Membedah Asas-Asas Fundamental dalam Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan salah satu cabang ilmu hukum yang paling fundamental dalam tatanan kehidupan bernegara. Ia berfungsi sebagai ultimum remedium, atau upaya terakhir, dalam menjaga ketertiban sosial, melindungi kepentingan umum, dan menegakkan keadilan. Namun, kekuasaan negara untuk menghukum warganya tidaklah tanpa batas. Kekuasaan ini dibingkai dan dikendalikan oleh serangkaian prinsip dasar atau asas-asas yang menjadi pilar utama sistem peradilan pidana. Asas-asas ini bukanlah sekadar teori akademis, melainkan fondasi filosofis dan yuridis yang memastikan bahwa penegakan hukum pidana berjalan secara adil, terukur, dan beradab. Memahami asas-asas ini secara mendalam berarti memahami jiwa dari hukum pidana itu sendiri.
Asas hukum pidana berfungsi sebagai kompas moral dan pedoman teknis bagi para pembentuk undang-undang, penegak hukum seperti polisi dan jaksa, serta hakim dalam mengambil keputusan. Tanpa asas-asas ini, hukum pidana berpotensi menjadi alat tiran yang menindas, di mana kekuasaan dapat digunakan secara sewenang-wenang untuk menghukum siapa saja tanpa dasar yang jelas dan adil. Oleh karena itu, setiap asas memiliki tujuan spesifik: melindungi hak asasi individu dari intervensi negara yang berlebihan, menciptakan kepastian hukum, dan pada akhirnya, mewujudkan keadilan yang substantif, bukan sekadar keadilan prosedural. Artikel ini akan mengupas secara komprehensif berbagai asas fundamental yang membentuk kerangka kerja hukum pidana di Indonesia, mulai dari asas yang paling sentral hingga prinsip-prinsip pendukung yang melengkapinya.
1. Asas Legalitas: Jantung Hukum Pidana
Di antara semua asas dalam hukum pidana, Asas Legalitas (Principle of Legality) menduduki posisi yang paling sentral dan tak tergantikan. Asas ini sering dianggap sebagai "Magna Carta" bagi para terperiksa, tersangka, dan terdakwa, karena menjadi benteng utama perlindungan terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Adagium Latin yang merangkum esensi asas ini berbunyi: "Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali", yang berarti "tidak ada delik (tindak pidana), tidak ada pidana, tanpa peraturan pidana yang mendahuluinya."
Artinya, seseorang hanya dapat dituntut dan dipidana jika perbuatan yang dilakukannya telah secara tegas dinyatakan sebagai tindak pidana dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Asas ini menuntut adanya kepastian hukum mutlak dalam ranah pidana. Warga negara harus tahu secara pasti, perbuatan mana yang dilarang dan diancam sanksi, sehingga mereka dapat mengatur perilakunya. Asas Legalitas ini memiliki empat pilar utama yang saling berkaitan.
a. Lex Scripta (Hukum Harus Tertulis)
Pilar pertama adalah tuntutan bahwa hukum pidana harus tertulis dalam bentuk undang-undang (written law). Ini berarti, sumber utama hukum pidana adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif yang sah. Hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis (customary law), meskipun diakui dalam beberapa cabang hukum lain seperti hukum adat atau perdata, tidak dapat menjadi dasar untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. Larangan ini bertujuan untuk mencegah ketidakpastian. Jika hukum kebiasaan dapat digunakan untuk memidana, maka standar tentang apa yang dilarang dapat berbeda dari satu daerah ke daerah lain, dan dari satu waktu ke waktu lainnya, menciptakan kekacauan hukum. Dengan mengharuskan hukum pidana tertulis, negara memastikan bahwa semua warga negara tunduk pada aturan yang sama, yang dapat diakses dan dibaca oleh siapa saja.
b. Lex Certa (Rumusan Harus Jelas dan Tidak Ambigu)
Pilar kedua menuntut agar rumusan delik dalam undang-undang harus jelas, spesifik, dan tidak ambigu (certainty of law). Undang-undang pidana tidak boleh menggunakan istilah-istilah yang karet atau multitafsir, yang dapat membuka peluang bagi penegak hukum untuk menafsirkannya secara subjektif dan sewenang-wenang. Sebagai contoh, sebuah pasal yang melarang "perbuatan tidak menyenangkan" tanpa definisi yang jelas adalah contoh pelanggaran terhadap asas lex certa. Sebaliknya, delik pencurian yang dirumuskan dengan unsur-unsur seperti "mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum" memberikan batasan yang jelas dan terukur. Tujuannya adalah agar setiap individu dapat memahami secara pasti batasan antara perilaku yang legal dan ilegal.
c. Lex Stricta (Interpretasi Harus Ketat dan Tidak Boleh Analogi)
Pilar ketiga adalah larangan penggunaan analogi dalam menafsirkan hukum pidana (strict interpretation). Analogi adalah metode penafsiran di mana suatu aturan hukum yang ditujukan untuk suatu peristiwa tertentu diterapkan pada peristiwa lain yang tidak diatur secara eksplisit, tetapi dianggap memiliki kemiripan esensial. Dalam hukum pidana, hal ini dilarang keras. Hakim tidak boleh menciptakan tindak pidana baru dengan memperluas cakupan sebuah pasal untuk mencakup perbuatan yang sebenarnya tidak diatur. Misalnya, jika undang-undang hanya menghukum pencurian "ternak", hakim tidak boleh menggunakan analogi untuk menghukum pencurian "unggas" dengan pasal yang sama. Hal ini berbeda dengan interpretasi ekstensif (perluasan), di mana hakim menafsirkan makna suatu kata dalam batas-batas yang masih dapat diterima secara bahasa. Perbedaan ini terkadang tipis, namun prinsipnya adalah hakim tidak boleh bertindak sebagai legislator.
d. Lex Praevia (Tidak Berlaku Surut atau Non-Retroaktif)
Ini adalah aspek yang paling terkenal dari Asas Legalitas. Hukum pidana tidak boleh diberlakukan surut (non-retroactivity). Seseorang tidak dapat dipidana karena melakukan suatu perbuatan yang pada saat dilakukan belum dinyatakan sebagai tindak pidana oleh undang-undang. Prinsip ini adalah jaminan fundamental keadilan. Manusia hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas aturan main yang sudah ada pada saat ia bertindak. Menerapkan hukum baru untuk perbuatan di masa lalu adalah tindakan yang tidak adil dan melanggar kepastian hukum. Namun, ada satu pengecualian penting terhadap larangan retroaktif ini. Jika setelah perbuatan dilakukan terjadi perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka aturan yang diterapkan adalah yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Misalnya, jika perbuatan A diancam pidana 5 tahun, lalu undang-undang baru mengubahnya menjadi 3 tahun, maka terdakwa berhak mendapatkan sanksi yang lebih ringan.
2. Asas Teritorialitas: Kedaulatan Negara di Wilayahnya
Asas Teritorialitas (Territoriality Principle) adalah asas yang paling dasar dalam menentukan lingkup berlakunya hukum pidana suatu negara. Prinsip ini menyatakan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang, baik warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA), yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah teritorial Republik Indonesia. Landasan filosofis dari asas ini adalah kedaulatan negara (sovereignty). Setiap negara berdaulat memiliki hak dan kewajiban penuh untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan menegakkan hukum di dalam batas-batas wilayahnya.
Definisi "wilayah Indonesia" tidak hanya mencakup daratan, tetapi juga:
- Perairan teritorial: Laut yang diukur sejauh jarak tertentu dari garis pangkal pantai.
- Perairan pedalaman: Bagian laut yang terletak di sisi dalam dari garis pangkal.
- Ruang udara: Seluruh kolom udara yang berada di atas wilayah daratan dan perairan teritorial Indonesia.
Selain itu, asas ini diperluas cakupannya melalui fiksi hukum. Kapal berbendera Indonesia dianggap sebagai wilayah Indonesia, di manapun kapal tersebut berada di laut lepas. Demikian pula, pesawat udara yang terdaftar di Indonesia dianggap sebagai wilayah Indonesia selama penerbangan. Misalnya, jika seorang warga negara Jepang melakukan penipuan terhadap seorang warga negara Australia di sebuah hotel di Bali, maka ia tunduk pada hukum pidana Indonesia. Begitu pula, jika terjadi perkelahian yang menyebabkan kematian di atas pesawat Garuda Indonesia yang sedang terbang di atas wilayah udara Thailand, para pelakunya dapat diadili menurut hukum pidana Indonesia.
3. Asas Personalitas (Nasionalitas Aktif): Mengikuti Warga Negara
Berbeda dengan asas teritorialitas yang berfokus pada lokasi kejahatan, Asas Personalitas atau Nasionalitas Aktif (Active Personality Principle) berfokus pada status kewarganegaraan pelaku. Asas ini menyatakan bahwa hukum pidana Indonesia tetap berlaku bagi warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan tindak pidana di luar negeri. Dengan kata lain, hukum pidana "mengikuti" ke mana pun warganya pergi.
Dasar pemikiran di balik asas ini adalah bahwa negara memiliki kepentingan untuk memastikan warganya berperilaku baik di manapun mereka berada. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh seorang WNI di luar negeri dapat mencoreng nama baik dan reputasi negara Indonesia di mata dunia internasional. Selain itu, asas ini juga bertujuan untuk mencegah seorang WNI melarikan diri dari pertanggungjawaban hukum dengan melakukan kejahatan di negara lain, terutama jika negara tempat kejahatan dilakukan tidak mau atau tidak mampu mengadilinya. Misalnya, jika seorang WNI melakukan tindak pidaga penggelapan di Singapura, ia dapat dituntut dan diadili di Indonesia sekembalinya ke tanah air, meskipun perbuatannya terjadi di luar negeri. Penerapan asas ini seringkali mensyaratkan bahwa perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana di negara tempat perbuatan itu dilakukan (prinsip kriminalitas ganda atau double criminality), meskipun untuk beberapa kejahatan tertentu syarat ini bisa dikesampingkan.
4. Asas Perlindungan (Nasionalitas Pasif): Melindungi Kepentingan Nasional
Asas Perlindungan atau Nasionalitas Pasif (Protective Principle) memperluas yurisdiksi hukum pidana Indonesia untuk melindungi kepentingan vital dan keamanan nasional, terlepas dari siapa pelakunya dan di mana perbuatan itu dilakukan. Asas ini menyatakan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku terhadap siapa saja (baik WNI maupun WNA) yang melakukan tindak pidana di luar negeri yang secara langsung merugikan kepentingan keamanan atau martabat negara Indonesia.
Asas ini didasarkan pada hak setiap negara untuk membela diri dari serangan terhadap eksistensinya. Kejahatan yang termasuk dalam lingkup asas ini biasanya bersifat serius dan mengancam fondasi negara, seperti:
- Kejahatan terhadap keamanan negara (misalnya, makar atau spionase yang direncanakan di luar negeri).
- Pemalsuan mata uang Rupiah atau surat berharga yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.
- Pemalsuan segel negara, meterai, atau merek dagang milik negara.
- Konspirasi untuk menggulingkan pemerintah yang sah dari luar negeri.
Contoh konkretnya, jika sekelompok warga negara asing di negara X mencetak uang Rupiah palsu dalam jumlah besar dengan tujuan mengedarkannya di Indonesia untuk merusak perekonomian, mereka dapat ditangkap dan diadili di Indonesia berdasarkan asas perlindungan, meskipun seluruh kegiatan mereka dilakukan di luar wilayah Indonesia.
5. Asas Universalitas: Menghukum Kejahatan Internasional
Asas Universalitas (Universality Principle) adalah asas yang paling luas jangkauannya. Asas ini memberikan yurisdiksi kepada suatu negara untuk mengadili pelaku kejahatan tertentu yang dianggap sebagai musuh seluruh umat manusia (hostis humani generis), tanpa memandang kewarganegaraan pelaku, kewarganegaraan korban, atau lokasi kejahatan. Kejahatan-kejahatan ini dianggap begitu keji sehingga setiap negara di dunia memiliki kepentingan untuk menindaknya.
Secara historis, kejahatan pertama yang diakui di bawah asas universalitas adalah pembajakan di laut lepas (piracy). Saat ini, cakupannya telah meluas hingga mencakup kejahatan internasional serius lainnya, seperti:
- Genosida
- Kejahatan terhadap kemanusiaan
- Kejahatan perang
- Terorisme internasional
- Perdagangan manusia dan perbudakan
- Pembajakan pesawat udara
Penerapan asas ini seringkali didasarkan pada konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh negara yang bersangkutan. Tujuannya adalah untuk memastikan tidak ada tempat yang aman (no safe haven) bagi para pelaku kejahatan internasional. Jika seorang pelaku genosida dari negara A melarikan diri dan ditemukan di wilayah Indonesia, Indonesia memiliki hak—dan seringkali kewajiban—untuk mengadilinya berdasarkan asas universalitas, bahkan jika kejahatan itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan Indonesia.
6. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld)
Asas ini, yang juga dikenal sebagai Asas Kulpabilitas (Culpability Principle), merupakan pilar fundamental lainnya dalam hukum pidana modern. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana hanya karena ia telah melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik (actus reus). Untuk dapat dipidana, orang tersebut juga harus memiliki "kesalahan" atau sikap batin yang tercela (mens rea) pada saat melakukan perbuatan tersebut. Dengan kata lain, perbuatan lahiriah harus disertai dengan keadaan batiniah yang salah.
Prinsip ini membedakan antara manusia sebagai subjek hukum yang memiliki kehendak bebas dengan benda atau hewan. Hukuman hanya pantas dijatuhkan kepada mereka yang secara sadar memilih untuk melakukan perbuatan jahat atau setidaknya bersikap ceroboh sehingga menimbulkan akibat yang dilarang. Kesalahan dalam hukum pidana secara umum dibagi menjadi dua bentuk utama: kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).
a. Kesengajaan (Dolus atau Opzet)
Kesengajaan adalah bentuk kesalahan yang paling berat. Ini terjadi ketika pelaku "menghendaki dan mengetahui" (willens en wetens) perbuatan dan akibatnya. Artinya, pelaku sadar sepenuhnya atas apa yang ia lakukan dan memang bertujuan untuk mencapai akibat tersebut. Teori hukum membedakan beberapa tingkatan kesengajaan:
- Kesengajaan sebagai Maksud (Opzet als Oogmerk): Ini adalah bentuk kesengajaan yang paling murni. Pelaku benar-benar bertujuan untuk mencapai akibat yang dilarang. Contoh: A menembak B di kepala dengan maksud untuk membunuhnya.
- Kesengajaan dengan Sadar Kepastian (Opzet met Zekerheidsbewustzijn): Pelaku mungkin tidak bertujuan utama untuk mencapai suatu akibat, tetapi ia tahu pasti bahwa akibat tersebut akan terjadi sebagai konsekuensi dari perbuatannya. Contoh: A ingin mendapatkan asuransi dengan meledakkan bom di pesawat. Tujuan utamanya adalah uang asuransi, tetapi ia sadar pasti bahwa pilot dan penumpang akan tewas. Kematian mereka dianggap disengaja.
- Kesengajaan dengan Sadar Kemungkinan (Dolus Eventualis): Ini adalah bentuk kesengajaan yang paling ringan. Pelaku tidak bertujuan untuk mencapai akibat terlarang dan tidak tahu pasti itu akan terjadi, tetapi ia menyadari adanya kemungkinan besar akibat itu akan terjadi, dan ia menerima risiko tersebut. Contoh: A mengemudi dengan kecepatan sangat tinggi di jalanan ramai dan padat. Ia tidak berniat menabrak orang, tetapi ia sadar ada kemungkinan besar hal itu bisa terjadi, dan ia tetap melanjutkan perbuatannya. Jika ia menabrak dan membunuh seseorang, ia dapat dianggap sengaja melakukannya.
b. Kealpaan (Culpa atau Kelalaian)
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Ini terjadi ketika seseorang melakukan perbuatan yang mengakibatkan sesuatu yang dilarang karena kurangnya kehati-hatian, kewaspadaan, atau keterampilan yang seharusnya dimiliki. Pelaku tidak menghendaki akibat tersebut. Kealpaan dapat dibedakan menjadi:
- Kealpaan dengan Kesadaran (Bewuste Schuld): Pelaku sadar akan kemungkinan timbulnya akibat, tetapi ia secara tidak rasional berharap akibat itu tidak akan terjadi. Contoh: Seorang pemburu melihat gerakan di semak-semak, ia sadar itu mungkin manusia, tetapi ia tetap menembak karena terlalu yakin itu adalah binatang buruan.
- Kealpaan tanpa Kesadaran (Onbewuste Schuld): Pelaku sama sekali tidak menyadari adanya kemungkinan timbulnya akibat, padahal seharusnya ia dapat menduganya jika ia lebih berhati-hati. Contoh: Seorang perawat lupa memberikan obat penting kepada pasien karena asyik bermain ponsel, yang menyebabkan kondisi pasien memburuk.
Peniadaan Pidana Terkait Kesalahan
Asas kesalahan juga melahirkan konsep alasan peniadaan pidana, yang terbagi menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukum dari perbuatan (perbuatannya dianggap benar), sedangkan alasan pemaaf menghapuskan kesalahan pelaku (perbuatannya tetap salah, tetapi pelakunya tidak dapat dicela). Contoh alasan pembenar adalah pembelaan terpaksa (noodweer) dan menjalankan perintah jabatan yang sah. Contoh alasan pemaaf adalah keadaan tidak mampu bertanggung jawab (gangguan jiwa) dan daya paksa (overmacht).
7. Asas-Asas Penting Lainnya dalam Sistem Peradilan Pidana
Selain asas-asas utama di atas, terdapat beberapa prinsip lain yang tidak kalah pentingnya dalam menjamin proses peradilan yang adil dan beradab.
a. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Asas ini menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Ini adalah prinsip fundamental dalam perlindungan hak asasi manusia. Beban pembuktian (burden of proof) ada pada penuntut umum, bukan pada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Terdakwa memiliki hak untuk diam (right to remain silent) dan tidak boleh dipaksa untuk mengakui kesalahannya. Semua keraguan harus ditafsirkan untuk menguntungkan terdakwa (in dubio pro reo).
b. Asas Ne Bis in Idem
Asas ini berarti "tidak dua kali dalam perkara yang sama". Seseorang tidak dapat dituntut atau diadili untuk kedua kalinya atas perbuatan yang sama yang telah diputus oleh pengadilan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (final and binding). Tujuan asas ini adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada individu. Setelah seseorang diadili dan perkaranya diputus, ia tidak perlu hidup dalam ketakutan akan dituntut kembali untuk masalah yang sama di masa depan. Asas ini berlaku baik untuk putusan pemidanaan, putusan bebas, maupun putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
c. Asas Oportunitas
Dalam sistem penuntutan, dikenal Asas Oportunitas. Asas ini memberikan kewenangan kepada penuntut umum (dalam hal ini Jaksa Agung) untuk tidak melanjutkan suatu perkara ke pengadilan demi kepentingan umum. Artinya, meskipun bukti-bukti cukup untuk menuntut seseorang, penuntutan dapat dihentikan jika dianggap akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi masyarakat atau negara. Misalnya, dalam kasus yang sangat sensitif yang dapat memicu kerusuhan sosial, Jaksa Agung dapat menggunakan haknya untuk mendeponir (mengesampingkan) perkara tersebut. Asas ini menjadi penyeimbang dari Asas Legalitas dalam penuntutan, yang mewajibkan setiap perkara yang cukup bukti untuk dilimpahkan ke pengadilan.