Konsep Mimesis (atau imitasi) adalah salah satu pilar utama dalam filsafat estetika Yunani Kuno, terutama seperti yang diartikulasikan oleh Aristoteles dalam karyanya yang monumental, Poetika. Berbeda dengan gurunya, Plato, yang cenderung memandang imitasi sebagai sesuatu yang rendah—sebuah tiruan dari tiruan—Aristoteles menawarkan pandangan yang jauh lebih bernuansa dan positif mengenai peran seni dalam kehidupan manusia.
Plato, dalam konteks Teori Bentuk (Idea), menempatkan dunia fisik sebagai salinan tidak sempurna dari realitas sejati (Form). Oleh karena itu, seorang seniman yang meniru dunia fisik dianggap berada tiga tingkat jauhnya dari kebenaran. Seni, dalam pandangan ini, bersifat ilusi dan menyesatkan.
Aristoteles menolak pandangan radikal tersebut. Baginya, alam semesta itu sendiri adalah objek yang layak ditiru. Mimesis bukan sekadar penyalinan buta, melainkan sebuah tindakan kreatif yang melibatkan pemahaman intelektual dan representasi makna. Ketika seorang dramawan meniru tindakan manusia, ia tidak hanya meniru individu tertentu, tetapi juga menangkap esensi universal dari tindakan tersebut—apa yang mungkin terjadi atau apa yang masuk akal.
Aristoteles menekankan bahwa seni meniru bukan hanya apa yang ada (realitas masa lalu), tetapi juga apa yang mungkin ada atau apa yang ideal. Ini adalah poin krusial yang mengangkat seni melampaui sekadar dokumentasi. Dalam drama atau puisi, penulis memilih, menyusun, dan menata ulang elemen-elemen realitas untuk menciptakan kesatuan yang koheren dan bermakna.
Contoh paling jelas dari pandangan ini terlihat dalam tragedi. Tragedi meniru 'tindakan serius, lengkap, dan berbobot,' yang melibatkan karakter manusia yang mengalami perubahan nasib (peripeteia) dan kesadaran (anagnorisis). Proses peniruan ini, yang melibatkan imajinasi dan struktur logis, mengubah peristiwa acak menjadi narasi yang bermakna secara moral dan emosional.
Salah satu fungsi terpenting Mimesis menurut Aristoteles adalah peranannya dalam pembelajaran dan kesenangan. Manusia secara alami adalah makhluk yang suka meniru dan menikmati hasil imitasi. Ketika kita menyaksikan representasi di panggung atau membaca puisi, kita belajar tentang sifat manusia, konsekuensi moral, dan cara kerja dunia.
Proses belajar ini sering kali dibantu oleh Katarsis (pemurnian emosi), sebuah konsep yang sangat terkait dengan Mimesis dalam drama. Dengan meniru ketakutan dan rasa iba melalui karakter di atas panggung, penonton mengalami pelepasan emosional yang sehat. Seni, melalui peniruan yang terstruktur, memberikan manfaat psikologis dan edukatif. Seni adalah jalan untuk memahami realitas yang lebih dalam, bukan sekadar permukaan.
Meskipun konsep Mimesis sering dikaitkan dengan realisme abad ke-19, warisan Aristoteles tetap relevan dalam seni kontemporer. Bahkan ketika seni menjadi sangat abstrak atau sureal, seniman masih berinteraksi dengan "sesuatu" yang mereka tiru—baik itu struktur visual, kondisi emosional, narasi budaya, atau bahkan kegagalan bahasa itu sendiri.
Intinya, Aristoteles mengajarkan bahwa seni bukanlah pengulangan pasif. Seni adalah tindakan intelektual yang menggunakan peniruan sebagai sarana untuk mengungkapkan kebenaran yang universal, membuat hal yang mungkin menjadi tampak nyata, dan pada akhirnya, memperkaya pemahaman kita tentang apa artinya menjadi manusia dalam kosmos.