Asas-Asas Fundamental dalam Hukum Perjanjian
Perjanjian, atau yang sering disebut kontrak, merupakan tulang punggung dari berbagai interaksi dalam kehidupan masyarakat modern, baik dalam lingkup personal, sosial, maupun bisnis. Mulai dari transaksi jual beli sederhana di pasar, sewa menyewa properti, perjanjian kerja, hingga kontrak bisnis bernilai miliaran, semuanya berlandaskan pada sebuah kesepakatan yang mengikat para pihak. Namun, sebuah perjanjian tidak lahir dalam ruang hampa. Eksistensi dan pelaksanaannya diatur oleh serangkaian prinsip dasar atau kaidah hukum yang fundamental yang dikenal sebagai asas-asas perjanjian. Asas-asas ini berfungsi sebagai jiwa, fondasi, dan pedoman yang memastikan bahwa setiap perjanjian dibuat, dilaksanakan, dan ditafsirkan secara adil, benar, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Memahami asas-asas ini bukan hanya penting bagi para praktisi hukum, tetapi juga bagi setiap individu yang terlibat dalam suatu perjanjian. Dengan pemahaman yang baik, para pihak dapat menyusun kontrak yang kokoh, menghindari potensi sengketa, serta mengetahui hak dan kewajiban mereka secara jelas. Asas-asas ini memberikan kerangka kerja yang logis dan etis, memastikan bahwa kebebasan individu untuk membuat kesepakatan tidak melanggar kepentingan umum, moralitas, dan kepastian hukum. Artikel ini akan mengupas secara mendalam asas-asas utama dalam hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia, beserta makna, dasar hukum, dan implikasinya dalam praktik.
1. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)
Asas Kebebasan Berkontrak adalah salah satu pilar utama dalam hukum perjanjian. Asas ini memberikan keleluasaan kepada setiap individu atau badan hukum untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, memilih pihak dengan siapa mereka ingin membuat perjanjian, serta menentukan sendiri isi, bentuk, dan syarat-syarat dari perjanjian yang mereka buat. Pada intinya, para pihak adalah legislator bagi diri mereka sendiri; mereka bebas menciptakan "undang-undang" yang akan mengikat hubungan hukum di antara mereka.
Dasar hukum utama dari asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan:
"Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."
Frasa "semua persetujuan" menunjukkan adanya kebebasan yang luas untuk mengatur apa pun selama proses pembuatannya "sah". Kebebasan ini mencakup beberapa aspek penting:
- Kebebasan untuk Menentukan Isi Perjanjian: Para pihak dapat secara bebas merumuskan klausul-klausul yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing, mekanisme pelaksanaan, penyelesaian sengketa, dan berbagai detail lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama.
- Kebebasan untuk Memilih Pihak: Seseorang tidak dapat dipaksa untuk mengadakan perjanjian dengan pihak lain yang tidak dikehendakinya. Pemilihan mitra kontrak sepenuhnya merupakan hak prerogatif setiap pihak.
- Kebebasan untuk Menentukan Bentuk Perjanjian: Secara umum, perjanjian tidak terikat pada bentuk tertentu. Bisa dibuat secara lisan, tulisan di bawah tangan, maupun dalam bentuk akta otentik, kecuali jika undang-undang secara spesifik mensyaratkan bentuk tertentu untuk jenis perjanjian tertentu (misalnya, akta jual beli tanah).
- Kebebasan Mengenai Jenis Perjanjian: Para pihak bebas membuat perjanjian yang jenisnya tidak diatur secara khusus dalam undang-undang (perjanjian innominat), selama tidak bertentangan dengan hukum.
Batasan Asas Kebebasan Berkontrak
Meskipun asas ini memberikan kebebasan yang sangat luas, kebebasan tersebut tidaklah absolut. Kebebasan ini dibatasi untuk melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan umum dan untuk mencegah penyalahgunaan kebebasan itu sendiri. Batasan ini secara implisit terkandung dalam kata "sah" pada Pasal 1338 KUHPerdata dan ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, batasannya adalah:
- Undang-Undang: Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa (dwingend recht). Contohnya, para pihak tidak bisa membuat perjanjian untuk meniadakan pesangon bagi pekerja, karena hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
- Ketertiban Umum (Public Order): Perjanjian tidak boleh mengganggu atau merusak tatanan dasar kehidupan bermasyarakat. Ini adalah konsep yang dinamis dan dapat berubah sesuai perkembangan masyarakat. Contoh klasik adalah perjanjian yang bertujuan untuk melakukan monopoli yang merugikan publik atau perjanjian yang melanggar kepentingan negara.
- Kesusilaan (Good Morals): Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika, dan kepatutan yang hidup dan diakui dalam masyarakat. Contohnya, perjanjian untuk melakukan perbuatan asusila atau perjanjian jual beli organ tubuh manusia dianggap batal demi hukum karena bertentangan dengan kesusilaan.
Pembatasan ini penting untuk menjaga keseimbangan antara otonomi individu dan perlindungan terhadap nilai-nilai fundamental masyarakat. Tanpa batasan ini, asas kebebasan berkontrak dapat dieksploitasi untuk melegitimasi praktik-praktik yang merugikan dan tidak adil.
2. Asas Konsensualisme (Consensualism)
Asas Konsensualisme menyatakan bahwa suatu perjanjian pada dasarnya telah lahir dan mengikat sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) di antara para pihak mengenai pokok-pokok perjanjian. Artinya, untuk sahnya suatu perjanjian, tidak diperlukan formalitas tertentu seperti penulisan atau seremoni khusus, kecuali jika diatur lain oleh undang-undang. Kata sepakat yang diekspresikan, baik secara lisan, tulisan, maupun melalui isyarat, sudah cukup untuk melahirkan sebuah kontrak.
Asas ini secara jelas tersirat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan "sepakat mereka yang mengikatkan dirinya" sebagai syarat pertama dan utama untuk sahnya suatu perjanjian. Ini mengindikasikan bahwa momen penentu lahirnya kontrak adalah momen tercapainya kesepakatan.
Sebagai contoh, dalam transaksi jual beli barang bergerak, perjanjian dianggap terjadi saat penjual dan pembeli sepakat mengenai barang dan harganya, meskipun barang belum diserahkan dan harga belum dibayar. Penyerahan barang (levering) dan pembayaran adalah bagian dari pelaksanaan (prestasi) dari perjanjian yang sudah lahir tersebut, bukan syarat lahirnya perjanjian itu sendiri.
Pengecualian Terhadap Asas Konsensualisme
Meskipun asas konsensualisme menjadi aturan umum, terdapat beberapa pengecualian di mana undang-undang mensyaratkan adanya formalitas tambahan agar suatu perjanjian dianggap sah. Pengecualian ini biasanya diterapkan pada perjanjian yang memiliki dampak hukum yang besar atau menyangkut kepentingan pihak ketiga dan publik.
- Perjanjian Formal (Formil): Ini adalah jenis perjanjian di mana undang-undang secara tegas mensyaratkan adanya bentuk tertentu. Tanpa memenuhi bentuk tersebut, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau tidak sah. Contohnya:
- Perjanjian jual beli tanah dan bangunan harus dibuat dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
- Perjanjian hibah benda tidak bergerak harus dibuat dengan akta notaris.
- Perjanjian pendirian perseroan terbatas (PT) harus dibuat dengan akta notaris.
- Perjanjian Riil: Ini adalah perjanjian yang baru dianggap lahir tidak hanya dengan adanya kesepakatan, tetapi juga dengan penyerahan objek perjanjian (zaak). Sebelum objek diserahkan, belum ada perjanjian yang mengikat. Contoh yang paling umum adalah perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUHPerdata) dan perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata). Perjanjian gadai juga merupakan contoh perjanjian riil.
Pengecualian ini menunjukkan bahwa meskipun konsensus adalah jantung dari perjanjian, dalam situasi tertentu, hukum memerlukan bukti yang lebih kuat dan formal untuk memastikan kepastian hukum dan melindungi pihak-pihak yang terlibat.
3. Asas Kekuatan Mengikat (Pacta Sunt Servanda)
Pacta Sunt Servanda adalah adagium Latin yang berarti "janji harus ditepati". Asas ini merupakan konsekuensi logis dari asas kebebasan berkontrak dan konsensualisme. Jika para pihak telah bebas menyepakati suatu perjanjian, maka mereka terikat secara hukum untuk melaksanakan isi perjanjian tersebut seolah-olah perjanjian itu adalah undang-undang bagi mereka. Mereka tidak bisa lagi secara sepihak membatalkan atau mengubah perjanjian yang telah disepakati bersama.
Dasar hukum asas ini sama dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Kalimat "...berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" adalah manifestasi paling jelas dari asas Pacta Sunt Servanda. Kekuatan mengikat ini setara dengan kekuatan mengikat undang-undang, sehingga pelanggaran terhadapnya (wanprestasi) akan menimbulkan konsekuensi hukum, seperti kewajiban membayar ganti rugi, pembatalan perjanjian, atau paksaan untuk melaksanakan prestasi.
Lebih lanjut, Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata menegaskan bahwa persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Hal ini memperkuat prinsip bahwa komitmen dalam kontrak bersifat sakral dan hanya bisa diakhiri melalui kesepakatan baru atau melalui mekanisme hukum yang sah.
Hubungan dengan Keadilan dan Keadaan Memaksa (Force Majeure)
Kekuatan mengikat perjanjian bukanlah sesuatu yang kaku tanpa batas. Asas ini harus selalu berjalan seiring dengan asas itikad baik dan keadilan. Dalam situasi tertentu yang luar biasa dan di luar kendali para pihak, pelaksanaan perjanjian bisa menjadi mustahil atau sangat tidak adil. Di sinilah konsep keadaan memaksa (force majeure atau overmacht) berperan.
Keadaan memaksa adalah suatu peristiwa yang terjadi setelah perjanjian dibuat, yang menghalangi debitur untuk melaksanakan prestasinya, di mana peristiwa tersebut tidak dapat diprediksi dan tidak dapat diatribusikan sebagai kesalahan debitur. Contohnya adalah bencana alam (gempa bumi, banjir besar), peperangan, atau kebijakan pemerintah yang melarang pelaksanaan objek perjanjian. Jika terjadi force majeure, debitur dapat dibebaskan dari kewajibannya untuk berprestasi dan membayar ganti rugi. Ini adalah pengecualian yang diakui hukum terhadap asas Pacta Sunt Servanda, yang menunjukkan bahwa hukum juga mempertimbangkan aspek keadilan dan kepatutan dalam pelaksanaan kontrak.
4. Asas Itikad Baik (Good Faith / Goede Trouw)
Asas Itikad Baik adalah asas yang menuntut agar para pihak dalam suatu perjanjian memiliki sikap batin yang jujur, terbuka, dan adil, baik pada tahap pra-kontrak, saat pembuatan kontrak, maupun pada saat pelaksanaan kontrak. Asas ini merupakan standar moral dan etis yang diinjeksikan ke dalam hubungan hukum kontraktual.
Dasar hukumnya terdapat pada Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menyatakan:
"Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik."
Para ahli hukum membedakan itikad baik menjadi dua jenis:
- Itikad Baik Subjektif: Merujuk pada kejujuran dan niat baik seseorang pada saat melakukan perbuatan hukum, khususnya saat membuat perjanjian. Artinya, tidak ada niat untuk menipu, menyembunyikan informasi penting, atau mengambil keuntungan secara tidak wajar dari pihak lain. Contohnya, seorang penjual mobil bekas harus secara jujur memberitahukan jika mobil tersebut pernah mengalami kecelakaan besar.
- Itikad Baik Objektif: Merujuk pada standar kepatutan, kewajaran, dan keadilan dalam pelaksanaan perjanjian. Pelaksanaan kontrak tidak boleh hanya berpegang pada teks harfiah klausul, tetapi juga harus mempertimbangkan norma-norma yang berlaku di masyarakat dan rasa keadilan. Artinya, hak dan kewajiban harus dilaksanakan secara wajar dan tidak menyalahgunakan keadaan. Misalnya, sebuah perusahaan tidak boleh menggunakan klausul kecil dalam kontrak untuk secara sewenang-wenang merugikan konsumen.
Asas itikad baik memberikan kewenangan kepada hakim untuk melakukan intervensi terhadap isi perjanjian. Hakim dapat menambah kewajiban yang tidak tertulis (fungsi melengkapi) atau menyampingkan kewajiban yang tertulis jika pelaksanaannya dianggap bertentangan dengan itikad baik (fungsi membatasi). Asas ini memastikan bahwa hukum kontrak tidak hanya menjadi instrumen formalitas, tetapi juga alat untuk mencapai keadilan substansial.
5. Asas Kepribadian (Privity of Contract)
Asas Kepribadian atau asas personalitas menegaskan bahwa suatu perjanjian pada prinsipnya hanya mengikat dan berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian tidak dapat memberikan beban kewajiban atau memberikan hak kepada pihak ketiga yang tidak terlibat dalam pembuatan perjanjian tersebut.
Dasar hukum asas ini ditemukan dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan, "Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri." Dipertegas lagi oleh Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi, "Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya."
Artinya, jika A dan B membuat perjanjian jual beli, maka hanya A dan B yang terikat. Pihak C, yang tidak ikut serta dalam perjanjian, tidak bisa dituntut untuk melaksanakan kewajiban dalam perjanjian tersebut, dan sebaliknya, C juga tidak bisa menuntut hak dari perjanjian tersebut. Prinsip ini penting untuk menjaga kepastian hukum dan otonomi kehendak para pihak.
Pengecualian Terhadap Asas Kepribadian
Sama seperti asas lainnya, asas kepribadian juga memiliki pengecualian yang diatur oleh undang-undang. Pengecualian ini memungkinkan suatu perjanjian untuk memberikan dampak hukum kepada pihak ketiga.
- Janji untuk Kepentingan Pihak Ketiga (Derdenbeding): Diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata, yang memungkinkan seseorang dalam suatu perjanjian untuk menjanjikan suatu hak atau manfaat bagi pihak ketiga. Contoh yang paling umum adalah kontrak asuransi jiwa, di mana pemegang polis (pihak pertama) membuat perjanjian dengan perusahaan asuransi (pihak kedua) untuk memberikan sejumlah uang pertanggungan kepada ahli waris (pihak ketiga) jika pemegang polis meninggal dunia. Pihak ketiga, meskipun tidak ikut membuat perjanjian, berhak menuntut pemenuhan janji tersebut.
- Garansi (Garantie): Seseorang dapat menanggung atau menjamin pemenuhan kewajiban oleh pihak ketiga. Dalam perjanjian penanggungan utang (borgtocht), seorang penjamin (pihak ketiga) mengikatkan diri untuk memenuhi prestasi debitur jika debitur tersebut wanprestasi.
- Perjanjian Kolektif: Dalam beberapa kasus, seperti Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara serikat pekerja dan perusahaan, perjanjian tersebut akan mengikat semua pekerja di perusahaan itu, termasuk mereka yang bukan anggota serikat pekerja yang berunding.
Asas-Asas Pelengkap Lainnya
Selain lima asas utama di atas, terdapat beberapa asas lain yang juga berperan dalam melengkapi dan menyempurnakan kerangka hukum perjanjian.
Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian. Meskipun para pihak bebas menentukan isi kontrak, hukum dapat melakukan intervensi jika terdapat ketidakseimbangan yang ekstrim yang disebabkan oleh penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden), di mana satu pihak memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat dan memanfaatkannya untuk memaksakan klausul yang sangat merugikan pihak lain. Asas ini sering diterapkan dalam perlindungan konsumen dan hukum perburuhan.
Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan menyatakan bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus didasari oleh kepercayaan bahwa pihak tersebut akan memenuhi janjinya di kemudian hari. Kepercayaan ini menjadi landasan psikologis yang mendorong lahirnya suatu kesepakatan. Jika salah satu pihak bertindak dengan cara yang merusak kepercayaan tersebut (misalnya dengan memberikan keterangan palsu), maka kesepakatan yang lahir bisa dianggap cacat kehendak.
Asas Persamaan Hukum
Asas ini menyatakan bahwa setiap pihak yang membuat perjanjian memiliki kedudukan yang setara dan sama di hadapan hukum. Tidak boleh ada diskriminasi atau perlakuan yang berbeda berdasarkan latar belakang sosial, ekonomi, atau status lainnya. Setiap pihak harus diperlakukan secara adil dan memiliki kesempatan yang sama untuk menegosiasikan dan melaksanakan perjanjian.
Kesimpulan
Asas-asas perjanjian—kebebasan berkontrak, konsensualisme, kekuatan mengikat (pacta sunt servanda), itikad baik, dan kepribadian—merupakan fondasi yang saling terkait dan tidak terpisahkan dalam hukum kontrak. Asas kebebasan berkontrak memberikan otonomi kepada individu, asas konsensualisme menentukan momen lahirnya ikatan, asas kekuatan mengikat memberikan kepastian hukum, asas itikad baik menyuntikkan nilai moral dan keadilan, sedangkan asas kepribadian membatasi lingkup keberlakuan perjanjian. Bersama-sama, asas-asas ini menciptakan sebuah sistem yang seimbang, yang menghormati kehendak bebas para pihak sekaligus melindungi kepentingan umum dan nilai-nilai keadilan. Pemahaman yang mendalam terhadap setiap asas ini akan membimbing siapa saja dalam menciptakan hubungan kontraktual yang sehat, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan.