Dalam Islam, hukum perikatan tidak hanya diatur oleh norma hukum positif yang berlaku, tetapi juga berakar kuat pada prinsip-prinsip syariat Islam. Konsep perikatan, atau dalam terminologi fiqh disebut 'aqad, merupakan sebuah perjanjian yang mengikat para pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Ketaatan terhadap perjanjian ini menjadi salah satu pilar penting dalam membangun tatanan sosial dan ekonomi yang adil dan berkah.
Pentingnya hukum perikatan dalam Islam dapat dilihat dari berbagai ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan untuk menepati janji dan perjanjian. Misalnya, dalam Al-Qur'an surat Al-Ma'idah ayat 1, Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqadmu..." Ayat ini menegaskan kewajiban untuk memelihara dan melaksanakan setiap perjanjian yang telah dibuat.
Terdapat beberapa asas fundamental yang menjadi landasan hukum perikatan dalam Islam, yang membedakannya dari sistem hukum perikatan konvensional. Asas-asas ini memastikan bahwa setiap transaksi dan kesepakatan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga mengandung nilai-nilai moral dan etika Islam.
Asas ini memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk membuat perjanjian apa saja, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Para pihak bebas menentukan jenis perikatan, objek perikatan, serta syarat-syarat yang disepakati. Namun, kebebasan ini tidak absolut; ia dibatasi oleh prinsip-prinsip fundamental Islam seperti larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian yang berlebihan), dan maisir (spekulasi). Kebebasan berkontrak dalam Islam menekankan adanya kerelaan dan kesukarelaan kedua belah pihak.
Ini adalah asas yang paling menonjol dalam hukum perikatan Islam, yaitu kewajiban untuk menepati janji dan perjanjian. Setiap perjanjian yang sah harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan tanpa mengingkarinya. Asas ini mencakup pemenuhan hak dan kewajiban sesuai dengan yang telah disepakati. Pelanggaran terhadap asas ini dianggap sebagai pelanggaran terhadap perintah Allah SWT dan dapat menimbulkan konsekuensi di dunia maupun akhirat.
Setiap perikatan harus didasarkan pada prinsip keadilan. Ini berarti tidak boleh ada pihak yang dirugikan secara tidak adil dalam suatu perjanjian. Keadilan dalam Islam mencakup keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta larangan terhadap eksploitasi atau penindasan. Transaksi yang mengandung unsur ketidakadilan, seperti penipuan atau monopoli yang merugikan masyarakat, tidak dibenarkan.
Para pihak dalam membuat dan melaksanakan perikatan dituntut untuk bersikap hati-hati dan penuh perhitungan. Hal ini bertujuan untuk menghindari potensi kerugian atau kesalahpahaman di kemudian hari. Dalam praktik, asas ini tercermin dalam kewajiban untuk menjelaskan secara rinci mengenai objek perikatan, syarat-syaratnya, serta konsekuensi yang mungkin timbul. Sikap ini juga mencakup kehati-hatian dalam menghindari hal-hal yang syubhat (meragukan).
Perikatan dalam Islam harus didasari oleh ketulusan dan kejujuran. Para pihak diharapkan untuk tidak menyembunyikan cacat barang, tidak melakukan kebohongan dalam transaksi, dan menjaga amanah yang diberikan. Kepercayaan (amanah) merupakan fondasi penting dalam setiap hubungan perikatan. Transaksi yang didasari kebohongan atau penipuan akan batal atau dapat dibatalkan.
Meskipun tidak selalu secara eksplisit disebut sebagai "asas", larangan terhadap riba (kenaikan yang tidak sah dalam pertukaran), gharar (ketidakpastian atau ketidaktahuan yang berlebihan mengenai objek atau jumlah transaksi), dan maisir (untung-untungan atau spekulasi) merupakan prinsip yang sangat fundamental dan menjadi pembatas utama dalam kebebasan berkontrak. Transaksi yang mengandung unsur-unsur ini dianggap batal atau tidak sah dalam Islam.
Dengan memahami dan mengimplementasikan asas-asas hukum perikatan Islam ini, diharapkan setiap transaksi yang dilakukan dapat berjalan sesuai dengan ajaran agama, menciptakan keridaan ilahi, serta membawa kemaslahatan bagi individu dan masyarakat luas. Asas-asas ini bukan hanya aturan formal, tetapi juga panduan moral yang mengarahkan umat Islam untuk membangun hubungan ekonomi yang etis, adil, dan berkelanjutan.