), Allah Mendengar permohonan lisan kita dan Mengetahui ketakutan serta kesungguhan kita dalam mencari perlindungan dari godaan setan yang tidak terlihat.
2. As-Sami' Al-Bashir (Yang Maha Mendengar, Maha Melihat)
Pasangan nama ini menunjukkan pengawasan Allah yang total dan sempurna. Tidak ada suara yang luput dari pendengaran-Nya, dan tidak ada gerakan atau wujud yang luput dari penglihatan-Nya. Ini memberikan pesan kuat tentang pengawasan (muraqabah) ilahi yang menyeluruh.
Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa dan Harun untuk mendatangi Fir'aun, Dia menenangkan mereka dengan firman-Nya:
"Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat." (QS. Thaha: 46)
Janji ini adalah jaminan terbesar. Allah tidak hanya Mendengar setiap kata yang akan mereka ucapkan dan setiap ancaman yang dilontarkan Fir'aun, tetapi Dia juga Melihat setiap gerak-gerik, ekspresi wajah, dan tindakan yang terjadi. Pengawasan ini memberikan ketenangan dan kekuatan luar biasa bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.
3. Pendengaran yang Bermakna Ijabah (Pengabulan)
Dalam banyak konteks, terutama dalam doa, "mendengar" memiliki makna yang lebih dalam, yaitu "mengabulkan" atau "merespons". Ketika seorang hamba berdoa dengan penuh keyakinan, ia percaya bahwa Allah As-Sami' tidak hanya mendengar, tetapi juga akan menjawab doanya dengan cara yang terbaik menurut ilmu-Nya.
Doa Nabi Ibrahim 'alaihissalam saat membangun Ka'bah adalah contoh yang indah:
"Ya Tuhan kami, terimalah (amalan) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 127)
Nabi Ibrahim memohon agar amalnya diterima, dan ia menutup doanya dengan As-Sami' Al-'Alim. Seolah ia berkata, "Ya Allah, Engkau Mendengar doa kami ini, dan Engkau Mengetahui niat tulus di balik amal kami, maka kabulkanlah."
Demikian pula dalam shalat, ketika kita bangkit dari ruku', kita mengucapkan, "Sami'allahu liman hamidah" (Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya). Kalimat ini bukan sekadar pernyataan bahwa Allah mendengar pujian, tetapi juga sebuah deklarasi keyakinan bahwa pujian itu diterima, direspons, dan akan diberi balasan oleh-Nya. Inilah pendengaran khusus yang penuh dengan rahmat dan kemuliaan.
Dua Jenis Pendengaran Allah
Para ulama menjelaskan bahwa sifat mendengar Allah (As-Sama') dapat dibagi menjadi dua kategori utama, yang membantu kita memahami luasnya makna As-Sami':
1. Pendengaran Umum (As-Sama' Al-'Aam)
Ini adalah pendengaran yang meliputi segala jenis suara di alam semesta tanpa terkecuali. Semua suara, baik dari orang beriman maupun kafir, manusia, jin, hewan, atau bahkan benda mati (tasbih mereka), semuanya didengar oleh Allah. Pendengaran ini berkaitan dengan sifat rububiyah-Nya sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta. Pendengaran ini mencakup:
- Suara pujian dan dzikir.
- Suara kekufuran dan kesyirikan.
- Doa orang yang tulus dan keluhan orang yang putus asa.
- Bisikan rahasia para pendurhaka.
- Rintihan orang yang terzalimi.
- Suara-suara alam: gemuruh ombak, desiran angin, letusan gunung berapi.
Pendengaran umum ini menjadi dasar bagi perhitungan amal (hisab). Setiap kata yang tercatat, baik atau buruk, didengar oleh Allah dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Ini menumbuhkan rasa takut dan kewaspadaan dalam diri seorang mukmin.
2. Pendengaran Khusus (As-Sama' Al-Khaash)
Ini adalah pendengaran yang lebih spesifik, yang mengandung makna perhatian, pertolongan, pengabulan, dan dukungan. Pendengaran ini dikhususkan bagi hamba-hamba-Nya yang taat, yang berdoa, dan yang memohon pertolongan kepada-Nya. Ciri-ciri pendengaran khusus ini adalah:
- Ijabah (Pengabulan): Seperti dalam kisah Nabi Zakaria yang berdoa memohon keturunan di usia senja. Allah berfirman tentangnya, "Maka Kami kabulkan (doa)nya..." (QS. Al-Anbiya: 90). Inilah pendengaran yang disertai jawaban.
- Pertolongan dan Dukungan (An-Nashr wa At-Ta'yiid): Seperti dalam janji Allah kepada Musa dan Harun, "Aku mendengar dan melihat." Ini adalah pendengaran yang membawa rasa aman dan jaminan pertolongan ilahi.
- Penerimaan dan Pahala (Al-Qabul wa Ats-Tsawab): Seperti dalam ucapan "Sami'allahu liman hamidah," yang berarti Allah mendengar dan akan membalas pujian tersebut.
Setiap Muslim seharusnya tidak hanya beriman pada pendengaran umum Allah, tetapi juga senantiasa berusaha untuk meraih pendengaran khusus dari-Nya melalui doa yang tulus, ibadah yang khusyuk, dan ketaatan yang istiqamah.
Buah Manis Beriman kepada As-Sami'
Meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah adalah As-Sami' akan menghasilkan buah-buah keimanan yang sangat berharga dalam kehidupan seorang hamba. Keyakinan ini bukan sekadar pengetahuan teoretis, melainkan sebuah kekuatan transformatif yang membentuk karakter dan perilaku.
1. Menjaga Lisan dan Ucapan (Hifzhul Lisan)
Kesadaran bahwa setiap kata yang keluar dari mulut kita—baik diucapkan dengan lantang di keramaian maupun dibisikkan dalam kesunyian—didengar oleh Allah, adalah benteng terkuat untuk menjaga lisan. Orang yang benar-benar menghayati nama As-Sami' akan berpikir seribu kali sebelum:
- Mengucapkan Ghibah (menggunjing): Ia sadar bahwa saat ia membicarakan aib saudaranya, Allah Maha Mendengar percakapan terlarang itu.
- Mengadu Domba (namimah): Ia tahu bahwa kata-kata fitnah yang ia sebarkan untuk merusak hubungan orang lain, terekam dengan sempurna di sisi Allah.
- Berkata Dusta: Ia mengerti bahwa kebohongan, sekecil apa pun, tidak akan pernah bisa disembunyikan dari Pendengaran Yang Maha Meliputi.
- Menghina atau Mencaci Maki: Ia malu untuk mengeluarkan kata-kata kotor karena tahu bahwa Sang Pencipta yang memberinya kemampuan berbicara sedang mendengarkannya.
Sebaliknya, ia akan termotivasi untuk senantiasa membasahi lisannya dengan dzikir, tilawah Al-Qur'an, ucapan yang baik, nasihat yang tulus, dan perkataan yang mendatangkan manfaat. Lisannya menjadi sumber kebaikan karena ia selalu merasa diawasi oleh As-Sami'.
2. Meningkatkan Kualitas dan Kekuatan Doa
Iman kepada As-Sami' adalah ruh dari setiap doa. Tanpa keyakinan ini, doa hanyalah rangkaian kata-kata kosong tanpa harapan. Bagaimana mungkin seseorang berdoa dengan sungguh-sungguh jika ia ragu apakah doanya didengar?
Keyakinan pada As-Sami' memberikan kekuatan luar biasa pada doa seorang hamba:
- Menumbuhkan Harapan (Raja'): Sebesar apa pun masalah yang dihadapi, seberat apa pun beban yang dipikul, seorang hamba tahu bahwa keluh kesahnya didengar oleh Dzat Yang Maha Kuasa untuk menolongnya. Ini mencegah keputusasaan.
- Mendorong Keikhlasan: Ia tidak perlu mengeraskan suaranya atau berteriak agar didengar. Allah mendengar bisikan hati yang paling tulus. Ini membuatnya fokus pada kualitas batiniah doanya, bukan pada formalitas lahiriahnya. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menasihati para sahabat yang berdoa dengan suara keras, "Wahai manusia, kasihanilah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak sedang menyeru Dzat yang tuli dan tidak ada. Sesungguhnya kalian menyeru Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat."
- Memberi Keberanian untuk Meminta: Ia tidak akan merasa malu atau sungkan untuk meminta apa pun kepada Allah, dari urusan dunia yang paling sepele hingga urusan akhirat yang paling agung. Sebab, ia sedang berbicara kepada Dzat yang senang mendengar permintaan hamba-Nya.
Berdoa dengan kesadaran As-Sami' mengubah interaksi dari monolog menjadi dialog yang intim antara hamba dengan Rabb-nya.
3. Sumber Ketenangan dan Penghiburan Jiwa (Sakinah)
Dalam hidup ini, sering kali kita merasa sendirian, tidak dipahami, atau bahkan difitnah. Kita mungkin tidak memiliki siapa pun untuk berbagi beban atau menceritakan kesedihan. Di saat-saat seperti inilah, nama As-Sami' datang sebagai penghibur yang paling menenangkan.
Ketika tidak ada satu pun manusia yang mau mendengar, Allah As-Sami' selalu ada untuk mendengar. Ketika seluruh dunia salah paham, Allah As-Sami' Maha Mengetahui kebenaran yang tersembunyi di dalam hati kita. Kesadaran ini memberikan ketenangan yang luar biasa. Rintihan di tengah malam, air mata yang jatuh tanpa suara, dan keluh kesah yang hanya bisa diungkapkan dalam hati, semuanya didengar dan diperhatikan oleh-Nya. Ini adalah obat bagi jiwa yang kesepian dan hati yang terluka.
4. Menumbuhkan Rasa Malu dan Pengawasan Diri (Muraqabah)
Sama seperti menjaga lisan, iman kepada As-Sami' juga menumbuhkan rasa pengawasan diri secara umum. Seorang hamba menjadi sadar bahwa rencana-rencana buruk yang ia bisikkan bersama temannya, janji-janji palsu yang ia ucapkan, atau sumpah dusta yang ia lafalkan, semuanya ada dalam pendengaran Allah.
Perasaan ini, yang dikenal sebagai muraqabah, adalah tingkatan ihsan tertinggi: "Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." Dan tentu saja, Dia juga Maha Mendengarmu. Kesadaran ini menjadi rem internal yang mencegah seseorang dari perbuatan maksiat, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi.
5. Meneladani Sifat Mendengar dalam Kehidupan Sosial
Meskipun kita tidak akan pernah bisa memiliki pendengaran yang sempurna seperti Allah, kita bisa meneladani akhlak "mendengar" dalam kapasitas kita sebagai manusia. Beriman kepada As-Sami' seharusnya menjadikan kita pendengar yang lebih baik bagi sesama.
Ini berarti kita belajar untuk:
- Mendengarkan dengan Empati: Memberikan perhatian penuh saat orang lain berbicara, baik itu pasangan, anak, orang tua, atau teman yang sedang mencurahkan isi hatinya.
- Mendengarkan untuk Memahami, Bukan untuk Menjawab: Terlalu sering kita mendengar hanya untuk menyiapkan bantahan atau argumen kita. Meneladani sifat ini berarti berusaha memahami sudut pandang orang lain.
- Mendengarkan Keluhan Orang yang Lemah: Menjadi telinga bagi mereka yang tertindas, yang membutuhkan pertolongan, dan yang suaranya tidak didengar oleh masyarakat.
Dengan menjadi pendengar yang baik, kita merefleksikan setetes kecil dari sifat rahmat Allah kepada makhluk-Nya.
Penutup: Hidup dalam Naungan As-Sami'
Mengenal Allah melalui nama-Nya As-Sami' adalah sebuah anugerah yang tak ternilai. Ini adalah undangan untuk menjalani hidup dengan kesadaran penuh bahwa kita tidak pernah sendirian. Setiap kata kita memiliki bobot, setiap doa kita memiliki pendengar, dan setiap rintihan kita memiliki penghibur.
Mari kita merenung sejenak. Berapa banyak kata sia-sia yang telah kita ucapkan? Berapa banyak doa tulus yang telah kita panjatkan? Berapa banyak keluhan yang kita simpan dalam dada? Semuanya, tanpa terkecuali, telah didengar oleh As-Sami'.
Semoga dengan memahami keagungan nama ini, lisan kita menjadi lebih terjaga, doa-doa kita menjadi lebih berbobot, hati kita menjadi lebih tenang, dan hidup kita menjadi lebih bermakna. Karena kita hidup di bawah pengawasan dan dalam naungan Dzat Yang Maha Mendengar, As-Sami', yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu, dan rahmat-Nya senantiasa menanti hamba-hamba yang memanggil-Nya.