Filsafat Barat seringkali dilihat sebagai dialog abadi yang dimulai dari tiga pemikir besar di Athena kuno: Socrates, muridnya Plato, dan murid Plato, Aristoteles. Ketiganya membentuk fondasi logis, etika, metafisika, dan politik yang masih relevan hingga hari ini. Hubungan guru-murid ini menghasilkan aliran pemikiran yang saling melengkapi sekaligus mengkritik.
Representasi visual hubungan guru-murid dalam tradisi filsafat Yunani.
Socrates adalah sosok yang unik karena ia tidak meninggalkan tulisan apa pun. Semua ajarannya kita ketahui melalui dialog yang dicatat oleh murid-muridnya, terutama Plato. Inti dari filsafat Socrates adalah "hidup yang tidak teruji tidak layak untuk dijalani."
Ia dikenal dengan metode dialektika atau elenchus, sebuah proses tanya jawab yang bertujuan untuk mengungkap kontradiksi dalam keyakinan seseorang, memaksa lawan bicaranya menyadari ketidaktahuan mereka sendiri. Bagi Socrates, kebajikan (aretē) adalah pengetahuan. Ia percaya bahwa tidak ada orang yang sengaja melakukan kejahatan; kejahatan timbul dari ketidaktahuan akan kebaikan sejati.
Plato, yang terkejut dan terinspirasi oleh kematian Socrates, mendirikan Akademi di Athena—dianggap sebagai universitas pertama di dunia Barat. Karyanya berbentuk dialog, di mana Socrates seringkali menjadi tokoh utama.
Konsep paling terkenal dari Plato adalah Teori Bentuk (atau Teori Ide). Ia membedakan antara dunia inderawi yang fana dan berubah, dan dunia non-inderawi yang abadi dan sempurna, tempat 'Bentuk' atau 'Ide' sejati dari segala sesuatu (seperti Keindahan, Keadilan, dan Kebaikan) berada. Objek fisik yang kita lihat hanyalah bayangan atau salinan imperfect dari Bentuk murni tersebut.
Dalam karyanya yang terkenal, Republik, Plato menguraikan konsep Negara Ideal yang dipimpin oleh Raja Filsuf, individu yang telah memahami Bentuk Kebaikan.
Aristoteles memasuki Akademi Plato dan belajar di sana selama dua puluh tahun. Meskipun sangat dipengaruhi oleh gurunya, Aristoteles kemudian mengembangkan sistem filsafatnya sendiri yang jauh lebih berakar pada dunia empiris dan observasi.
Aristoteles adalah bapak logika formal. Ia menciptakan sistem silogisme, cara berpikir deduktif yang menjadi standar penalaran selama berabad-abad. Dalam metafisika, ia menolak pemisahan Plato antara dunia ide dan dunia fisik.
Bagi Aristoteles, esensi (bentuk) suatu benda tidak berada di dunia lain, melainkan melekat pada benda itu sendiri. Ia memperkenalkan konsep 'Aktualitas' (Actuality) dan 'Potensialitas' (Potentiality) untuk menjelaskan perubahan dan gerakan dalam alam. Kebahagiaan tertinggi (Eudaimonia) dicapai melalui kehidupan yang dijalani sesuai akal dan kebajikan, yang ia definisikan sebagai 'Jalan Tengah Emas' (Golden Mean) antara ekstrem.
Kritik Aristoteles terhadap Teori Bentuk Plato sering disederhanakan menjadi perdebatan antara idealisme (Plato) dan realisme/empirisme (Aristoteles). Meskipun berbeda pendekatan, warisan mereka sangat terkait.
Socrates mengajukan pertanyaan, Plato menawarkan kerangka transenden untuk menjawabnya, dan Aristoteles membawa filsafat kembali ke bumi, mengorganisir pengetahuan melalui observasi dan kategorisasi. Ketiganya memastikan bahwa pertanyaan mendasar tentang apa itu keadilan, apa itu kebaikan, dan bagaimana seharusnya kita hidup tetap menjadi fokus utama pemikiran manusia.