Ilustrasi Timbangan Keadilan Sebuah timbangan keadilan yang melambangkan keseimbangan dan keadilan dalam hukum perikatan. Justitia

Memahami Asas-Asas Fundamental dalam Hukum Perikatan

Hukum perikatan merupakan salah satu pilar utama dalam ranah hukum perdata. Ia mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, di mana satu pihak berhak menuntut sesuatu (prestasi) dari pihak lain, dan pihak lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Hubungan ini, yang kita kenal sebagai perikatan, menjadi dasar dari hampir seluruh transaksi dalam kehidupan modern, mulai dari jual beli sederhana di pasar hingga perjanjian merger korporasi multinasional yang kompleks. Agar hubungan hukum ini dapat berjalan dengan adil, tertib, dan memberikan kepastian hukum, ia dilandasi oleh serangkaian prinsip atau asas fundamental. Asas-asas ini bukanlah sekadar teori, melainkan jiwa (ratio legis) dari setiap pasal yang mengatur perikatan, menjadi pedoman bagi para pihak, hakim, dan praktisi hukum dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang ada.

Memahami asas-asas hukum perikatan bukan hanya penting bagi para ahli hukum, tetapi juga bagi setiap individu yang terlibat dalam suatu perjanjian. Dengan mengerti prinsip-prinsip dasarnya, seseorang dapat lebih memahami hak dan kewajibannya, mengantisipasi potensi sengketa, dan membangun hubungan kontraktual yang lebih sehat dan berlandaskan kepercayaan. Artikel ini akan mengupas secara mendalam lima asas utama dalam hukum perikatan yang berlaku di Indonesia, yaitu Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Konsensualisme, Asas Pacta Sunt Servanda, Asas Itikad Baik, dan Asas Kepribadian. Setiap asas akan diuraikan pengertiannya, dasar hukumnya, ruang lingkup, pengecualian, serta implikasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari.

1. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

Asas Kebebasan Berkontrak adalah prinsip yang memberikan keleluasaan kepada setiap individu untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isi perjanjian, serta menentukan bentuk perjanjiannya, baik secara lisan maupun tulisan. Asas ini merupakan manifestasi dari kehendak bebas individu yang diakui oleh hukum. Dasar hukum utama asas ini dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya pada Pasal 1338 ayat (1) yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Dimensi Kebebasan dalam Berkontrak

Kebebasan yang terkandung dalam asas ini dapat diuraikan menjadi beberapa aspek penting:

Batasan dan Pengecualian

Meskipun asas ini memberikan keleluasaan yang sangat luas, kebebasan tersebut tidaklah absolut. Hukum menetapkan batasan-batasan yang jelas untuk melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan publik dan nilai-nilai fundamental masyarakat. Batasan ini secara eksplisit diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, kebebasan berkontrak dibatasi oleh tiga pilar utama:

  1. Undang-Undang (Wet): Sebuah perjanjian tidak boleh melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contohnya, perjanjian untuk memperjualbelikan narkotika, perjanjian suap, atau perjanjian untuk melakukan tindak pidana lainnya adalah batal demi hukum karena isinya secara langsung bertentangan dengan hukum positif.
  2. Ketertiban Umum (Openbare Orde): Ketertiban umum adalah konsep yang lebih luas dari sekadar hukum tertulis. Ia mencakup prinsip-prinsip dasar yang menopang tatanan negara dan masyarakat. Perjanjian yang dapat mengganggu stabilitas publik, keamanan, atau fungsi lembaga-lembaga fundamental negara dianggap bertentangan dengan ketertiban umum. Misalnya, perjanjian untuk memonopoli komoditas pokok yang merugikan masyarakat luas atau perjanjian yang bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah.
  3. Kesusilaan (Goede Zeden): Kesusilaan merujuk pada norma-norma moral, etika, dan kepatutan yang hidup dan diakui dalam masyarakat pada suatu waktu tertentu. Konsep ini bersifat dinamis dan dapat berbeda antar budaya atau zaman. Perjanjian yang dianggap tidak senonoh atau melanggar nilai-nilai moralitas fundamental, seperti perjanjian jasa prostitusi atau perjanjian jual beli organ tubuh manusia, adalah tidak sah karena bertentangan dengan kesusilaan.

Selain batasan-batasan tersebut, perkembangan hukum modern juga melahirkan pembatasan lain, terutama untuk melindungi pihak yang lemah. Misalnya, dalam hukum perlindungan konsumen, kebebasan berkontrak pelaku usaha dibatasi oleh larangan mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen. Demikian pula dalam hukum ketenagakerjaan, kebebasan antara pengusaha dan pekerja dibatasi oleh ketentuan upah minimum, jam kerja, dan hak-hak normatif lainnya yang tidak dapat dikesampingkan melalui perjanjian kerja.

2. Asas Konsensualisme (Consensualism)

Asas Konsensualisme adalah prinsip yang menyatakan bahwa suatu perjanjian pada dasarnya telah lahir dan mengikat para pihak sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) mengenai pokok-pokok perjanjian, tanpa memerlukan formalitas tertentu. Dengan kata lain, detik di mana kehendak para pihak bertemu dan saling bersesuaian, pada saat itulah perikatan lahir. Dasar hukum asas ini terutama bersumber dari Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang menempatkan "sepakat mereka yang mengikatkan dirinya" sebagai syarat sahnya perjanjian yang pertama dan utama.

Prinsip ini menegaskan bahwa "kata" atau "kesepakatan" itu sendiri sudah cukup untuk menciptakan hubungan hukum yang mengikat, bukan selembar kertas atau upacara formal.

Proses Terjadinya Kesepakatan

Kesepakatan dianggap terjadi ketika ada penawaran (offer) dari satu pihak dan penerimaan (acceptance) yang sepenuhnya sesuai dengan penawaran tersebut dari pihak lain. Jika penerimaan tersebut disertai dengan perubahan atau syarat baru, maka hal itu dianggap sebagai penawaran baru (counter-offer) yang memerlukan penerimaan kembali dari pihak yang pertama kali menawarkan. Momen tercapainya kesepakatan ini bisa terjadi secara lisan, melalui surat-menyurat, email, atau bahkan tindakan diam-diam yang menunjukkan adanya persetujuan.

Implikasi utama dari asas konsensualisme adalah bahwa formalitas seperti akta tertulis atau kehadiran saksi pada umumnya bukanlah syarat sahnya suatu perjanjian, melainkan hanya berfungsi sebagai alat bukti. Sebuah perjanjian jual beli rumah yang disepakati secara lisan pada dasarnya sudah sah dan mengikat. Namun, ketiadaan bukti tertulis akan menimbulkan kesulitan besar dalam pembuktian jika di kemudian hari terjadi sengketa. Oleh karena itu, meskipun tidak diwajibkan untuk keabsahan, pembuatan perjanjian secara tertulis sangat dianjurkan untuk tujuan kepastian hukum dan pembuktian.

Pengecualian terhadap Asas Konsensualisme

Meskipun konsensualisme menjadi kaidah umum, undang-undang menetapkan beberapa pengecualian di mana kesepakatan saja tidak cukup untuk melahirkan suatu perjanjian yang sah. Pengecualian ini biasanya diterapkan untuk perjanjian-perjanjian yang memiliki dampak hukum yang besar atau menyangkut kepentingan publik. Pengecualian ini melahirkan dua jenis perjanjian:

Pengecualian-pengecualian ini menunjukkan bahwa meskipun kesepakatan adalah fondasi, hukum terkadang memerlukan "pilar" tambahan berupa formalitas atau penyerahan objek untuk memastikan keseriusan para pihak dan memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat.

3. Asas Pacta Sunt Servanda (Agreements Must Be Kept)

Asas Pacta Sunt Servanda adalah adagium Latin yang berarti "perjanjian harus ditepati". Asas ini merupakan prinsip fundamental yang memberikan kekuatan mengikat pada suatu perjanjian. Ia menegaskan bahwa perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang bagi mereka. Para pihak terikat untuk melaksanakan setiap klausul dalam perjanjian tersebut seolah-olah klausul itu adalah perintah dari hukum itu sendiri. Asas ini terkandung secara lugas dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.

Kekuatan Mengikat Perjanjian

Kekuatan mengikat dari asas ini memiliki beberapa konsekuensi hukum yang sangat penting:

Pengecualian dan Relativitas Asas Pacta Sunt Servanda

Sama seperti asas lainnya, kekuatan mutlak dari Pacta Sunt Servanda juga mengalami pelunakan dalam kondisi-kondisi tertentu. Hukum mengakui bahwa kepatuhan buta terhadap perjanjian dapat menimbulkan ketidakadilan ekstrem dalam situasi yang tidak terduga. Beberapa pengecualian atau relativitas terhadap asas ini antara lain:

Dengan demikian, Pacta Sunt Servanda memastikan kepastian hukum dan prediktabilitas dalam dunia bisnis, namun tetap diimbangi oleh prinsip-prinsip keadilan yang mencegah hasil yang tidak manusiawi.

4. Asas Itikad Baik (Good Faith / Goede Trouw)

Asas Itikad Baik adalah prinsip yang mengharuskan para pihak dalam suatu perjanjian untuk melaksanakan hak dan kewajiban mereka dengan didasari oleh kejujuran, kepatutan, dan kewajaran. Asas ini menuntut adanya standar perilaku yang layak dan etis dari para pihak, tidak hanya pada saat pelaksanaan perjanjian, tetapi juga pada tahap pra-kontraktual (negosiasi) dan pasca-kontraktual. Dasar hukumnya terletak pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa "Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik."

Para ahli hukum sering membedakan itikad baik menjadi dua pengertian:

  1. Itikad Baik Subjektif: Merujuk pada kejujuran atau keadaan batin seseorang yang tidak mengetahui adanya cacat hukum dalam suatu perbuatan. Misalnya, seorang pembeli yang tidak tahu bahwa barang yang dibelinya adalah barang curian.
  2. Itikad Baik Objektif: Merujuk pada standar kewajaran, kepatutan, dan keadilan yang berlaku di masyarakat. Inilah pengertian yang dominan dalam pelaksanaan kontrak. Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan apa yang dianggap wajar dan patut oleh masyarakat, sekalipun tidak diatur secara eksplisit dalam klausul perjanjian.

Fungsi Asas Itikad Baik

Asas Itikad Baik memiliki dua fungsi utama dalam hukum kontrak, yaitu fungsi melengkapi (aanvullende werking) dan fungsi membatasi/mengesampingkan (derogerende/beperkende werking).

Itikad baik bertindak sebagai "katup pengaman" keadilan, memastikan bahwa hukum kontrak tidak menjadi alat tirani bagi pihak yang lebih kuat untuk menekan pihak yang lebih lemah di bawah panji "Pacta Sunt Servanda".

Penerapan asas ini sangat bergantung pada interpretasi hakim terhadap fakta-fakta spesifik dalam setiap kasus. Hakim akan menilai apakah tindakan suatu pihak dalam melaksanakan perjanjian sudah memenuhi standar kewajaran dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, asas itikad baik membawa unsur fleksibilitas dan keadilan ke dalam rigiditas hukum kontrak.

5. Asas Kepribadian (Privity of Contract)

Asas Kepribadian adalah prinsip yang menyatakan bahwa suatu perjanjian pada dasarnya hanya mengikat dan berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat memberikan hak atau membebankan kewajiban kepada pihak ketiga yang tidak terlibat dalam pembuatan perjanjian tersebut. Asas ini menegaskan sifat personal dari sebuah kontrak. Dasar hukumnya terdapat pada Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan, "Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri," serta Pasal 1340 KUHPerdata yang menegaskan, "Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya."

Implikasi Asas Kepribadian

Implikasi logis dari asas ini adalah:

Contoh sederhana, jika A dan B membuat perjanjian jual beli mobil, maka C (pihak ketiga) tidak bisa datang menuntut agar mobil diserahkan kepadanya, dan C juga tidak bisa dituntut oleh A untuk membayar harga mobil tersebut. Perjanjian itu adalah urusan hukum eksklusif antara A dan B.

Pengecualian terhadap Asas Kepribadian

Hukum menyadari bahwa dalam praktik, ada kalanya suatu perjanjian memang dimaksudkan untuk memberikan manfaat atau melibatkan pihak ketiga. Oleh karena itu, undang-undang menyediakan beberapa mekanisme yang menjadi pengecualian terhadap asas kepribadian yang kaku. Pengecualian tersebut antara lain:

Pengecualian-pengecualian ini menunjukkan bahwa hukum perikatan cukup fleksibel untuk mengakomodasi struktur transaksi yang lebih kompleks yang melibatkan kepentingan pihak ketiga, tanpa harus mengabaikan prinsip dasar bahwa perjanjian adalah ikatan personal antara para pembuatnya.


Kesimpulan: Harmoni dalam Interaksi Asas

Kelima asas hukum perikatan—Kebebasan Berkontrak, Konsensualisme, Pacta Sunt Servanda, Itikad Baik, dan Kepribadian—bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Mereka bekerja secara harmonis, saling melengkapi, dan terkadang saling membatasi untuk menciptakan sebuah sistem hukum kontrak yang seimbang. Asas Kebebasan Berkontrak memberikan otonomi kepada individu, sementara Asas Konsensualisme menegaskan bahwa kesepakatan adalah sumber kekuatan hukumnya. Asas Pacta Sunt Servanda kemudian memberikan "gigi" pada kesepakatan tersebut, menjadikannya setara dengan undang-undang. Namun, kekuatan ini dijinakkan oleh Asas Itikad Baik, yang memastikan bahwa pelaksanaan kontrak tetap berada dalam koridor keadilan dan kepatutan. Terakhir, Asas Kepribadian menggariskan batas-batas personal dari ikatan tersebut, sambil tetap membuka ruang bagi pengecualian yang diperlukan.

Memahami interaksi dinamis antara asas-asas ini adalah kunci untuk menavigasi dunia perikatan yang kompleks. Mereka adalah kompas moral dan yuridis yang memandu kita dalam menciptakan hubungan kontraktual yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil, dapat diandalkan, dan beretika. Dengan berpegang pada jiwa dari hukum perikatan ini, para pihak dapat membangun landasan yang kokoh untuk kerja sama yang saling menguntungkan dan berkelanjutan.

🏠 Homepage