Membedah Asas-Asas Fundamental dalam Hukum Kontrak
Pendahuluan: Jantung dari Setiap Perjanjian
Dalam denyut nadi kehidupan sosial dan ekonomi, kontrak atau perjanjian adalah darah yang mengalirkan kepercayaan, kepastian, dan pergerakan. Mulai dari transaksi sederhana di warung kopi, perjanjian sewa rumah, hingga kesepakatan merger antar perusahaan raksasa, semuanya berlandaskan pada suatu kerangka hukum yang disebut kontrak. Namun, apa yang menjadi fondasi atau jiwa dari aturan-aturan mengenai kontrak tersebut? Jawabannya terletak pada asas-asas hukum kontrak.
Asas hukum bukanlah pasal-pasal konkret yang dapat dibaca secara harfiah, melainkan merupakan pikiran dasar, ide fundamental, atau rasio legis yang melandasi terbentuknya suatu norma hukum. Asas ini berfungsi sebagai kompas moral dan filosofis yang membimbing para legislator dalam membuat undang-undang, para hakim dalam menafsirkan dan menerapkan hukum, serta para pihak dalam menyusun dan melaksanakan perjanjian mereka. Memahami asas-asas ini bukan sekadar latihan akademis, melainkan sebuah kebutuhan praktis untuk menavigasi dunia hukum perjanjian dengan benar dan adil.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif mengenai asas-asas fundamental yang menjadi pilar hukum kontrak di Indonesia. Kita akan menjelajahi setiap asas, mulai dari definisinya, landasan hukumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), makna filosofis di baliknya, hingga bagaimana asas-asas tersebut saling berinteraksi, dibatasi, dan diwujudkan dalam praktik nyata.
1. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)
Asas Kebebasan Berkontrak adalah asas yang paling fundamental dan sering dianggap sebagai mahkota dari hukum perjanjian. Asas ini memberikan otonomi seluas-luasnya kepada individu untuk secara bebas menentukan kehendaknya dalam ranah hukum privat.
Definisi dan Landasan Hukum
Secara sederhana, asas kebebasan berkontrak menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun yang ia kehendaki, menentukan isi perjanjian, serta menentukan bentuk perjanjiannya, baik secara lisan maupun tulisan. Kebebasan ini merupakan perwujudan dari kehendak bebas (autonomy of will) yang diakui oleh hukum.
Landasan utama asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi:
"Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."
Frasa "semua persetujuan" menyiratkan tidak adanya batasan apriori terhadap jenis dan isi perjanjian yang dapat dibuat oleh para pihak. Selama perjanjian itu sah, maka kekuatannya setara dengan undang-undang bagi para pembuatnya. Ini adalah penegasan tertinggi dari otonomi individu dalam hukum perdata.
Ruang Lingkup Kebebasan
Kebebasan yang diberikan oleh asas ini mencakup beberapa aspek penting:
- Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat kontrak: Tidak ada seorang pun yang dapat dipaksa untuk masuk ke dalam suatu hubungan kontraktual.
- Kebebasan untuk memilih pihak: Seseorang bebas memilih dengan siapa ia akan mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian.
- Kebebasan untuk menentukan isi kontrak: Para pihak memiliki keleluasaan penuh untuk merumuskan hak dan kewajiban masing-masing, selama tidak melanggar batasan yang ada.
- Kebebasan untuk menentukan bentuk kontrak: Kecuali ditentukan lain oleh undang-undang, para pihak bebas memilih apakah kontrak akan dibuat secara lisan, tulisan di bawah tangan, atau dengan akta otentik.
- Kebebasan untuk menentukan hukum yang berlaku (dalam konteks internasional): Para pihak dalam kontrak internasional dapat memilih sistem hukum negara mana yang akan mengatur kontrak mereka.
Batasan-Batasan yang Tak Terhindarkan
Meskipun disebut "kebebasan", asas ini tidaklah bersifat absolut. Kebebasan yang tanpa batas justru akan menciptakan kekacauan dan penindasan pihak yang kuat terhadap yang lemah. Oleh karena itu, hukum menetapkan batasan-batasan yang jelas. Batasan ini secara implisit terkandung dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Dengan demikian, kebebasan berkontrak dibatasi oleh tiga pilar utama:
- Undang-Undang (The Law): Sebuah perjanjian tidak boleh melanggar peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa (dwingend recht). Contohnya, para pihak tidak dapat membuat perjanjian jual beli narkotika karena hal tersebut secara tegas dilarang oleh undang-undang.
- Kesusilaan Baik (Good Morals): Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika yang hidup dan diakui dalam masyarakat. Contohnya, perjanjian untuk melakukan perbuatan asusila atau perjanjian yang mengeksploitasi seseorang secara tidak manusiawi akan dianggap batal karena bertentangan dengan kesusilaan.
- Ketertiban Umum (Public Order): Kontrak tidak boleh mengganggu sendi-sendi dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Konsep ini sangat luas dan dinamis, mencakup kepentingan publik, keamanan, dan fondasi ekonomi negara. Contohnya, perjanjian yang bertujuan untuk menciptakan monopoli yang merugikan publik atau perjanjian yang mengandung klausula yang sangat tidak adil (eksploitatif) dapat dianggap bertentangan dengan ketertiban umum.
Dalam perkembangannya, asas kebebasan berkontrak juga semakin terkikis oleh munculnya kontrak-kontrak standar (baku) di mana posisi tawar salah satu pihak (biasanya konsumen) sangat lemah. Hukum perlindungan konsumen hadir untuk menyeimbangkan kembali posisi ini dengan melarang pencantuman klausula-klausula tertentu yang merugikan konsumen.
2. Asas Konsensualisme (Consensualism)
Asas Konsensualisme merupakan prinsip yang menegaskan bahwa dasar dari lahirnya suatu kontrak adalah kesepakatan para pihak. Asas ini menyederhanakan proses pembentukan kontrak dan menjadikannya lebih efisien.
Definisi dan Landasan Hukum
Asas ini menyatakan bahwa perjanjian sudah lahir dan mengikat sejak detik tercapainya kata sepakat (konsensus) antara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian. Pada prinsipnya, hukum tidak mensyaratkan formalitas tertentu, seperti kewajiban tertulis atau penyerahan barang, untuk sahnya suatu perjanjian.
Dasar hukum asas konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata, yang menyebutkan "sepakat mereka yang mengikatkan dirinya" sebagai syarat pertama dan utama sahnya suatu perjanjian. Ini menunjukkan bahwa kesepakatan adalah elemen esensial yang menjadi ruh dari sebuah kontrak.
Sebagai contoh, perjanjian jual beli dianggap sudah terjadi antara penjual dan pembeli segera setelah mereka sepakat mengenai barang dan harga, sekalipun barang belum diserahkan dan harga belum dibayar. Sejak saat itu, hak dan kewajiban telah timbul bagi kedua belah pihak.
Momen Tercapainya Sepakat
Tercapainya kata sepakat terjadi ketika ada pertemuan antara penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance). Penawaran adalah pernyataan kehendak yang berisi semua unsur esensial dari kontrak yang diusulkan. Penerimaan adalah pernyataan persetujuan atas penawaran tersebut. Jika penerimaan sesuai sepenuhnya dengan penawaran, maka kesepakatan telah tercapai. Jika penerimaan disertai dengan perubahan atau syarat baru, maka hal itu dianggap sebagai penawaran balik (counter-offer).
Pengecualian terhadap Asas Konsensualisme
Meskipun konsensualisme adalah prinsip utama, terdapat beberapa pengecualian di mana undang-undang mensyaratkan adanya formalitas tertentu untuk sahnya suatu perjanjian. Pengecualian ini bertujuan untuk melindungi kepentingan publik, kepastian hukum, atau pihak yang lebih lemah.
Berdasarkan pengecualian ini, kontrak dapat dibedakan menjadi:
- Perjanjian Formal (Formil): Perjanjian yang sahnya disyaratkan oleh undang-undang untuk dibuat dalam bentuk tertentu. Jika bentuk ini tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Contoh paling umum adalah perjanjian jual beli tanah dan bangunan yang harus dibuat dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), atau perjanjian hibah yang harus dibuat dengan akta notaris.
- Perjanjian Riil: Perjanjian yang baru dianggap lahir dan sempurna setelah adanya penyerahan barang (objek perjanjian) dari satu pihak ke pihak lain. Kesepakatan saja belum cukup. Contoh klasik dari perjanjian riil adalah perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUHPerdata) dan perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata). Perjanjian ini baru ada ketika barangnya sudah benar-benar dititipkan atau dipinjamkan.
Pengecualian ini tidak meniadakan pentingnya kesepakatan. Kesepakatan tetap menjadi syarat mutlak, namun untuk jenis-jenis perjanjian tertentu, kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam bentuk formal atau diwujudkan dengan penyerahan objeknya.
3. Asas Pacta Sunt Servanda (Contracts Must Be Kept)
Jika asas kebebasan berkontrak adalah gerbang masuk ke dalam perjanjian, dan konsensualisme adalah momen kelahirannya, maka Pacta Sunt Servanda adalah nafas kehidupan yang memberikan kekuatan mengikat pada perjanjian tersebut. Asas ini adalah pilar kepastian hukum dalam dunia kontrak.
Definisi dan Landasan Hukum
Pacta Sunt Servanda adalah adagium Latin yang berarti "perjanjian harus ditepati". Asas ini menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak memiliki kekuatan hukum yang mengikat layaknya sebuah undang-undang bagi mereka. Para pihak tidak dapat secara sepihak membatalkan atau mengubah isi perjanjian yang telah mereka sepakati bersama.
Landasan hukum asas ini sama dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata: "Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."
Bagian yang ditebalkan adalah esensi dari Pacta Sunt Servanda. Kekuatan mengikat ini memberikan jaminan kepada setiap pihak bahwa pihak lainnya akan melaksanakan kewajibannya. Tanpa asas ini, kepercayaan dalam lalu lintas bisnis dan sosial akan runtuh, karena tidak ada jaminan bahwa janji akan ditepati.
Konsekuensi dari Kekuatan Mengikat
Kekuatan mengikat ini membawa beberapa konsekuensi logis:
- Kewajiban untuk Melaksanakan Prestasi: Setiap pihak wajib memenuhi apa yang telah dijanjikannya dalam kontrak. Kegagalan untuk melaksanakan prestasi ini disebut sebagai wanprestasi (breach of contract).
- Tidak Dapat Ditarik Kembali Secara Sepihak: Menurut Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata, suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
- Intervensi Hakim yang Terbatas: Pada prinsipnya, hakim tidak boleh mengubah isi kontrak yang telah disepakati para pihak, bahkan jika hakim menganggap kontrak tersebut tidak adil. Peran hakim adalah untuk menegakkan pelaksanaan kontrak sebagaimana adanya. Namun, peran ini dimoderasi oleh asas itikad baik.
Pengecualian dan Relativitas Asas
Sama seperti asas lainnya, Pacta Sunt Servanda tidak bersifat kaku. Ada situasi-situasi tertentu di mana kekuatan mengikat sebuah kontrak dapat berakhir atau dimodifikasi:
- Kesepakatan Para Pihak: Para pihak dapat bersepakat untuk mengakhiri atau mengubah kontrak yang sudah ada.
- Keadaan Memaksa (Force Majeure/Overmacht): Jika salah satu pihak tidak dapat melaksanakan prestasinya karena suatu peristiwa di luar kendalinya yang tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat dihindari, maka ia dapat dibebaskan dari kewajibannya untuk sementara atau selamanya, tergantung pada sifat keadaan memaksa tersebut (Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata).
- Putusan Pengadilan: Pengadilan dapat membatalkan suatu perjanjian jika terbukti perjanjian tersebut dibuat karena adanya cacat kehendak (paksaan, kekhilafan, penipuan) atau tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian lainnya.
- Alasan yang Ditentukan Undang-Undang: Undang-undang dapat menentukan alasan-alasan lain untuk berakhirnya suatu perjanjian, seperti dalam perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian kerja.
4. Asas Itikad Baik (Good Faith / Goede Trouw)
Asas Itikad Baik adalah "hati nurani" dari hukum kontrak. Ia menyuntikkan elemen kepatutan, kejujuran, dan kewajaran ke dalam hubungan kontraktual yang seringkali kaku. Asas ini berfungsi sebagai katup pengaman untuk mencegah penyalahgunaan hak dan pelaksanaan kontrak yang sewenang-wenang.
Definisi dan Landasan Hukum
Asas Itikad Baik menuntut agar para pihak dalam suatu perjanjian harus melaksanakan hak dan kewajibannya dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ini berarti, pelaksanaan kontrak tidak boleh hanya berpegang pada kata-kata harfiah dari perjanjian, tetapi juga harus memperhatikan maksud dan tujuan yang wajar dari perjanjian tersebut.
Landasan hukum utama asas ini adalah Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menyatakan:
"Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik."
Para ahli hukum membedakan itikad baik menjadi dua pengertian:
- Itikad Baik Subjektif: Merujuk pada kejujuran seseorang pada saat melakukan suatu perbuatan hukum. Artinya, seseorang tidak mengetahui adanya cacat atau hal-hal yang dapat merugikan pihak lain. Itikad baik dalam pengertian ini lebih banyak relevan dalam hukum kebendaan (misalnya, pembeli yang beritikad baik).
- Itikad Baik Objektif: Merujuk pada standar kewajaran, kepatutan, dan kelayakan dalam masyarakat. Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan apa yang dianggap wajar dan patut oleh masyarakat. Pengertian inilah yang dominan dalam konteks pelaksanaan kontrak sesuai Pasal 1338 ayat (3).
Fungsi Asas Itikad Baik
Dalam praktiknya, itikad baik memiliki dua fungsi utama yang sangat penting:
- Fungsi Melengkapi (Aanvullende Werking): Itikad baik dapat melengkapi kewajiban-kewajiban para pihak yang tidak secara eksplisit diatur dalam kontrak mereka. Misalnya, meskipun tidak tertulis dalam kontrak jual beli mobil, itikad baik menuntut penjual untuk memberitahukan pembeli jika mobil tersebut pernah mengalami kecelakaan parah. Kewajiban ini muncul bukan dari teks kontrak, tetapi dari standar kepatutan.
- Fungsi Membatasi atau Meniadakan (Beperkende/Derogerende Werking): Ini adalah fungsi yang paling kuat dan terkadang kontroversial. Itikad baik dapat membatasi atau bahkan meniadakan suatu hak atau klausul dalam kontrak jika pelaksanaannya akan bertentangan dengan rasa keadilan dan kepatutan. Misalnya, sebuah perusahaan menyewakan gedung dan dalam kontrak terdapat klausul bahwa penyewa harus membayar denda sangat besar bahkan untuk keterlambatan pembayaran satu hari. Jika penyewa terlambat satu hari karena alasan yang sangat wajar (misalnya sistem bank error), maka menuntut denda penuh berdasarkan klausul tersebut dapat dianggap sebagai pelaksanaan kontrak yang berlawanan dengan itikad baik. Hakim dapat mengurangi atau meniadakan denda tersebut.
Asas itikad baik tidak hanya berlaku pada tahap pelaksanaan kontrak, tetapi juga pada tahap pra-kontraktual (negosiasi) dan pasca-kontraktual. Pada tahap negosiasi, para pihak diharapkan untuk bernegosiasi secara jujur dan tidak memberikan informasi yang menyesatkan. Menghentikan negosiasi secara tiba-tiba dan tanpa alasan yang wajar setelah pihak lain telah mengeluarkan banyak biaya juga dapat dianggap melanggar itikad baik pra-kontraktual.
5. Asas Kepribadian (Privity of Contract)
Asas Kepribadian menetapkan batas-batas personal dari kekuatan mengikat sebuah perjanjian. Asas ini menjawab pertanyaan fundamental: "Siapa saja yang terikat oleh kontrak yang dibuat?"
Definisi dan Landasan Hukum
Asas kepribadian (atau asas personalitas) menyatakan bahwa suatu perjanjian pada dasarnya hanya berlaku dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian tersebut tidak dapat memberikan kewajiban atau hak kepada pihak ketiga yang tidak ikut serta dalam pembuatan perjanjian tersebut.
Landasan hukum asas ini sangat jelas tertuang dalam dua pasal KUHPerdata:
- Pasal 1315 KUHPerdata: "Pada umumnya tiada seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri."
- Pasal 1340 KUHPerdata: "Persetujuan hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; tidak dapat pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317."
Logika di balik asas ini sederhana dan adil: seseorang tidak dapat dibebani kewajiban oleh suatu tindakan hukum (kontrak) di mana ia tidak memberikan persetujuannya. Demikian pula, seseorang pada prinsipnya tidak dapat menuntut hak dari kontrak yang dibuat oleh orang lain.
Pihak-Pihak yang Terikat
Yang dimaksud dengan "pihak yang membuatnya" tidak hanya terbatas pada orang yang secara fisik menandatangani kontrak. Cakupannya lebih luas, meliputi:
- Para pihak itu sendiri.
- Para ahli waris mereka: Hak dan kewajiban yang timbul dari kontrak pada umumnya beralih kepada ahli waris ketika salah satu pihak meninggal dunia, kecuali jika perjanjian tersebut bersifat sangat pribadi (misalnya, kontrak untuk melukis potret).
- Orang-orang yang memperoleh hak dari mereka: Misalnya, pembeli suatu barang akan terikat oleh perjanjian sewa yang sebelumnya telah dibuat oleh penjual dengan pihak ketiga.
Pengecualian Terhadap Asas Kepribadian
Meskipun asas kepribadian sangat fundamental, hukum mengakui adanya beberapa situasi di mana perjanjian dapat memberikan pengaruh, baik berupa hak maupun kewajiban, kepada pihak ketiga. Pengecualian ini diatur secara spesifik oleh undang-undang.
- Janji untuk Kepentingan Pihak Ketiga (Derdenbeding): Ini adalah pengecualian yang paling jelas, diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata. Dalam konstruksi ini, dua pihak (stipulator dan promisor) membuat perjanjian di mana promisor berjanji untuk melaksanakan suatu prestasi untuk kepentingan pihak ketiga (beneficiary). Contoh paling umum adalah kontrak asuransi jiwa, di mana perusahaan asuransi (promisor) berjanji kepada tertanggung (stipulator) untuk memberikan uang pertanggungan kepada ahli waris (pihak ketiga) jika tertanggung meninggal dunia. Pihak ketiga ini dapat menuntut haknya secara langsung kepada promisor.
- Garansi Perikatan (Garantie de Porte-fort): Diatur dalam Pasal 1316 KUHPerdata, di mana seseorang menjamin bahwa pihak ketiga akan menyetujui atau melaksanakan suatu perikatan. Jika pihak ketiga menolak, maka penjamin itulah yang bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi. Di sini, perjanjian secara tidak langsung mencoba mengikat pihak ketiga, tetapi tanggung jawab akhir tetap pada penjamin.
- Actio Pauliana: Merupakan hak yang diberikan kepada kreditur untuk menuntut pembatalan perjanjian yang dibuat oleh debiturnya dengan pihak ketiga, jika perjanjian tersebut terbukti merugikan kreditur dan dilakukan dengan itikad buruk (Pasal 1341 KUHPerdata). Ini adalah contoh bagaimana pihak ketiga (kreditur) dapat "masuk" dan mengganggu perjanjian antara debitur dan pihak ketiga lainnya.
Interaksi dan Harmoni Antar Asas
Asas-asas hukum kontrak tidak berdiri sendiri dalam menara gading. Mereka bekerja bersama dalam sebuah sistem yang dinamis, saling melengkapi, membatasi, dan menyeimbangkan. Pemahaman yang utuh menuntut kita untuk melihat bagaimana asas-asas ini berinteraksi.
- Kebebasan Berkontrak dibatasi oleh Itikad Baik: Seseorang bebas menentukan isi kontrak, tetapi kebebasan itu tidak boleh disalahgunakan. Klausul yang sangat tidak adil, meskipun disepakati, dapat dikesampingkan oleh hakim atas dasar pelanggaran itikad baik objektif (kepatutan).
- Pacta Sunt Servanda dilaksanakan melalui Itikad Baik: Perjanjian memang mengikat laksana undang-undang, tetapi pelaksanaannya harus dilakukan dengan jujur dan wajar. Menuntut pelaksanaan hak secara harfiah yang akan menimbulkan kerugian tidak proporsional bagi pihak lain adalah bentuk pelaksanaan yang tidak beritikad baik.
- Konsensualisme dilindungi oleh Itikad Baik: Proses tercapainya kesepakatan harus didasari oleh kejujuran. Jika kesepakatan tercapai karena salah satu pihak memberikan informasi yang salah atau menyembunyikan fakta material (pelanggaran itikad baik pra-kontraktual), maka kesepakatan itu dapat dibatalkan karena mengandung cacat kehendak.
- Asas Kepribadian dapat diperluas melalui Kebebasan Berkontrak: Para pihak, dengan menggunakan kebebasan berkontrak mereka, dapat secara eksplisit membuat janji untuk kepentingan pihak ketiga (derdenbeding), yang merupakan pengecualian dari asas kepribadian.
Kesimpulan: Fondasi yang Tak Lekang oleh Waktu
Asas-asas hukum kontrak—Kebebasan Berkontrak, Konsensualisme, Pacta Sunt Servanda, Itikad Baik, dan Kepribadian—merupakan pilar-pilar konseptual yang menopang seluruh bangunan hukum perjanjian. Mereka adalah prinsip-prinsip abadi yang memberikan kerangka kerja bagi jutaan transaksi yang terjadi setiap hari. Asas-asas ini menciptakan sebuah keseimbangan yang rumit antara otonomi individu (kebebasan), kepastian hukum (kekuatan mengikat), dan keadilan substantif (itikad baik dan kepatutan).
Memahami asas-asas ini secara mendalam bukan hanya penting bagi para praktisi hukum, tetapi juga bagi setiap individu dan pelaku bisnis. Dengan memahami jiwa yang melandasi aturan-aturan kontrak, kita dapat menyusun perjanjian yang lebih baik, melaksanakan kewajiban dengan lebih bertanggung jawab, dan menyelesaikan sengketa dengan lebih adil. Pada akhirnya, asas-asas ini adalah penjaga kepercayaan, pilar fundamental yang memungkinkan masyarakat berfungsi secara teratur, dinamis, dan beradab.