Hukum Islam, atau yang lebih dikenal dengan Syariah, bukanlah sekadar kumpulan aturan yang kaku dan statis. Di baliknya, terdapat sebuah sistem yang koheren, dinamis, dan dibangun di atas fondasi prinsip-prinsip atau asas-asas agung yang menjadi ruh dan filosofinya. Memahami asas-asas ini adalah kunci untuk mengapresiasi kedalaman, kebijaksanaan, dan relevansi hukum Islam di setiap zaman. Asas-asas ini berfungsi sebagai kerangka berpikir bagi para mujtahid dalam menggali hukum (istinbath al-ahkam) dan memastikan bahwa setiap ketetapan hukum senantiasa selaras dengan tujuan utama diturunkannya syariah.
Secara sederhana, asas hukum Islam dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan dan sumber bagi pembentukan norma-norma hukum Islam. Ia adalah kebenaran universal yang menjadi titik tolak dalam menimbang, menetapkan, dan menerapkan hukum. Tanpa pemahaman terhadap asas-asas ini, penerapan hukum Islam berisiko menjadi formalistik, kering, dan kehilangan substansi keadilan serta kemaslahatan yang menjadi intinya.
Bagian I: Asas Tertinggi - Maqashid as-Syari'ah (Tujuan-Tujuan Syariah)
Asas paling fundamental dan menjadi puncak dari seluruh filosofi hukum Islam adalah Maqashid as-Syari'ah. Konsep ini merujuk pada tujuan-tujuan agung dan hikmah di balik setiap perintah dan larangan Allah SWT. Setiap hukum, tanpa terkecuali, ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan (kebaikan) dan menolak kerusakan (mafsadat) bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ulama besar seperti Imam Al-Ghazali dan secara lebih sistematis oleh Imam Asy-Syatibi, merumuskan bahwa tujuan utama syariah adalah untuk memelihara lima hal esensial yang dikenal sebagai ad-Dharuriyyat al-Khamsah (lima kebutuhan primer).
1. Hifdz ad-Din (Memelihara Agama)
Asas pertama dan tertinggi adalah perlindungan terhadap agama. Ini bukan hanya tentang melindungi akidah Islam dari penyimpangan, tetapi juga menjamin kebebasan setiap individu untuk menjalankan keyakinan dan ibadahnya. Hifdz ad-Din mencakup dua sisi: sisi eksistensi (min nahiyatil wujud) dan sisi proteksi (min nahiyatil 'adam).
- Dari Sisi Eksistensi: Syariah memerintahkan kewajiban-kewajiban dasar yang menegakkan pilar-pilar agama, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Selain itu, syariah juga mendorong aktivitas dakwah, pendidikan Islam, dan jihad (dalam maknanya yang luas, termasuk perjuangan intelektual dan spiritual) untuk memastikan nilai-nilai agama terus hidup dan berkembang di tengah masyarakat.
- Dari Sisi Proteksi: Syariah menetapkan larangan terhadap segala bentuk kemusyrikan, bid'ah yang menyesatkan, dan riddah (kemurtadan). Penetapan hukuman bagi pelanggaran ini bertujuan untuk menjaga kemurnian dan kesakralan ajaran Islam serta menjaga tatanan sosial komunitas Muslim. Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa perlindungan ini tidak meniadakan prinsip la ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam agama).
2. Hifdz an-Nafs (Memelihara Jiwa)
Jiwa manusia adalah suci dan berharga dalam pandangan Islam. Asas pemeliharaan jiwa menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling fundamental. Setiap tindakan yang mengancam atau menghilangkan nyawa manusia tanpa hak adalah dosa besar.
"Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya." (QS. Al-Ma'idah: 32)
- Dari Sisi Eksistensi: Syariah mewajibkan pemenuhan kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup, seperti makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Islam juga sangat menganjurkan untuk menjaga kesehatan, mencari pengobatan ketika sakit, dan mengonsumsi makanan yang halal dan baik (thayyib).
- Dari Sisi Proteksi: Syariah dengan tegas melarang pembunuhan, bunuh diri, dan segala bentuk penganiayaan fisik. Untuk melindungi jiwa, ditetapkan hukuman yang berat seperti qishash (hukuman setimpal) bagi pelaku pembunuhan. Hukuman ini tidak hanya bertujuan sebagai pembalasan, tetapi juga sebagai efek jera (deterrent) yang kuat untuk mencegah kejahatan serupa terjadi di masyarakat.
3. Hifdz al-'Aql (Memelihara Akal)
Akal adalah anugerah agung yang membedakan manusia dari makhluk lain. Dengan akal, manusia dapat membedakan yang baik dan buruk, menerima wahyu, dan mengelola bumi. Oleh karena itu, syariah menempatkan perlindungan terhadap akal sebagai salah satu tujuan utamanya.
- Dari Sisi Eksistensi: Islam sangat mendorong umatnya untuk menuntut ilmu. Wahyu pertama yang turun adalah perintah "Iqra!" (Bacalah!). Syariah mendorong proses berpikir, tadabbur (merenungi ayat-ayat Allah), dan penelitian ilmiah. Kebebasan berpikir yang konstruktif dan bertanggung jawab sangat dihargai.
- Dari Sisi Proteksi: Untuk menjaga kejernihan dan fungsi akal, syariah secara tegas mengharamkan segala sesuatu yang dapat merusaknya, terutama khamr (minuman keras) dan narkotika. Larangan ini bersifat mutlak karena dampak destruktifnya tidak hanya pada individu, tetapi juga pada tatanan sosial, seperti meningkatnya kejahatan, kecelakaan, dan hancurnya keluarga. Hukuman cambuk (hadd) bagi peminum khamr ditetapkan sebagai bentuk perlindungan preventif terhadap akal kolektif masyarakat.
4. Hifdz an-Nasl (Memelihara Keturunan)
Kelestarian umat manusia dan kejelasan garis keturunan adalah pilar penting dalam membangun peradaban yang sehat. Asas ini bertujuan untuk melindungi institusi keluarga, menjaga kehormatan, dan memastikan generasi penerus tumbuh dalam lingkungan yang baik dan terhormat.
- Dari Sisi Eksistensi: Syariah melembagakan pernikahan sebagai satu-satunya jalan yang sah untuk menyalurkan hasrat biologis, membentuk keluarga, dan melanjutkan keturunan. Pernikahan dalam Islam bukan sekadar kontrak sipil, melainkan ikatan suci (mitsaqan ghalizha) yang penuh dengan nilai ibadah, cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Syariah juga mengatur hak dan kewajiban suami, istri, serta anak untuk menciptakan keharmonisan keluarga.
- Dari Sisi Proteksi: Untuk menjaga kesucian keturunan dan kehormatan, syariah melarang keras perzinaan (zina) dan segala perbuatan yang mendekatinya. Ditetapkan hukuman hadd yang berat bagi pelakunya. Selain itu, dilarang pula menuduh orang baik-baik berzina tanpa bukti (qadzaf), sebagai bentuk perlindungan terhadap nama baik dan kehormatan individu dan keluarga.
5. Hifdz al-Mal (Memelihara Harta)
Harta adalah sarana penopang kehidupan. Islam mengakui hak kepemilikan individu dan memandangnya sebagai amanah dari Allah yang harus diperoleh dan dibelanjakan di jalan yang benar. Asas pemeliharaan harta bertujuan menciptakan sistem ekonomi yang adil dan melindungi hak milik dari segala bentuk pelanggaran.
- Dari Sisi Eksistensi: Islam mendorong umatnya untuk bekerja dan berusaha mencari rezeki yang halal. Syariah mengatur berbagai bentuk transaksi muamalah yang sah, seperti jual beli, sewa-menyewa, dan kemitraan, untuk memfasilitasi perputaran ekonomi yang produktif. Di sisi lain, ada kewajiban seperti zakat, infak, dan sedekah untuk memastikan distribusi kekayaan dan keadilan sosial.
- Dari Sisi Proteksi: Syariah melarang segala cara memperoleh harta secara batil, seperti mencuri, merampok, korupsi, menipu, judi (maysir), dan memakan riba. Ditetapkannya hukuman potong tangan (hadd) bagi pencuri yang memenuhi syarat-syarat ketat adalah bentuk perlindungan maksimal terhadap hak milik dan keamanan ekonomi masyarakat.
Bagian II: Asas-Asas Umum dalam Kaidah Fiqih (Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah)
Selain Maqashid Syariah yang bersifat filosofis, terdapat kaidah-kaidah fiqih yang lebih praktis dan berfungsi sebagai adagium atau maksim hukum. Kaidah-kaidah ini disarikan oleh para ulama dari dalil-dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan menjadi panduan bagi para ahli hukum dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Beberapa kaidah paling fundamental di antaranya adalah:
1. Asas Kemanfaatan dan Penolakan Mudarat (Jalbul Mashalih wa Dar’ul Mafasid)
Ini adalah turunan langsung dari Maqashid Syariah. Asas ini menyatakan bahwa setiap hukum ditetapkan untuk mendatangkan manfaat (maslahah) dan menolak atau menghilangkan kerusakan (mafsadah). Jika dalam suatu masalah terdapat pertentangan antara keduanya, maka berlaku kaidah:
"Menolak kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemanfaatan." (Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih).
Contohnya, menjual minuman keras mungkin mendatangkan keuntungan finansial (manfaat) bagi penjual, tetapi kerusakan sosial dan kesehatan yang ditimbulkannya (mafsadah) jauh lebih besar. Oleh karena itu, hukumnya dilarang. Asas ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidak hanya melihat aspek legal-formal, tetapi juga mempertimbangkan dampak dan konsekuensi dari suatu perbuatan.
2. Asas Keyakinan (Al-Yaqinu La Yazulu bisy-Syakk)
Artinya, "Keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan." Asas ini memberikan kepastian hukum dan stabilitas. Sesuatu yang sudah diyakini ada atau tidak ada, tidak bisa diubah statusnya hanya karena muncul keraguan. Keyakinan baru bisa berubah jika ada keyakinan lain yang lebih kuat.
Contoh penerapannya sangat luas:
- Dalam Ibadah: Seseorang yang yakin sudah berwudhu, kemudian ragu-ragu apakah wudhunya batal atau tidak. Selama tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa wudhunya batal, maka ia dianggap masih dalam keadaan suci.
- Dalam Hukum Perdata: Seseorang yang diyakini memiliki utang kepada orang lain akan terus dianggap berutang sampai ada bukti yakin bahwa utang tersebut telah lunas. Keraguan dari pihak pengutang tidak bisa menggugurkan kewajibannya.
- Dalam Hukum Pidana: Ini adalah fondasi dari asas praduga tak bersalah. Seseorang diyakini tidak bersalah (bara'atudz dzimmah) sampai terbukti secara meyakinkan di pengadilan bahwa ia bersalah.
3. Asas Kemudahan dan Menghilangkan Kesulitan (Al-Masyaqqatu Tajlibut Taysir)
Artinya, "Kesulitan mendatangkan kemudahan." Prinsip ini menunjukkan sifat welas asih (rahmah) dalam syariah. Islam tidak membebani pemeluknya di luar batas kemampuannya. Ketika seseorang menghadapi kesulitan yang luar biasa dalam menjalankan suatu kewajiban, syariah memberikan keringanan (rukhsah).
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185)
Bentuk-bentuk kemudahan ini antara lain:
- Orang yang sakit atau dalam perjalanan (musafir) boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan menggantinya di hari lain.
- Musafir juga mendapatkan keringanan untuk men-jama' (menggabungkan) dan meng-qashar (meringkas) shalat.
- Ketika tidak ditemukan air, seseorang boleh bertayamum sebagai pengganti wudhu.
- Dalam keadaan darurat yang mengancam nyawa, seseorang diperbolehkan mengonsumsi makanan yang haram sekadarnya untuk bertahan hidup.
4. Asas Menghilangkan Kemudaratan (Adh-Dhararu Yuzal)
Artinya, "Kemudaratan harus dihilangkan." Asas ini menegaskan bahwa tidak boleh ada pihak yang dirugikan atau merugikan orang lain dalam interaksi sosial. Prinsip ini menjadi dasar bagi banyak aturan dalam hukum muamalah (perdata) dan jinayah (pidana).
Kaidah turunannya meliputi:
- Adh-Dhararu la yuzalu bidh-dharar: Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan serupa. Contoh: Seseorang tidak boleh merusak properti tetangganya hanya karena tetangganya telah merusak propertinya. Masalah harus diselesaikan melalui jalur hukum.
- Yatahammalu adh-dhararul khash li daf'i dhararin 'am: Kemudaratan yang bersifat khusus (individu) dapat ditoleransi untuk menghindari kemudaratan yang bersifat umum (publik). Contoh: Pemerintah boleh menggusur bangunan milik pribadi (kerugian khusus) untuk membangun jalan tol atau fasilitas umum yang manfaatnya lebih besar bagi masyarakat (menghindari kerugian publik seperti kemacetan parah).
5. Asas Adat atau Kebiasaan (Al-'Adatu Muhakkamah)
Artinya, "Adat kebiasaan dapat dijadikan sebagai hukum." Asas ini menunjukkan fleksibilitas dan pengakuan hukum Islam terhadap tradisi dan praktik lokal yang baik ('urf shahih). Selama suatu adat atau kebiasaan tidak bertentangan secara diametral dengan nash (teks) Al-Qur'an atau As-Sunnah yang qath'i (pasti), maka ia bisa menjadi rujukan dalam menetapkan hukum, terutama dalam masalah muamalah yang tidak diatur secara rinci.
Syarat sebuah adat dapat diterima adalah:
- Berlaku umum dan konsisten di kalangan masyarakat tertentu.
- Tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang fundamental.
- Sudah berlangsung lama dan menjadi bagian dari tradisi yang mapan.
Contoh: Penentuan mahar dalam pernikahan seringkali merujuk pada standar adat setempat. Cara pembayaran dalam jual beli yang tidak ditentukan secara spesifik dalam akad juga dapat merujuk pada kebiasaan yang berlaku di pasar tersebut.
Bagian III: Asas-Asas Khusus dalam Berbagai Bidang Hukum
Selain asas-asas umum di atas, setiap cabang ilmu hukum Islam juga memiliki prinsip-prinsip spesifik yang menjadi ciri khasnya.
Asas dalam Hukum Perikatan dan Kontrak (Fiqh Muamalah)
1. Asas Kebebasan Berkontrak (Mabda' Hurriyah at-Ta'aqud)
Pada dasarnya, hukum asal dalam segala bentuk transaksi (muamalah) adalah boleh (ibahah), kecuali ada dalil yang secara tegas melarangnya. Ini berbeda dengan hukum ibadah, di mana hukum asalnya adalah terlarang (tauqifi), kecuali ada dalil yang memerintahkannya. Asas ini memberikan ruang inovasi yang sangat luas dalam pengembangan produk ekonomi dan keuangan syariah, selama tidak melanggar larangan-larangan utama.
2. Asas Keridhaan Para Pihak (At-Taradhi)
Setiap akad atau kontrak harus didasarkan pada kesepakatan dan kerelaan sukarela dari semua pihak yang terlibat. Tidak boleh ada unsur paksaan (ikrah), penipuan (tadlis), atau ketidaktahuan yang merugikan (jahl). Firman Allah dalam QS. An-Nisa: 29 menjadi dasarnya: "...kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu."
3. Asas Larangan Riba, Gharar, dan Maysir
Ini adalah tiga pilar larangan dalam ekonomi Islam yang menjadi pembeda utama dengan sistem konvensional.
- Riba: Setiap tambahan yang disyaratkan dalam transaksi pinjam-meminjam atau pertukaran barang sejenis yang tidak seimbang. Riba dilarang keras karena bersifat eksploitatif dan tidak adil.
- Gharar: Ketidakpastian, ketidakjelasan, atau spekulasi yang berlebihan dalam suatu akad, terutama terkait objek, harga, atau waktu penyerahan. Contohnya adalah menjual ikan yang masih di dalam laut.
- Maysir: Perjudian atau transaksi untung-untungan, di mana satu pihak untung di atas kerugian pihak lain tanpa adanya aktivitas ekonomi riil.
Asas dalam Hukum Pidana (Fiqh Jinayah)
1. Asas Legalitas (La Jarimah wa la 'Uqubah illa bi Nash)
"Tidak ada tindak pidana (jarimah) dan tidak ada hukuman ('uqubah) kecuali berdasarkan nash (ketentuan yang ada)." Ini adalah prinsip fundamental yang menjamin kepastian hukum. Seseorang tidak dapat dihukum atas perbuatan yang pada saat dilakukan belum ada aturan hukum yang melarangnya. Prinsip ini mendahului konsep serupa dalam hukum positif modern selama berabad-abad.
2. Asas Personalitas (Pertanggungjawaban Pribadi)
Hukuman hanya dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan itu sendiri. Dosa atau kesalahan seseorang tidak dapat diwariskan atau dilimpahkan kepada keluarganya, kerabatnya, atau orang lain. Al-Qur'an menegaskan: "Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." (QS. Fathir: 18). Ini menjamin bahwa keadilan bersifat individual dan tepat sasaran.
3. Asas Praduga Tak Bersalah (Al-Ashlu Bara'atudz Dzimmah)
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pada dasarnya setiap orang dianggap bebas dari tuntutan atau tuduhan sampai ada bukti yang sah dan meyakinkan yang membuktikan kesalahannya. Beban pembuktian ada pada pihak penuntut (jaksa). Terdakwa tidak wajib membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Bukti wajib diajukan oleh penuduh, sementara sumpah wajib diucapkan oleh yang tertuduh (jika bukti tidak ada)."
Asas dalam Hukum Keluarga (Fiqh Munakahat)
1. Asas Kesukarelaan
Pernikahan harus didasarkan pada kerelaan kedua calon mempelai. Tidak sah sebuah pernikahan yang dilangsungkan di bawah paksaan, terutama dari pihak perempuan. Meskipun wali memiliki peran penting, persetujuan dari calon mempelai wanita adalah syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan.
2. Asas Kemitraan dan Saling Melengkapi
Hubungan suami istri dalam Islam dibangun di atas pondasi kemitraan yang setara, bukan hubungan atasan dan bawahan. Masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang saling melengkapi untuk mencapai tujuan bersama, yaitu membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Suami sebagai kepala keluarga (qawwam) memiliki tanggung jawab nafkah dan perlindungan, sementara istri memiliki peran utama dalam manajemen rumah tangga dan pendidikan anak.
Kesimpulan: Dinamisme dan Universalitas Hukum Islam
Mengkaji asas-asas hukum Islam membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam bahwa Syariah bukanlah sekadar hukum yang bersifat dogmatis. Ia adalah sebuah sistem hukum yang rasional, fleksibel, dan berorientasi pada tujuan. Fondasi Maqashid Syariah memastikan bahwa setiap hukum senantiasa berlabuh pada tujuan luhur untuk melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Sementara itu, kaidah-kaidah fiqih seperti asas kemudahan, asas kepastian hukum, dan asas penolakan mudarat, memberikan perangkat metodologis bagi para ahli hukum untuk merespons tantangan zaman tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip dasarnya. Pengakuan terhadap adat sebagai sumber hukum menunjukkan kearifan Syariah dalam berdialog dengan budaya lokal.
Dengan demikian, asas-asas ini adalah bukti nyata dari universalitas ('alamiyah) dan kelenturan (murunah) hukum Islam. Ia menyediakan kerangka kerja yang kokoh namun adaptif, yang mampu memberikan solusi-solusi adil dan maslahat bagi kemanusiaan, kapan pun dan di mana pun.