Simbol emas, timbangan, dan kitab melambangkan kekayaan, keadilan, dan panduan Ilahi dalam ekonomi Islam.
Ekonomi dalam Islam bukan sekadar tentang aktivitas jual beli atau akumulasi harta semata. Ia merupakan sebuah sistem yang komprehensif, terintegrasi dengan ajaran moral dan etika Islam, serta berlandaskan pada nilai-nilai spiritual. Tujuannya adalah untuk menciptakan kesejahteraan dunia dan akhirat bagi individu maupun masyarakat. Memahami asas-asas ekonomi dalam Islam adalah kunci untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip ini dalam kehidupan sehari-hari.
Inti dari ekonomi Islam terletak pada konsep kepemilikan. Dalam Islam, kepemilikan mutlak hanya dimiliki oleh Allah SWT. Manusia hanya diberi amanah (khalifah) untuk mengelola harta. Oleh karena itu, setiap aktivitas ekonomi haruslah berdasarkan pada prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh syariat.
Islam mengakui tiga jenis kepemilikan:
Ekonomi Islam memberikan kebebasan bagi individu untuk melakukan transaksi ekonomi selama masih dalam koridor syariat. Kebebasan ini tidak absolut, melainkan dibarengi dengan akuntabilitas. Setiap pelaku ekonomi bertanggung jawab atas setiap tindakannya di hadapan Allah SWT dan hukum. Transaksi yang dilarang seperti riba (bunga), maisir (spekulasi berlebihan), gharar (ketidakjelasan), dan penipuan tidak diperbolehkan.
Keadilan adalah pilar utama dalam sistem ekonomi Islam. Hal ini tercermin dalam distribusi kekayaan yang berusaha untuk tidak terjadi ketimpangan yang ekstrem. Konsep zakat, sedekah, dan waris bertujuan untuk mendistribusikan kekayaan dari orang kaya kepada yang berhak menerimanya, sehingga tercipta keseimbangan sosial dan ekonomi.
Riba, yang secara umum diartikan sebagai penambahan dalam transaksi utang-piutang atau jual beli barang sejenis, diharamkan secara tegas dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalilnya sangat kuat, karena riba dianggap sebagai praktik eksploitatif yang memperkaya segelintir orang dengan mengorbankan orang lain. Demikian pula, gharar atau ketidakjelasan dalam objek transaksi, harga, maupun waktu pembayaran juga dilarang karena berpotensi menimbulkan perselisihan dan kerugian.
Harta dalam Islam bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai keridhaan Allah dan kebahagiaan dunia-akhirat. Oleh karena itu, harta harus digunakan untuk hal-hal yang produktif dan membawa manfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Konsumerisme yang berlebihan dan pemborosan sangat dikecam.
Dari asas-asas dasar tersebut, muncul berbagai prinsip yang membentuk praktik ekonomi Islam, antara lain:
Semua transaksi ini dirancang untuk menghindari unsur riba dan gharar, serta mengutamakan keadilan dan kemaslahatan.
Tujuan utama ekonomi Islam adalah untuk mencapai falah, yaitu keberhasilan dan kesejahteraan yang hakiki, baik di dunia maupun di akhirat. Ini mencakup:
Dengan memahami dan mengamalkan asas-asas ekonomi dalam Islam, umat Muslim diharapkan dapat menjalankan aktivitas ekonomi yang berkah, adil, dan membawa manfaat bagi seluruh umat manusia. Ekonomi Islam bukan hanya seperangkat aturan, tetapi sebuah way of life yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam muamalah (hubungan antar manusia) di bidang ekonomi.