Keadilan Ketegasan Kepastian

Asas Retroaktif dalam Hukum Pidana Islam: Keadilan atau Ketidakpastian?

Dalam sistem hukum modern, asas retroaktif atau surut seringkali menjadi topik perdebatan sengit. Asas ini mengacu pada penerapan hukum pidana baru terhadap perbuatan yang telah terjadi sebelum hukum tersebut berlaku. Pertanyaan krusial yang muncul adalah: apakah penerapan asas retroaktif sejalan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum, terutama dalam konteks hukum pidana Islam?

Memahami Asas Retroaktif

Secara umum, hukum pidana mengenal prinsip nullum delictum, nulla poena sine lege praevia, yang berarti tidak ada perbuatan yang dapat dihukum jika pada saat perbuatan itu dilakukan belum ada undang-undang yang mengaturnya, dan tidak ada pidana yang dapat dijatuhkan jika pada saat itu belum ada ketentuan pidananya. Prinsip ini menekankan pentingnya kepastian hukum, di mana warga negara harus mengetahui secara jelas perbuatan mana yang dilarang dan sanksi apa yang akan dihadapi.

Namun, dalam kondisi tertentu, seperti pemberantasan kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) atau untuk menegakkan nilai-nilai moral yang fundamental, beberapa sistem hukum memungkinkan penerapan asas retroaktif secara terbatas. Tujuannya adalah untuk memberikan keadilan bagi korban dan mencegah terjadinya kejahatan serupa di masa depan, meskipun hal ini dapat mengorbankan aspek kepastian hukum.

Perspektif Hukum Pidana Islam terhadap Retroaktif

Hukum pidana Islam, yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, memiliki landasan normatif yang kuat mengenai keadilan, kepastian hukum, dan kemaslahatan umat. Dalam tradisi hukum Islam, terdapat prinsip fundamental yang dikenal sebagai prinsip kemurnian akidah dan moralitas. Perbuatan yang dilarang dalam Islam umumnya bersifat inheren buruk (al-qubuh dzati) dan bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan yang telah diakui sejak lama.

Mayoritas ulama fikih berpandangan bahwa asas retroaktif (pemberlakuan surut) tidak dapat diterapkan dalam hukum pidana Islam, kecuali dalam kasus-kasus yang sangat spesifik dan didukung oleh dalil syar'i yang kuat. Penolakan terhadap penerapan retroaktif ini didasarkan pada beberapa alasan mendasar:

Pengecualian dan Implikasinya

Meskipun demikian, terdapat diskusi mengenai kemungkinan penerapan asas retroaktif dalam konteks historis tertentu, misalnya ketika ada perbuatan yang secara prinsip dilarang oleh syariat namun belum secara spesifik diatur sanksi pidananya. Dalam kasus seperti ini, penetapan sanksi dapat merujuk pada pidana ta'zir, yang merupakan kewenangan hakim untuk menjatuhkan hukuman berdasarkan kebijaksanaan dan pertimbangan kemaslahatan, namun tetap dalam koridor prinsip-prinsip syariat.

"Dan tidaklah Kami mengazab sebelum (diutusnya) seorang rasul." (QS. Al-Isra': 15).

Ayat ini seringkali dijadikan dasar argumentasi penolakan terhadap asas retroaktif, karena menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dihukum kecuali setelah adanya peringatan atau pemberitahuan yang jelas mengenai larangannya.

Tantangan Modernisasi

Di era modern, negara-negara dengan sistem hukum yang terinspirasi syariat terkadang dihadapkan pada dilema dalam mengadopsi prinsip-prinsip hukum pidana internasional yang mungkin saja memiliki pendekatan berbeda terhadap asas retroaktif, terutama dalam menangani kejahatan transnasional atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Keseimbangan antara kearifan hukum Islam yang bersifat fundamental dan kebutuhan untuk adaptasi dengan perkembangan global menjadi tantangan tersendiri.

Kesimpulannya, asas retroaktif dalam hukum pidana Islam umumnya ditolak karena bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan ilahi. Fokus utama hukum pidana Islam adalah mencegah terjadinya kejahatan melalui penegakan hukum yang jelas, presisi, dan berkeadilan. Namun, diskusi mengenai implikasi dan pengecualian dalam konteks tertentu tetap relevan untuk memastikan bahwa keadilan dapat ditegakkan tanpa mengorbankan fondasi normatif syariat.

🏠 Homepage