Dalam tradisi keislaman, Asmaul Husna—sembilan puluh sembilan nama indah Allah SWT—merupakan cerminan sempurna dari atribut dan sifat-sifat Ilahi. Salah satu konsep fundamental yang tersemat dalam pemahaman kita tentang Allah adalah sifat keabadian atau kekal. Memahami arti kekal dalam Asmaul Husna memberikan perspektif mendalam mengenai hakikat Sang Pencipta yang tidak terikat oleh waktu dan ruang.
Al-Baqi: Yang Maha Kekal
Nama Allah yang paling lugas mewakili sifat ini adalah Al-Baqi (الباقي), yang berarti "Yang Maha Kekal" atau "Yang Tetap Ada". Nama ini menegaskan bahwa Allah adalah Dzat yang keberadaan-Nya tidak berawal dan tidak berakhir. Segala sesuatu yang diciptakan, termasuk alam semesta, kehidupan, dan bahkan konsep waktu itu sendiri, memiliki batas akhir. Namun, Al-Baqi adalah sumber dari segala keberlangsungan.
Sifat kekal ini membedakan Pencipta dari ciptaan-Nya. Manusia, tumbuhan, hewan, dan bintang semuanya mengalami proses fana (kematian atau kehancuran). Hanya Allah yang kekal. Dalam Al-Qur'an, seringkali sifat ini ditekankan bersamaan dengan sifat keabadian. Ketika segala sesuatu telah lenyap, hanya wajah Tuhan yang akan tetap mulia dan kekal. Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa tujuan akhir dari segala usaha dan eksistensi adalah kembali kepada Dzat yang tidak pernah sirna.
Al-Awwal dan Al-Akhir: Awal dan Akhir yang Tak Terbatasi
Konsep kekal juga diperkuat melalui dua nama penting lainnya, yaitu Al-Awwal (Yang Maha Awal) dan Al-Akhir (Yang Maha Akhir).
- Al-Awwal: Allah adalah Yang Maha Dahulu; tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya. Ini menyiratkan bahwa Dia adalah permulaan segala sesuatu, namun Dia sendiri tidak memiliki permulaan.
- Al-Akhir: Allah adalah Yang Maha Akhir; tidak ada sesuatu pun sesudah-Nya. Keberadaan-Nya berlanjut selamanya setelah segala sesuatu yang diciptakan telah berakhir.
Ketika digabungkan, Al-Awwal dan Al-Akhir menggambarkan sebuah rentang waktu yang melingkupi seluruh eksistensi, di mana Allah berada di kedua ujung ekstrem tanpa batas. Ini adalah representasi paling jelas dari kekekalan dalam Asmaul Husna. Kita mencari perlindungan dan kepastian dalam Dzat yang tidak pernah berubah dan tidak pernah berakhir.
Implikasi Spiritual dari Sifat Kekal
Memahami arti kekal dalam Asmaul Husna memiliki implikasi spiritual yang mendalam bagi seorang Muslim. Pertama, ia menumbuhkan rasa ketergantungan total kepada Allah. Jika segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara, maka hanya berpegang teguh pada Yang Kekal yang menjamin keselamatan sejati. Kesenangan duniawi, kekuasaan, dan harta benda pada akhirnya akan hilang, tetapi amal yang dilakukan karena mencari keridhaan Al-Baqi akan bernilai kekal.
Kedua, sifat kekal Allah memberikan penghiburan luar biasa dalam menghadapi kesulitan. Ketika kita dihadapkan pada kehilangan atau keputusasaan, keyakinan bahwa ada Dzat Yang Maha Ada, Maha Kekal, yang memegang kendali atas segala takdir, menumbuhkan ketenangan batin (sakinah). Kematian hanyalah transisi menuju kehidupan abadi yang kepastiannya dijamin oleh Al-Akhir.
Kekal vs. Abadi (Fana dan Baqa)
Dalam teologi Islam, penting untuk membedakan antara kekekalan Allah (Baqa') dan keabadian ciptaan yang dikehendaki Allah (seperti surga dan neraka). Walaupun surga dan neraka bersifat abadi bagi penghuninya, keabadian mereka adalah keabadian yang *diberikan* oleh Allah. Mereka kekal karena kehendak Allah, bukan karena esensi intrinsik mereka sendiri. Sebaliknya, kekekalan Allah adalah Wajibul Wujud—keberadaan yang niscaya—yang mutlak dan tidak bergantung pada apapun. Sifat Al-Baqi adalah fondasi dari semua keabadian lainnya.
Secara keseluruhan, Asmaul Husna mengajarkan bahwa Allah adalah sumber segala keberadaan dan keabadian. Merenungi arti kekal dalam Asmaul Husna, khususnya Al-Baqi, Al-Awwal, dan Al-Akhir, mengarahkan hati kita untuk mencari kebahagiaan sejati yang tidak akan pernah lekang oleh waktu, yaitu mendekatkan diri kepada Dzat yang Maha Kekal.