Membedah Asas Kebebasan Berkontrak
Pengantar: Jantung dari Hukum Perjanjian
Dalam denyut nadi setiap transaksi, mulai dari secangkir kopi yang kita beli di pagi hari hingga perjanjian merger perusahaan bernilai miliaran, terdapat sebuah prinsip fundamental yang menjadi landasannya: asas kebebasan berkontrak. Asas ini, yang juga dikenal dengan istilah freedom of contract atau partij-autonomie, merupakan pilar utama dalam hukum perikatan dan perjanjian di berbagai sistem hukum di dunia, termasuk di Indonesia. Secara sederhana, asas ini memberikan keleluasaan kepada individu atau badan hukum untuk secara bebas menentukan apakah mereka akan membuat perjanjian, dengan siapa mereka membuatnya, apa isi perjanjian tersebut, dan dalam bentuk apa perjanjian itu akan dituangkan.
Esensi dari kebebasan berkontrak adalah pengakuan terhadap otonomi kehendak individu. Hukum memandang bahwa setiap subjek hukum adalah entitas yang rasional, mampu menimbang kepentingannya sendiri, dan oleh karena itu, berhak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan hukum dengan pihak lain berdasarkan kesepakatan yang mereka ciptakan bersama. Perjanjian yang lahir dari kehendak bebas para pihak ini kemudian diakui oleh negara dan diberikan kekuatan hukum yang mengikat, seolah-olah ia adalah undang-undang bagi para pembuatnya.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam mengenai asas kebebasan berkontrak. Kita akan menelusuri akar filosofis dan historisnya, dasar hukum yang melandasinya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), empat aspek utama yang terkandung di dalamnya, serta yang tidak kalah penting, batasan-batasan yang memastikan bahwa kebebasan ini tidak menjadi absolut dan tidak disalahgunakan. Terakhir, kita akan melihat bagaimana asas klasik ini beradaptasi dan tetap relevan dalam menghadapi tantangan-tantangan dunia modern, seperti kontrak baku dan transaksi digital.
Akar Sejarah dan Landasan Filosofis
Untuk memahami makna sesungguhnya dari asas kebebasan berkontrak, kita perlu kembali ke masa lalu, ke era Pencerahan di Eropa. Asas ini tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan buah dari revolusi pemikiran yang mengedepankan individualisme, liberalisme, dan rasionalisme. Sebelum era ini, status sosial seseorang lebih banyak ditentukan oleh kelahiran dan kelas sosial, bukan oleh pilihan individu. Hubungan hukum lebih bersifat statis dan ditentukan oleh tradisi atau otoritas.
Revolusi Prancis dengan semboyan Liberté, Égalité, Fraternité menjadi salah satu tonggak penting. Paham liberalisme ekonomi yang dipelopori oleh Adam Smith dengan konsep laissez-faire (biarkan terjadi) juga memberikan dorongan kuat. Paham ini meyakini bahwa pasar akan mencapai efisiensi maksimal jika negara tidak campur tangan dan membiarkan individu-individu bebas mengejar kepentingannya masing-masing melalui kontrak. Kehendak bebas (autonomie de la volonté) dianggap sebagai sumber satu-satunya dari perikatan. Negara hanya bertugas sebagai "penjaga malam" yang memastikan bahwa kontrak yang telah disepakati akan ditaati dan dilaksanakan.
Filosofi ini kemudian dikodifikasikan dalam berbagai sistem hukum, salah satunya adalah Code Civil des Français atau dikenal juga sebagai Code Napoléon. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia, yang merupakan warisan dari Burgerlijk Wetboek Belanda, sangat dipengaruhi oleh Code Napoléon. Oleh karena itu, semangat individualisme dan kebebasan kehendak ini meresap kuat ke dalam pasal-pasal yang mengatur hukum perjanjian di Indonesia.
Dasar Hukum Asas Kebebasan Berkontrak di Indonesia
Landasan yuridis utama bagi asas kebebasan berkontrak di Indonesia tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal ini sering disebut sebagai jantung dari hukum perjanjian Indonesia.
Pasal 1338 KUHPerdata: "Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."
Mari kita bedah makna yang terkandung dalam pasal ini.
- "Semua persetujuan...": Frasa ini menunjukkan sifat terbuka dari sistem hukum perjanjian di Indonesia. KUHPerdata tidak membatasi jenis-jenis perjanjian yang dapat dibuat oleh para pihak. Selama para pihak bersepakat, mereka dapat menciptakan perjanjian apa pun, termasuk perjanjian-perjanjian yang tidak secara spesifik diatur dalam undang-undang (perjanjian innominat), seperti perjanjian waralaba, leasing, atau kontrak produksi.
- "...yang dibuat sesuai dengan undang-undang...": Bagian ini adalah kunci yang menghubungkan kebebasan dengan batasannya. Kebebasan yang diberikan bukanlah kebebasan tanpa batas. Perjanjian tersebut harus "sah" atau "sesuai dengan undang-undang". Apa artinya "sah"? Jawabannya terdapat pada pasal lain yang menjadi koridor bagi Pasal 1338, yaitu Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian.
- "...berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.": Ini adalah esensi dari asas pacta sunt servanda, yang berarti "janji harus ditepati". Ketika para pihak secara bebas menyepakati sesuatu, kesepakatan itu memiliki kekuatan mengikat yang setara dengan undang-undang bagi mereka. Mereka terikat untuk melaksanakan prestasi (kewajiban) dan berhak menuntut kontraprestasi (hak) sebagaimana yang telah diperjanjikan. Jika salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji), pihak lain dapat menuntut pemenuhannya melalui pengadilan.
Dengan demikian, Pasal 1338 KUHPerdata secara tegas memberikan pengakuan dan kekuatan hukum terhadap otonomi kehendak para pihak dalam mengatur hubungan hukum di antara mereka.
Empat Wujud Kebebasan dalam Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat diuraikan lebih lanjut menjadi empat manifestasi atau wujud kebebasan yang dimiliki oleh para pihak. Keempat aspek ini saling berkaitan dan membentuk satu kesatuan konsep yang utuh.
1. Kebebasan untuk Membuat atau Tidak Membuat Perjanjian
Ini adalah aspek paling dasar. Setiap orang bebas untuk memutuskan apakah ia ingin masuk ke dalam suatu hubungan kontraktual atau tidak. Tidak seorang pun dapat dipaksa untuk membuat perjanjian di luar kehendaknya. Pilihan untuk berdiam diri dan tidak mengikatkan diri adalah hak yang dilindungi. Misalnya, Anda bebas sepenuhnya untuk memutuskan apakah akan membeli sebuah rumah yang ditawarkan atau tidak. Penjual pun tidak bisa memaksa Anda untuk membeli, dan Anda tidak bisa memaksa penjual untuk menjual jika ia berubah pikiran sebelum adanya kesepakatan.
2. Kebebasan untuk Memilih Pihak (Kontrahen)
Setelah memutuskan untuk membuat perjanjian, seseorang bebas memilih dengan siapa ia akan membuat perjanjian tersebut. Anda berhak memilih penyedia layanan internet A daripada B, memilih untuk menyewa rumah dari Tuan X daripada Tuan Y, atau memilih untuk bekerja di perusahaan P daripada perusahaan Q. Pemilihan ini didasarkan pada pertimbangan pribadi, seperti kepercayaan, reputasi, harga, atau kualitas.
3. Kebebasan untuk Menentukan Isi Perjanjian
Inilah inti dari otonomi para pihak. Mereka diberikan keleluasaan penuh untuk merumuskan isi, klausul, hak, dan kewajiban dalam perjanjian mereka. Mereka dapat menentukan objek perjanjian, harga yang harus dibayar, jangka waktu, cara pembayaran, sanksi jika terjadi wanprestasi, mekanisme penyelesaian sengketa (misalnya melalui pengadilan atau arbitrase), dan berbagai ketentuan lain yang mereka anggap perlu. Kebebasan ini memungkinkan lahirnya berbagai jenis kontrak yang inovatif dan sesuai dengan kebutuhan dinamis dunia bisnis dan masyarakat. Selama isinya tidak melanggar batasan-batasan hukum, para pihak adalah legislator bagi diri mereka sendiri.
4. Kebebasan untuk Menentukan Bentuk Perjanjian
Pada prinsipnya, KUHPerdata menganut asas konsensualisme, yang berarti perjanjian lahir sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus), terlepas dari bentuknya. Oleh karena itu, para pihak bebas menentukan apakah perjanjian akan dibuat secara lisan, tertulis di bawah tangan, atau dalam bentuk akta otentik di hadapan notaris. Perjanjian lisan pun sah dan mengikat, meskipun dalam praktiknya akan sulit untuk dibuktikan jika terjadi sengketa. Namun, kebebasan ini tidak berlaku mutlak. Untuk beberapa jenis perjanjian tertentu, undang-undang secara khusus mensyaratkan bentuk tertentu demi kepastian hukum dan perlindungan pihak ketiga. Contohnya adalah perjanjian pendirian perseroan terbatas atau perjanjian hibah tanah yang wajib dibuat dalam bentuk akta otentik.
Batas-Batas Kebebasan: Koridor Hukum yang Harus Ditaati
Seperti yang telah disinggung, kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan yang absolut. Paham liberalisme ekstrem abad ke-19 yang mengagungkan kebebasan individu tanpa batas telah banyak dikoreksi. Hukum modern menyadari bahwa kebebasan yang tidak terkendali dapat menciptakan ketidakadilan, terutama ketika posisi tawar antara para pihak tidak seimbang. Oleh karena itu, hukum menetapkan sejumlah batasan untuk memastikan bahwa kebebasan tersebut digunakan secara bertanggung jawab dan tidak merugikan kepentingan umum atau pihak yang lebih lemah.
1. Syarat Sahnya Perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata)
Ini adalah batasan paling fundamental. Sebuah perjanjian hanya akan "berlaku sebagai undang-undang" jika ia "dibuat secara sah". Pasal 1320 KUHPerdata menetapkan empat syarat kumulatif agar suatu perjanjian dianggap sah:
a. Kesepakatan Mereka yang Mengikatkan Dirinya
Syarat ini menekankan bahwa kehendak para pihak harus bertemu dalam satu titik kesepakatan (konsensus) tanpa adanya cacat kehendak (wilsgebreken). Kesepakatan dianggap tidak sah jika diberikan karena:
- Paksaan (dwang): Adanya ancaman fisik atau psikis yang membuat seseorang terpaksa menyetujui perjanjian.
- Kekhilafan (dwaling): Salah satu pihak memiliki gambaran yang salah mengenai pokok perjanjian atau mengenai subjek hukum yang menjadi lawan kontraknya. Kekhilafan ini harus bersifat esensial.
- Penipuan (bedrog): Salah satu pihak dengan sengaja menggunakan tipu muslihat untuk membujuk pihak lain agar mau membuat perjanjian, yang tanpa tipu muslihat itu ia tidak akan membuatnya.
Jika perjanjian dibuat berdasarkan salah satu cacat kehendak di atas, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).
b. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan
Para pihak yang membuat perjanjian haruslah subjek hukum yang oleh undang-undang dianggap cakap atau mampu melakukan perbuatan hukum. Menurut KUHPerdata, yang dianggap tidak cakap adalah:
- Orang yang belum dewasa (di bawah usia yang ditentukan undang-undang).
- Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (misalnya karena gangguan jiwa, pemboros, atau dungu).
Perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap juga bersifat dapat dibatalkan. Artinya, perjanjian itu tetap sah sampai ada permintaan pembatalan dari pihak yang tidak cakap (atau walinya) kepada pengadilan.
c. Suatu Hal Tertentu (Objek Perjanjian)
Isi atau objek dari perjanjian harus jelas dan dapat ditentukan. Para pihak harus tahu secara pasti apa prestasi yang menjadi hak dan kewajiban mereka. Objek tersebut setidaknya harus dapat ditentukan jenisnya. Misalnya, dalam perjanjian jual beli, objeknya harus jelas, seperti "satu unit mobil merek A, tipe B, nomor rangka sekian, nomor mesin sekian". Perjanjian untuk "menjual salah satu mobil saya" tanpa spesifikasi lebih lanjut dianggap tidak memenuhi syarat suatu hal tertentu. Objeknya juga harus merupakan barang yang dapat diperdagangkan.
d. Suatu Sebab (Causa) yang Halal
Causa atau sebab dari perjanjian adalah tujuan atau isi dari perjanjian itu sendiri. Syarat ini menegaskan bahwa tujuan dibuatnya perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Pasal 1337 KUHPerdata: "Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum."
Contohnya, perjanjian untuk melakukan tindak pidana seperti jual beli narkotika atau perjanjian untuk membunuh seseorang adalah batal demi hukum (nietig) karena memiliki sebab yang tidak halal. Sejak awal, perjanjian semacam ini dianggap tidak pernah ada.
2. Undang-Undang yang Bersifat Memaksa (Dwingend Recht)
Para pihak tidak dapat menyimpangi peraturan perundang-undangan yang sifatnya memaksa. Peraturan ini biasanya dibuat untuk melindungi kepentingan publik atau pihak yang secara ekonomi lebih lemah. Contohnya adalah Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menetapkan upah minimum. Pengusaha dan pekerja tidak boleh membuat perjanjian kerja dengan upah di bawah standar minimum yang telah ditetapkan, meskipun keduanya "sepakat". Kesepakatan semacam itu akan batal demi hukum. Begitu pula dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang melarang pencantuman klausula baku yang merugikan konsumen.
3. Ketertiban Umum dan Kesusilaan
Batasan ini terkait erat dengan syarat causa yang halal, namun cakupannya lebih luas. Ketertiban umum (openbare orde) adalah norma-norma fundamental yang menjadi dasar tatanan masyarakat dan negara. Kesusilaan (goede zeden) adalah norma-norma moral dan etika yang hidup dan diakui dalam masyarakat. Sebuah perjanjian, meskipun tidak secara eksplisit dilarang oleh suatu pasal undang-undang, bisa saja dianggap tidak sah jika isinya bertentangan dengan rasa keadilan, kepatutan, dan nilai-nilai moral yang berlaku. Misalnya, perjanjian yang mengeksploitasi keadaan darurat seseorang secara berlebihan dapat dianggap bertentangan dengan kesusilaan.
4. Kepatutan, Kebiasaan, dan Itikad Baik (Pasal 1339 dan 1338 ayat 3)
Kebebasan berkontrak juga dibatasi oleh prinsip itikad baik. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa "Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik". Ini berarti, dalam melaksanakan perjanjian, para pihak harus memegang teguh kejujuran, keterbukaan, dan kepatutan. Mereka tidak boleh menyalahgunakan hak yang timbul dari perjanjian untuk merugikan pihak lain.
Selanjutnya, Pasal 1339 KUHPerdata menambahkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang. Ini berarti, hakim dapat "mengisi" kekosongan dalam kontrak atau bahkan mengesampingkan klausul tertentu jika pelaksanaannya dianggap bertentangan dengan rasa keadilan dan kepatutan.
Relevansi Asas Kebebasan Berkontrak di Era Modern
Di tengah kompleksitas dunia modern, asas kebebasan berkontrak menghadapi tantangan dan penafsiran baru. Asas ini tidak lagi dipandang secara kaku seperti pada abad ke-19, melainkan secara lebih dinamis dan proporsional, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara otonomi individu dan perlindungan sosial.
Tantangan Kontrak Baku (Standard Form Contract)
Salah satu tantangan terbesar adalah maraknya penggunaan kontrak baku atau kontrak adhesi. Ini adalah kontrak yang isinya telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak (biasanya pelaku usaha dengan posisi tawar yang kuat), sementara pihak lain (konsumen) hanya memiliki pilihan "terima atau tinggalkan" (take it or leave it). Contohnya adalah kontrak asuransi, perjanjian kredit bank, tiket parkir, atau bahkan syarat dan ketentuan saat menginstal perangkat lunak.
Dalam konteks ini, "kebebasan menentukan isi perjanjian" menjadi ilusi bagi konsumen. Mereka tidak memiliki daya tawar untuk menegosiasikan klausul-klausul di dalamnya. Menyadari hal ini, hukum modern, terutama melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen, melakukan intervensi. UU tersebut melarang pencantuman klausula eksonerasi (klausul pengalihan tanggung jawab) yang tidak adil. Pengadilan juga memiliki kewenangan untuk menafsirkan klausul yang ambigu untuk keuntungan pihak yang lebih lemah dan bahkan membatalkan klausul yang dianggap tidak patut.
Era Digital dan Kontrak Elektronik
Perkembangan teknologi informasi melahirkan bentuk-bentuk kontrak baru, seperti kontrak elektronik. Bagaimana asas kebebasan berkontrak diterapkan dalam transaksi melalui internet? Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan pengakuan hukum terhadap kontrak elektronik dan tanda tangan elektronik.
Prinsip kebebasan berkontrak tetap berlaku. Para pihak bebas menyepakati transaksi jual beli melalui platform e-commerce. Namun, tantangan muncul terkait dengan syarat "kesepakatan". Apakah dengan mengklik tombol "Saya Setuju" (click-wrap agreement) pada ratusan halaman syarat dan ketentuan yang tidak mungkin dibaca, seseorang benar-benar telah memberikan kesepakatan yang bebas? Ini adalah perdebatan hukum yang terus berlangsung. Namun, secara umum, hukum mengakui keabsahan metode ini, sembari tetap membuka ruang bagi pengadilan untuk menguji kewajaran isi dari syarat dan ketentuan tersebut jika terjadi sengketa.
Kesimpulan
Asas kebebasan berkontrak adalah fondasi yang kokoh bagi hukum perjanjian. Ia adalah manifestasi dari pengakuan hukum terhadap otonomi, martabat, dan kemampuan individu untuk menentukan nasibnya sendiri melalui kesepakatan-kesepakatan yang dibuat secara bebas. Berlandaskan Pasal 1338 KUHPerdata, asas ini memberikan keleluasaan bagi para pihak untuk menciptakan hubungan hukum yang mengikat mereka layaknya undang-undang.
Namun, kebebasan ini bukanlah tanpa tepi. Hukum modern menempatkannya dalam sebuah bingkai yang jelas, yang dibatasi oleh syarat sahnya perjanjian, peraturan perundang-undangan yang memaksa, ketertiban umum, kesusilaan, dan prinsip itikad baik. Batasan-batasan ini bukanlah untuk mengebiri kebebasan, melainkan untuk melindunginya dari penyalahgunaan dan untuk memastikan bahwa hasil dari kebebasan tersebut adalah keadilan dan kepastian hukum, bukan penindasan pihak yang kuat terhadap yang lemah.
Dalam menghadapi dinamika zaman, mulai dari kontrak baku hingga transaksi digital, asas kebebasan berkontrak terus berevolusi. Ia tidak lagi dipahami sebagai dogma yang kaku, melainkan sebagai prinsip yang dinamis, yang senantiasa mencari titik keseimbangan antara kehendak bebas individu dan tanggung jawab sosial. Pada akhirnya, asas ini tetap menjadi pilar yang esensial, memungkinkan pergerakan roda ekonomi dan interaksi sosial dalam masyarakat yang teratur dan berkeadilan.