Asas Fiksi Hukum: Fondasi Tak Terlihat dari Keteraturan Sosial

Ilustrasi Asas Hukum Sebuah buku hukum terbuka yang memancarkan cahaya ke arah siluet sekelompok orang, melambangkan bahwa hukum berlaku dan dianggap diketahui oleh semua warga negara.

Dalam denyut kehidupan bermasyarakat, hukum berdiri sebagai pilar utama yang menopang keteraturan, keadilan, dan kepastian. Tanpa hukum, interaksi antarindividu akan jatuh ke dalam kekacauan, di mana yang kuat menindas yang lemah. Namun, agar hukum dapat berfungsi secara efektif, ia membutuhkan serangkaian asumsi dasar atau asas yang diterima sebagai kebenaran. Salah satu asas yang paling fundamental, sekaligus paling kontroversial, adalah adagium bahwa semua orang dianggap tahu hukum. Asas ini, sering disebut sebagai fiksi hukum, menjadi landasan bagi penegakan hukum di hampir seluruh yurisdiksi di dunia, termasuk Indonesia.

Gagasan ini mungkin terdengar absurd pada pendengaran pertama. Bagaimana mungkin seorang petani di pelosok desa, seorang nelayan di pesisir terpencil, atau bahkan seorang profesional di kota besar diharapkan mengetahui ribuan pasal dalam ratusan undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah yang terus berubah? Realitasnya, tidak ada seorang pun, bahkan seorang ahli hukum sekalipun, yang mampu menguasai seluruh korpus hukum secara sempurna. Lantas, mengapa sistem hukum bersikeras pada fiksi yang begitu jauh dari kenyataan ini? Jawabannya terletak pada kebutuhan pragmatis untuk menjaga wibawa dan efektivitas hukum itu sendiri.

Ignorantia juris non excusat.
Ketidaktahuan akan hukum tidak dapat menjadi alasan pemaaf.

Adagium Latin kuno ini merupakan inti dari asas fiksi hukum. Bayangkan sebuah skenario di mana ketidaktahuan akan hukum dapat dijadikan sebagai alasan pembenar. Setiap pelaku tindak pidana, mulai dari pelanggar lalu lintas hingga koruptor, dapat dengan mudah berkelit dari tanggung jawab dengan dalih, "Saya tidak tahu bahwa perbuatan itu dilarang." Jika dalih semacam ini diterima, maka seluruh bangunan sistem peradilan akan runtuh. Hukum akan kehilangan daya paksanya, dan tujuan untuk menciptakan ketertiban sosial akan gagal total. Oleh karena itu, sistem hukum menciptakan sebuah "fiksi" atau anggapan mutlak: begitu sebuah peraturan perundang-undangan diundangkan dan diumumkan secara resmi oleh negara, maka sejak saat itu, setiap warga negara dianggap telah mengetahuinya. Tidak ada ruang untuk negosiasi mengenai hal ini.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam mengenai asas "semua orang dianggap tahu hukum". Kita akan menjelajahi akar sejarah dan landasan filosofisnya, menelusuri implementasinya dalam sistem hukum di Indonesia, menganalisis kritik dan tantangan yang dihadapinya di era modern, serta membahas pengecualian dan upaya mitigasi yang ada. Melalui penelusuran ini, kita akan memahami mengapa fiksi hukum ini, meskipun terasa tidak adil, merupakan sebuah kompromi yang diperlukan demi tegaknya sebuah negara hukum.

Akar Sejarah dan Landasan Filosofis

Asas bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum bukanlah sebuah konsep modern. Akarnya tertanam jauh dalam tradisi hukum Romawi, peradaban yang meletakkan banyak fondasi bagi sistem hukum Barat. Para yuris Romawi telah menyadari bahwa untuk menjalankan sebuah imperium yang luas dengan sistem hukum yang kompleks, diperlukan sebuah titik awal yang kokoh. Titik awal itu adalah asumsi bahwa hukum yang telah dipublikasikan berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali. Tanpa asumsi ini, penegakan hukum akan menjadi tidak mungkin, karena setiap orang dapat mengklaim ketidaktahuan, terutama di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan.

Konsep ini kemudian diwariskan dan dikembangkan dalam dua tradisi hukum utama dunia: Civil Law (Eropa Kontinental) dan Common Law (Anglo-Saxon). Dalam sistem Civil Law, yang juga dianut oleh Indonesia, asas ini diperkuat melalui kodifikasi hukum. Negara mengambil peran sentral dalam menciptakan dan menyebarkan hukum melalui undang-undang tertulis. Proses pengundangan (promulgasi) dalam lembaran negara menjadi momen simbolis di mana hukum secara resmi "diberitahukan" kepada publik, dan fiksi hukum pun mulai berlaku. Dalam sistem Common Law, meskipun lebih bergantung pada preseden yudisial, asas ignorantia juris non excusat tetap dipegang teguh sebagai doktrin fundamental untuk menjaga konsistensi dan prediktabilitas putusan pengadilan.

Landasan Filosofis di Balik Fiksi

Mengapa asas ini terus dipertahankan selama berabad-abad meskipun tampak bertentangan dengan realitas? Ada beberapa pilar filosofis yang menopangnya.

Pertama, kebutuhan mutlak akan Kepastian Hukum (Legal Certainty). Kepastian hukum adalah salah satu tujuan utama dari hukum itu sendiri. Warga negara perlu tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta apa konsekuensi dari setiap tindakan mereka. Jika ketidaktahuan bisa menjadi dalih, maka tidak akan ada kepastian. Setiap kasus hukum akan menjadi perdebatan tanpa akhir tentang apakah terdakwa benar-benar tahu atau tidak tahu tentang hukum yang dilanggarnya. Ini akan menciptakan ketidakpastian yang merusak tatanan sosial dan ekonomi. Dengan menganggap semua orang tahu hukum, negara menciptakan landasan yang jelas dan seragam: hukum berlaku sama bagi semua orang, terlepas dari tingkat pengetahuan subjektif mereka.

Kedua, teori Kedaulatan Negara. Dalam sebuah negara modern, negaralah yang memegang monopoli untuk membuat dan menegakkan hukum. Kedaulatan ini menyiratkan bahwa ketika negara, melalui lembaga legislatifnya, telah menetapkan suatu aturan, maka aturan itu mengikat seluruh warga negara yang berada di bawah yurisdiksinya. Asas ini adalah manifestasi dari kedaulatan tersebut. Ia menegaskan bahwa kewajiban warga negara bukanlah untuk setuju dengan setiap hukum, melainkan untuk menaatinya. Penaatan ini mensyaratkan adanya kewajiban untuk mengetahui hukum yang berlaku, sebuah kewajiban yang ditegakkan melalui fiksi hukum ini.

Ketiga, gagasan Kontrak Sosial. Filsuf seperti Jean-Jacques Rousseau berpendapat bahwa individu secara implisit setuju untuk menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada negara sebagai imbalan atas perlindungan dan ketertiban. Perjanjian tak tertulis ini, atau kontrak sosial, mencakup kesepakatan untuk tunduk pada hukum yang dibuat oleh negara. Dengan menjadi bagian dari masyarakat, seorang individu secara inheren menerima kewajiban untuk mematuhi "aturan main" yang ada. Salah satu aturan main fundamental tersebut adalah bahwa setiap orang harus bertanggung jawab atas tindakannya di bawah hukum yang berlaku, dan ketidaktahuan tidak dapat dijadikan alasan untuk melepaskan diri dari tanggung jawab itu.

Keempat, fungsi Preventif dan Edukatif Hukum. Dengan menegakkan asas ini, sistem hukum secara tidak langsung mendorong warga negara untuk bersikap proaktif. Asas ini menempatkan beban pada individu untuk mencari tahu hukum yang relevan dengan kehidupan dan aktivitas mereka. Seorang pengusaha diharapkan mempelajari hukum bisnis, seorang pengendara diharapkan mengetahui peraturan lalu lintas, dan seorang warga negara diharapkan memahami hak dan kewajiban dasarnya. Ini mendorong terciptanya masyarakat yang lebih sadar hukum dan bertanggung jawab. Jika ketidaktahuan dimaafkan, insentif untuk belajar dan mematuhi hukum akan berkurang secara drastis.

Implementasi dalam Sistem Hukum Indonesia

Di Indonesia, sebagai negara yang menganut sistem hukum Civil Law, asas semua orang dianggap tahu hukum memiliki landasan formal yang sangat kuat. Prinsip ini tidak hanya menjadi doktrin yang diajarkan di fakultas hukum, tetapi juga terwujud dalam mekanisme pembentukan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan.

Dasar Hukum Formal Pengundangan

Kunci untuk memahami penerapan asas ini di Indonesia terletak pada proses pengundangan. Sebuah rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, kemudian disahkan oleh Presiden, tidak serta-merta berlaku. Ia harus diundangkan terlebih dahulu agar memiliki kekuatan hukum mengikat. Proses ini diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Mekanisme utamanya adalah penempatan peraturan tersebut dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI). LNRI adalah media resmi pemerintah untuk mengumumkan peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dan Peraturan Pemerintah. Tanggal pengundangan, yaitu tanggal peraturan tersebut dimuat dalam LNRI, adalah momen krusial. Sejak tanggal itulah, fiksi hukum mulai berjalan. Seluruh penduduk Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, tanpa terkecuali, dianggap telah mengetahui keberadaan dan isi dari peraturan tersebut. Selain LNRI, ada juga Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) yang digunakan untuk mengumumkan peraturan yang sifatnya mengatur ke dalam atau pengumuman resmi lainnya.

Proses ini adalah ritual yuridis yang menjadi pembenaran formal bagi penerapan asas ignorantia juris non excusat. Negara, melalui prosedur ini, telah memenuhi kewajibannya untuk "memberitahukan" hukum kepada warganya. Setelah pemberitahuan resmi ini dilakukan, bola berpindah ke tangan warga negara. Dalih "saya tidak membaca Lembaran Negara" atau "saya tidak tahu ada undang-undang baru" menjadi tidak relevan di mata hukum.

Penerapan di Berbagai Cabang Hukum

Asas ini meresap ke dalam hampir seluruh cabang hukum di Indonesia, meskipun dengan penekanan yang sedikit berbeda.

Dalam Hukum Pidana, asas ini berlaku secara absolut dan kaku. Tujuan utama hukum pidana adalah untuk melindungi ketertiban umum dan memberikan efek jera. Jika seorang pencuri bisa dibebaskan dengan alasan ia tidak tahu bahwa mengambil barang orang lain itu dilarang, maka tujuan hukum pidana akan lumpuh. Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dapat membela diri dengan menyatakan bahwa ia tidak mengetahui perbuatannya merupakan suatu kejahatan. Unsur "kesalahan" atau mens rea dalam hukum pidana tidak merujuk pada pengetahuan seseorang tentang legalitas perbuatannya, melainkan pada niat atau kelalaian dalam melakukan perbuatan itu sendiri. Misalnya, yang perlu dibuktikan adalah apakah ia sengaja mengambil dompet orang lain, bukan apakah ia tahu bahwa tindakan mengambil dompet itu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Dalam Hukum Perdata, asas ini juga berlaku kuat, terutama dalam hal perjanjian dan kepemilikan. Seseorang yang menandatangani kontrak dianggap telah mengetahui dan menyetujui semua klausul di dalamnya, serta memahami konsekuensi hukum yang melekat pada kontrak tersebut. Ia tidak bisa di kemudian hari membatalkan kontrak dengan alasan tidak memahami istilah hukum yang digunakan atau tidak tahu bahwa ada syarat-syarat tertentu yang diatur dalam undang-undang untuk keabsahan kontrak. Demikian pula dalam hukum pertanahan, setiap orang dianggap mengetahui status hukum sebidang tanah yang terdaftar di badan pertanahan, karena data tersebut bersifat publik.

Dalam Hukum Administrasi Negara, asas ini menjadi dasar bagi hubungan antara pemerintah dan warga negara. Ketika pemerintah mengeluarkan suatu peraturan mengenai prosedur pengurusan izin, standar pelayanan publik, atau kewajiban administratif lainnya, warga negara dianggap mengetahuinya. Kelalaian dalam mengikuti prosedur, seperti terlambat mengajukan permohonan atau tidak melengkapi dokumen yang disyaratkan, akan membawa konsekuensi hukum, dan dalih ketidaktahuan terhadap prosedur tersebut tidak akan diterima.

Dalam Hukum Pajak, penerapan asas ini sangat tegas. Setiap Wajib Pajak, baik individu maupun badan, memiliki kewajiban untuk mengetahui, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri (sistem self-assessment). Ketidaktahuan mengenai peraturan perpajakan yang baru, batas waktu pelaporan, atau jenis-jenis pajak yang harus dibayar tidak akan membebaskan Wajib Pajak dari sanksi administrasi berupa denda atau bunga, apalagi dari tuntutan pidana jika terbukti ada unsur kesengajaan untuk mengelak dari pajak.

Kritik dan Tantangan di Era Modern

Meskipun menjadi pilar yang tak tergoyahkan, asas semua orang dianggap tahu hukum bukanlah tanpa cela. Di era modern yang ditandai dengan kompleksitas dan perubahan yang cepat, asas ini menghadapi kritik dan tantangan yang semakin tajam. Fiksi yang diciptakan terasa semakin jauh dari realitas kehidupan masyarakat.

Kritik dari Perspektif Keadilan Substantif

Kritik utama datang dari benturan antara kepastian hukum (yang dijamin oleh asas ini) dan keadilan substantif (rasa keadilan yang sesungguhnya di masyarakat).

Pertama, jurang antara Fiksi dan Realitas. Argumen paling mendasar adalah bahwa asas ini secara faktual tidak benar. Di Indonesia, negara kepulauan dengan lebih dari 270 juta penduduk dengan tingkat pendidikan, literasi, dan akses informasi yang sangat beragam, menganggap semua orang mengetahui setiap detail hukum adalah sebuah ilusi. Penerapan asas ini secara kaku dapat menjerat masyarakat awam, terutama kelompok rentan, yang melakukan pelanggaran bukan karena niat jahat, melainkan karena ketidaktahuan yang tulus. Menghukum mereka sama beratnya dengan pelaku yang sadar hukum bisa dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan.

Kedua, Kompleksitas dan Proliferasi Hukum. Tantangan ini sering disebut sebagai "obesitas regulasi". Setiap tahun, pemerintah pusat dan daerah menerbitkan ribuan peraturan baru. Hukum menjadi semakin teknis, rumit, dan seringkali tumpang tindih. Bahkan untuk seorang pengacara yang berspesialisasi di satu bidang pun, sangat sulit untuk tetap mengikuti semua perkembangan terbaru. Jika para ahli saja kesulitan, bagaimana mungkin masyarakat umum diharapkan untuk mengetahuinya? Kompleksitas ini membuat fiksi hukum terasa lebih sebagai alat kekuasaan yang menindas daripada sebagai pilar keteraturan.

Ketiga, Kesenjangan Akses terhadap Informasi Hukum. Meskipun secara teori Lembaran Negara dapat diakses oleh publik, pada praktiknya akses terhadap informasi hukum yang komprehensif dan mudah dipahami masih belum merata. Masyarakat di perkotaan dengan akses internet yang baik mungkin lebih mudah mencari informasi, tetapi bagaimana dengan mereka yang tinggal di daerah pedalaman atau terpencil? Selain itu, bahasa hukum yang digunakan dalam peraturan seringkali sulit dicerna oleh orang awam. Tanpa "penerjemahan" oleh para ahli hukum atau melalui program sosialisasi yang efektif, pengundangan di Lembaran Negara hanyalah sebuah formalitas belaka yang tidak menyentuh kesadaran hukum masyarakat.

Tantangan di Era Digital

Era digital membawa pedang bermata dua bagi asas fiksi hukum.

Di satu sisi, teknologi informasi menawarkan potensi luar biasa untuk mengatasi masalah akses. Pemerintah dapat memanfaatkan situs web, aplikasi, dan media sosial untuk menyebarkan informasi hukum secara lebih cepat dan luas. Inisiatif seperti Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional (JDIHN) adalah langkah positif ke arah ini, bertujuan untuk menyediakan satu portal data peraturan perundang-undangan yang terintegrasi dan mudah diakses.

Namun, di sisi lain, era digital juga memunculkan tantangan baru. Disinformasi dan hoaks hukum merajalela di media sosial dan aplikasi pesan. Warga yang mencoba mencari tahu tentang hukum justru bisa tersesat oleh informasi yang salah, tidak lengkap, atau sengaja menyesatkan. Hal ini menciptakan kebingungan dan dapat menyebabkan pelanggaran hukum yang tidak disengaja.

Selain itu, perubahan hukum yang sangat cepat, terutama yang terkait dengan teknologi seperti transaksi elektronik, perlindungan data pribadi, dan kejahatan siber, menuntut masyarakat untuk terus belajar. Sebuah aturan yang berlaku hari ini mungkin sudah usang atau diubah esok hari. Kecepatan perubahan ini membuat asas "dianggap tahu" menjadi beban yang semakin berat bagi warga negara.

Pengecualian, Nuansa, dan Mitigasi

Apakah asas semua orang dianggap tahu hukum ini benar-benar absolut tanpa celah sedikit pun? Meskipun dalam teori asas ini bersifat kaku, praktik penegakan hukum seringkali menunjukkan adanya ruang untuk nuansa dan pertimbangan. Sistem peradilan yang baik berusaha menyeimbangkan antara tuntutan kepastian hukum dan pencarian keadilan substantif.

Pembedaan Krusial: Error Juris vs. Error Facti

Salah satu pembedaan paling penting dalam ilmu hukum yang relevan dengan asas ini adalah antara kesalahan hukum (error juris) dan kesalahan fakta (error facti).

Error Juris (Kesalahan Hukum) adalah ketidaktahuan atau kekeliruan mengenai keberadaan atau isi dari suatu aturan hukum. Inilah yang secara langsung ditolak oleh asas ignorantia juris non excusat. Seseorang tidak bisa berdalih, "Saya tidak tahu bahwa ada undang-undang yang melarang tindakan ini." Dalih semacam ini pada umumnya tidak akan diterima sebagai alasan pemaaf yang menghapuskan pidana.

Error Facti (Kesalahan Fakta), di sisi lain, adalah ketidaktahuan atau kekeliruan mengenai suatu keadaan atau fakta material yang menjadi elemen dari suatu tindak pidana. Kesalahan fakta, jika dapat dibuktikan, dapat menjadi alasan pemaaf atau penghapus pidana. Contoh klasiknya adalah: seseorang mengambil payung di dekat pintu yang ia yakini sepenuhnya miliknya karena bentuk dan warnanya identik. Ternyata, payung itu milik orang lain. Di sini, ia melakukan kesalahan mengenai fakta (kepemilikan payung), bukan kesalahan mengenai hukum (ia tahu bahwa mengambil barang milik orang lain adalah pencurian). Dalam kasus seperti ini, unsur "dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum" tidak terpenuhi, sehingga ia bisa jadi tidak dipidana.

Pembedaan ini menunjukkan bahwa sistem hukum tidak sepenuhnya buta terhadap kondisi mental dan persepsi pelaku. Namun, garis antara keduanya terkadang bisa tipis dan menjadi subjek perdebatan hukum yang kompleks di pengadilan.

Peran Hakim dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding)

Hakim, sebagai corong keadilan, memiliki peran penting dalam memitigasi kekakuan asas ini. Meskipun seorang terdakwa tidak bisa dibebaskan hanya karena ketidaktahuan hukum, hakim memiliki kewenangan untuk mempertimbangkan latar belakang terdakwa—termasuk tingkat pendidikan, pemahaman, dan kondisi sosialnya—dalam menjatuhkan putusan, terutama dalam hal penentuan berat ringannya hukuman.

Seorang hakim bisa saja memberikan hukuman yang lebih ringan kepada seorang warga desa yang tidak berpendidikan yang melanggar aturan lingkungan karena kebiasaan turun-temurun, dibandingkan dengan seorang eksekutif perusahaan yang terdidik yang melakukan pelanggaran serupa demi keuntungan. Ini bukanlah pembenaran atas tindakannya, melainkan pengakuan bahwa tingkat kesalahan (culpability) kedua pelaku tersebut berbeda. Melalui proses penemuan hukum ini, hakim tidak hanya menerapkan bunyi undang-undang secara mekanis, tetapi juga menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat.

Tanggung Jawab Negara dalam Sosialisasi Hukum

Karena negara membebankan kewajiban yang begitu berat kepada warganya melalui fiksi hukum, maka negara juga memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk membuat hukum tersebut dapat diakses dan dipahami. Ini adalah sisi lain dari koin. Asas fiksi hukum hanya akan terasa adil jika negara secara aktif dan sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya.

Upaya ini dapat berupa:

Tanpa upaya mitigasi ini, asas semua orang dianggap tahu hukum berisiko menjadi justifikasi atas tirani legalistik, di mana hukum hanya menjadi alat bagi mereka yang memahaminya untuk mengontrol mereka yang tidak.

Kesimpulan: Fiksi yang Diperlukan

Asas semua orang dianggap tahu hukum adalah sebuah paradoks. Ia adalah sebuah fiksi yang secara faktual tidak mungkin benar, namun pada saat yang sama merupakan fondasi yang mutlak diperlukan bagi berfungsinya sebuah negara hukum. Tanpanya, pilar kepastian hukum akan goyah, penegakan hukum akan menjadi lumpuh, dan anarki akan mengancam tatanan sosial. Ia adalah harga yang harus dibayar untuk keteraturan dan prediktabilitas dalam kehidupan bersama.

Namun, penerimaan terhadap asas ini tidak boleh membuat kita menutup mata terhadap potensi ketidakadilan yang dapat ditimbulkannya. Tantangan terbesar bagi sistem hukum modern adalah bagaimana menyeimbangkan kebutuhan akan fiksi ini dengan realitas sosial yang kompleks. Jurang antara anggapan hukum dan pengetahuan faktual masyarakat harus terus-menerus dijembatani.

Jembatan itu dibangun dari dua arah. Dari sisi negara, ada kewajiban yang tidak bisa ditawar untuk membuat hukum yang jelas, konsisten, dan yang terpenting, dapat diakses dan dipahami oleh seluruh warga negara. Sosialisasi hukum bukanlah sekadar program tambahan, melainkan sebuah keharusan etis yang melekat pada pemberlakuan fiksi hukum itu sendiri. Dari sisi warga negara, ada tanggung jawab untuk menjadi anggota masyarakat yang aktif dan peduli, yang memiliki kesadaran untuk mencari tahu aturan main yang mengatur kehidupannya.

Pada akhirnya, asas ini mengingatkan kita bahwa hukum bukanlah entitas yang jauh dan abstrak. Ia adalah bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari. Meskipun kita tidak akan pernah bisa mengetahui setiap pasalnya, semangat untuk menjadi warga negara yang sadar hukum adalah langkah pertama untuk mengubah fiksi yang kaku menjadi realitas yang lebih berkeadilan bagi semua.

🏠 Homepage