Membedah Asas Teritorial dalam Hukum Pidana

YURISDIKSI HUKUM Berlaku di Wilayah Negara Ilustrasi Peta Indonesia dengan Palu Hakim, melambangkan kedaulatan hukum di wilayah negara.

Pengantar: Fondasi Kedaulatan Hukum Suatu Negara

Hukum pidana merupakan instrumen fundamental bagi suatu negara untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan keadilan dalam masyarakat. Ia menetapkan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelanggarnya. Namun, sebuah pertanyaan mendasar muncul: kapan dan di mana hukum pidana suatu negara dapat diberlakukan? Pertanyaan ini membawa kita pada pembahasan mengenai asas-asas berlakunya hukum pidana, yang menjadi pilar yurisdiksi atau kewenangan mengadili suatu negara.

Di antara berbagai asas yang ada, Asas Teritorial atau asas teritorialitas menduduki posisi sentral dan paling utama. Secara sederhana, asas ini menyatakan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara tersebut, tanpa memandang kewarganegaraan pelaku atau korban. Asas ini merupakan manifestasi paling nyata dari kedaulatan negara (sovereignty). Sebuah negara yang berdaulat memiliki hak eksklusif untuk mengatur segala sesuatu yang terjadi di dalam batas-batas teritorialnya, termasuk menegakkan hukum pidananya.

Artikel ini akan mengupas secara mendalam dan komprehensif mengenai asas teritorial dalam hukum pidana. Kita akan menjelajahi dasar filosofis dan yuridisnya, cakupan wilayah yang seringkali lebih luas dari sekadar daratan, berbagai teori penentuan lokasi kejahatan (locus delicti), pengecualian-pengecualian penting yang diakui secara internasional, serta relevansinya dalam menghadapi tantangan kejahatan di era modern yang tanpa batas.


Definisi dan Landasan Yuridis Asas Teritorial

Asas teritorial adalah prinsip hukum yang mendasarkan pemberlakuan hukum pidana pada lokasi atau tempat di mana tindak pidana (delict) dilakukan. Esensinya adalah letak geografis perbuatan. Jika suatu perbuatan pidana terjadi di dalam wilayah kedaulatan suatu negara, maka negara tersebut berwenang untuk menerapkan hukum pidananya, mengadili pelakunya, dan menjatuhkan sanksi, terlepas dari siapa pelakunya—apakah ia warga negara sendiri, warga negara asing, atau bahkan seseorang tanpa kewarganegaraan (stateless).

Di Indonesia, landasan yuridis utama asas teritorial tertuang dengan jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 2 KUHP menyatakan:

"Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia."

Frasa kunci dalam pasal ini adalah "di Indonesia". Frasa ini menjadi titik tolak untuk memahami seluruh lingkup penerapan asas teritorial. Apa yang dimaksud dengan "di Indonesia" tidaklah sesederhana kelihatannya. Ia mencakup lebih dari sekadar wilayah darat yang dibatasi oleh patok-patok perbatasan. Konsep ini meluas hingga ke lautan, udara, bahkan ke tempat-tempat tertentu di luar negeri yang dianggap sebagai perpanjangan wilayah kedaulatan.

Dasar Pemikiran di Balik Asas Teritorial

Mengapa asas teritorial menjadi prinsip yang paling diutamakan di hampir semua negara di dunia? Ada beberapa alasan fundamental yang mendasarinya:

  1. Kedaulatan Negara (State Sovereignty): Ini adalah alasan paling pokok. Setiap negara berdaulat memiliki kekuasaan tertinggi atas wilayahnya. Kemampuan untuk menegakkan hukum di dalam teritori adalah cerminan langsung dari kedaulatan tersebut. Jika negara lain dapat campur tangan dalam penegakan hukum di wilayahnya, maka kedaulatannya akan tergerus.
  2. Kepentingan Ketertiban Umum (Public Order): Setiap tindak pidana, sekecil apapun, dianggap mengganggu ketertiban dan kedamaian masyarakat di tempat kejadian. Oleh karena itu, negara tempat kejahatan terjadi memiliki kepentingan paling langsung dan mendesak untuk memulihkan ketertiban tersebut dengan menghukum pelaku.
  3. Kemudahan Pembuktian (Ease of Evidence Gathering): Proses peradilan pidana sangat bergantung pada bukti. Saksi, barang bukti, dan ahli seringkali berada di lokasi tempat kejahatan dilakukan. Menyelenggarakan peradilan di negara lain akan sangat menyulitkan proses pembuktian, memakan biaya besar, dan berpotensi mengurangi akurasi putusan.
  4. Rasa Keadilan Masyarakat Lokal: Kejahatan yang terjadi di suatu komunitas akan menimbulkan keresahan dan rasa ketidakadilan bagi masyarakat setempat. Penegakan hukum oleh otoritas lokal dianggap dapat memberikan kepuasan dan memulihkan rasa keadilan komunitas tersebut secara lebih efektif.

Perluasan Makna "Wilayah Indonesia"

Sebagaimana disinggung sebelumnya, konsep "wilayah Indonesia" dalam konteks hukum pidana jauh lebih luas dari peta geografis semata. Pemahaman yang komprehensif mengenai cakupan wilayah ini sangat krusial.

1. Wilayah Darat

Ini adalah komponen yang paling jelas, yaitu seluruh daratan yang berada di dalam garis perbatasan negara Indonesia dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste. Setiap jengkal tanah, dari Sabang sampai Merauke, termasuk dalam yurisdiksi teritorial Indonesia.

2. Wilayah Laut (Perairan)

Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, wilayah laut Indonesia sangatlah luas dan kompleks. Berdasarkan hukum internasional yang telah diratifikasi, wilayah laut Indonesia mencakup:

Dengan demikian, tindak pidana yang terjadi di perairan ini, baik di atas kapal berbendera asing sekalipun (dengan beberapa pengecualian terkait hak lintas damai), tunduk pada hukum pidana Indonesia.

3. Wilayah Udara

Wilayah udara (airspace) adalah ruang udara yang berada tepat di atas wilayah darat dan wilayah laut teritorial Indonesia. Kedaulatan negara di ruang udara ini bersifat lengkap dan eksklusif. Setiap pesawat udara, baik domestik maupun asing, yang terbang di ruang udara Indonesia wajib tunduk pada hukum yang berlaku, termasuk hukum pidana.

4. Wilayah Ekstrateritorial

Inilah bagian yang paling menarik dan seringkali menimbulkan perdebatan. Hukum pidana Indonesia juga dapat berlaku di tempat-tempat yang secara fisik berada di luar batas geografis Indonesia. Tempat-tempat ini dianggap sebagai perpanjangan "wilayah" Indonesia secara fiktif demi kepentingan hukum. Konsep ini dikenal sebagai yurisdiksi ekstrateritorial yang didasarkan pada perluasan asas teritorial.


Teori Penentuan Lokasi Tindak Pidana (Locus Delicti)

Pada kasus-kasus sederhana, menentukan lokasi kejahatan sangatlah mudah. Jika A merampok B di sebuah jalan di Jakarta, maka locus delicti-nya jelas di Jakarta. Namun, bagaimana jika tindak pidana melibatkan elemen lintas batas? Misalnya, A menembakkan senjata dari wilayah Malaysia dan pelurunya mengenai B yang berada di wilayah Indonesia. Atau, A mengirim surat berisi ancaman dari Jerman ke B di Surabaya. Di manakah tindak pidana itu dianggap terjadi?

Untuk menjawab kerumitan ini, ilmu hukum pidana mengembangkan beberapa teori mengenai locus delicti:

1. Teori Perbuatan Jasmaniah (Leer van de lichamelijke daad)

Menurut teori ini, tempat tindak pidana adalah tempat di mana pelaku melakukan perbuatan fisik (actus reus) yang dilarang. Dalam contoh penembakan lintas batas, menurut teori ini, tindak pidana terjadi di Malaysia, karena di sanalah pelaku menarik pelatuk pistol. Teori ini fokus pada tindakan awal dari pelaku.

2. Teori Akibat (Leer van het gevolg)

Teori ini berpandangan sebaliknya. Tempat tindak pidana adalah tempat di mana akibat yang dilarang oleh undang-undang itu timbul atau terjadi. Dalam kasus yang sama, tindak pidana dianggap terjadi di Indonesia, karena di sanalah korban (B) terluka atau meninggal akibat tembakan. Teori ini menitikberatkan pada hasil atau konsekuensi dari perbuatan.

3. Teori Alat yang Digunakan (Leer van het instrument)

Teori ini, yang merupakan variasi dari teori perbuatan, menyatakan bahwa tempat tindak pidana adalah tempat di mana alat yang digunakan oleh pelaku mulai bekerja. Dalam kasus surat ancaman dari Jerman, tindak pidana dianggap terjadi di Surabaya (Indonesia), karena di sanalah surat itu dibuka dan ancamannya menimbulkan akibat psikologis pada korban. Alat (surat) tersebut "bekerja" di tempat korban.

4. Teori Gabungan atau Rangkai (Ubiquiteitsleer)

Menyadari kelemahan dari masing-masing teori di atas, banyak sistem hukum modern, termasuk Indonesia, menganut teori gabungan. Teori ini menyatakan bahwa tindak pidana dianggap terjadi di setiap tempat yang relevan: baik di tempat perbuatan fisik dilakukan, di tempat alat mulai bekerja, maupun di tempat akibatnya timbul. Dalam kasus penembakan lintas batas, baik Malaysia maupun Indonesia memiliki yurisdiksi untuk mengadili perkara tersebut. Pendekatan ini memberikan fleksibilitas maksimum bagi penegak hukum untuk menuntut pelaku dan mencegah lolosnya pelaku dari jerat hukum karena perdebatan teknis mengenai lokasi.

Hukum pidana Indonesia secara implisit menganut teori ini untuk memastikan bahwa negara dapat melindungi kepentingannya dan memberikan keadilan, terutama dalam kasus-kasus kejahatan transnasional yang semakin marak.


Pengecualian Terhadap Asas Teritorial

Meskipun asas teritorial bersifat fundamental, ia tidaklah absolut. Hukum internasional dan kebiasaan diplomatik mengakui adanya beberapa pengecualian, di mana seseorang yang melakukan tindak pidana di wilayah suatu negara tidak dapat dituntut berdasarkan hukum negara tersebut. Pengecualian ini didasarkan pada prinsip kekebalan atau imunitas (immunity).

1. Kekebalan Diplomatik

Para diplomat (duta besar, staf diplomatik) dan anggota keluarga mereka yang terakreditasi di suatu negara menikmati kekebalan yurisdiksi pidana yang hampir mutlak di negara penerima. Artinya, jika seorang diplomat melakukan kejahatan, bahkan kejahatan serius, di negara tempat ia bertugas, ia tidak dapat ditangkap, ditahan, atau diadili oleh pengadilan negara tersebut. Hal ini diatur dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik.

Bukan berarti diplomat tersebut kebal hukum sepenuhnya. Negara penerima dapat melakukan dua hal:

2. Kekebalan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan

Kepala negara atau kepala pemerintahan yang sedang melakukan kunjungan resmi ke negara lain juga menikmati kekebalan dari yurisdiksi pidana negara yang dikunjungi. Mereka dianggap sebagai representasi pribadi dari kedaulatan negaranya.

3. Kekebalan Angkatan Bersenjata Asing

Pasukan militer dari negara asing yang berada di wilayah suatu negara dengan persetujuan pemerintah setempat (misalnya untuk latihan bersama atau sebagai bagian dari misi perdamaian) seringkali tunduk pada yurisdiksi negara pengirim mereka, bukan negara tuan rumah. Hal ini biasanya diatur secara spesifik dalam perjanjian bilateral yang disebut Status of Forces Agreement (SOFA).

4. Kekebalan Pejabat Organisasi Internasional

Pejabat tinggi organisasi internasional tertentu, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Bank Dunia, dapat menikmati kekebalan fungsional. Artinya, mereka kebal dari tuntutan hukum terkait tindakan yang mereka lakukan dalam kapasitas resmi mereka sebagai pejabat internasional.

Penting untuk dicatat bahwa kekebalan ini bukan lisensi untuk melakukan kejahatan, melainkan sebuah mekanisme untuk memastikan kelancaran hubungan antarnegara dan fungsi organisasi internasional tanpa hambatan dari tuntutan hukum yang berpotensi dipolitisasi.


Hubungan Asas Teritorial dengan Asas Lainnya

Asas teritorial adalah asas utama, tetapi bukan satu-satunya. Hukum pidana juga mengenal asas-asas lain yang berfungsi melengkapi dan mengisi kekosongan yurisdiksi yang tidak dapat dijangkau oleh asas teritorial.

Asas Personal (Nasionalitas Aktif)

Asas ini mendasarkan yurisdiksi pada kewarganegaraan pelaku. Hukum pidana suatu negara tetap berlaku bagi warga negaranya, sekalipun mereka melakukan tindak pidana di luar negeri. Contoh: Jika seorang WNI melakukan pencurian di Singapura, berdasarkan asas personal, Indonesia berhak mengadili WNI tersebut jika ia kembali ke Indonesia. Asas ini memastikan warga negara tidak dapat menghindari hukum negaranya hanya dengan pergi ke luar negeri.

Asas Perlindungan (Nasionalitas Pasif)

Asas ini mendasarkan yurisdiksi pada kepentingan nasional yang dilanggar, meskipun kejahatan terjadi di luar negeri oleh orang asing. Jika suatu tindak pidana di luar negeri mengancam keamanan, integritas, atau kepentingan vital negara (misalnya pemalsuan mata uang, spionase, atau rencana makar terhadap pemerintah), negara yang dirugikan berhak mengadili pelaku. Asas ini melindungi eksistensi dan kedaulatan negara dari ancaman eksternal.

Asas Universal

Asas ini berlaku untuk kejahatan-kejahatan yang dianggap sangat keji dan menjadi musuh seluruh umat manusia (hostis humani generis). Kejahatan seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembajakan di laut, dan terorisme internasional dapat diadili oleh negara manapun, terlepas dari lokasi kejahatan atau kewarganegaraan pelaku dan korban. Setiap negara dianggap memiliki kewajiban untuk menekan kejahatan-kejahatan ini.

Dalam praktiknya, asas-asas ini seringkali tumpang tindih. Sebuah tindak pidana bisa saja masuk dalam yurisdiksi beberapa negara sekaligus. Misalnya, seorang teroris warga negara A meledakkan bom di negara B yang menewaskan warga negara C dan D. Maka:

Dalam situasi seperti ini, negara mana yang akhirnya akan mengadili biasanya ditentukan melalui negosiasi diplomatik dan perjanjian ekstradisi.


Tantangan dan Relevansi di Era Modern

Di dunia yang semakin terhubung, asas teritorial yang berbasis pada batas-batas geografis fisik menghadapi tantangan yang signifikan. Namun, hal ini tidak serta-merta membuatnya usang, melainkan menuntut adaptasi dan interpretasi baru.

1. Kejahatan Siber (Cybercrime)

Ini adalah tantangan terbesar bagi asas teritorial. Di mana locus delicti dari sebuah kejahatan siber? Apakah di lokasi peretas berada? Di lokasi server tempat data dicuri? Atau di lokasi korban yang mengalami kerugian finansial? Kejahatan siber bersifat nirbatas (borderless), membuat penerapan asas teritorial tradisional menjadi sangat sulit. Seorang peretas di Eropa Timur dapat menyerang server di Amerika Utara untuk mencuri data nasabah bank di Asia Tenggara. Semua teori locus delicti bisa diterapkan, yang justru menciptakan konflik yurisdiksi. Solusinya terletak pada kerja sama internasional yang erat melalui perjanjian bantuan hukum timbal balik (Mutual Legal Assistance Treaties) dan konvensi internasional tentang kejahatan siber.

2. Kejahatan Transnasional Terorganisir

Sindikat narkotika, perdagangan manusia, dan pendanaan terorisme beroperasi melintasi banyak negara. Sebuah operasi bisa direncanakan di negara A, didanai dari negara B, dilaksanakan di negara C, dan hasilnya dinikmati di negara D. Asas teritorial saja tidak akan cukup untuk membongkar seluruh jaringan. Diperlukan penerapan gabungan dari semua asas yurisdiksi dan kolaborasi antar lembaga penegak hukum di seluruh dunia.

3. Globalisasi Ekonomi

Kejahatan kerah putih seperti penipuan investasi lintas batas, pencucian uang, dan penghindaran pajak seringkali melibatkan yurisdiksi yang kompleks. Pelaku dapat dengan sengaja memanfaatkan celah hukum antarnegara untuk menyembunyikan aset dan jejak kejahatan. Penegakan hukum dalam kasus seperti ini menuntut harmonisasi peraturan dan pertukaran informasi keuangan internasional.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan tersebut, asas teritorial tetap menjadi fondasi yang relevan. Ia tetap menjadi titik awal yurisdiksi yang paling logis dan diterima secara universal. Negara tempat dampak kejahatan paling dirasakan (misalnya, tempat korban berada atau kerugian ekonomi terjadi) akan selalu memiliki klaim yurisdiksi terkuat. Tantangan modern tidak menghapuskan asas teritorial, tetapi memaksanya untuk bekerja bahu-membahu secara lebih dinamis dengan asas-asas lain dan mekanisme kerja sama hukum internasional.

Kesimpulan

Asas teritorial adalah pilar utama yang menopang bangunan yurisdiksi hukum pidana suatu negara. Berakar pada konsep kedaulatan, asas ini memberikan kewenangan kepada negara untuk menegakkan hukum atas semua tindak pidana yang terjadi di dalam wilayahnya, yang cakupannya meluas dari darat, laut, udara, hingga wilayah ekstrateritorial seperti kapal dan pesawat. Didukung oleh teori-teori penentuan locus delicti yang fleksibel, asas ini memastikan bahwa negara dapat merespons gangguan terhadap ketertiban umum yang terjadi di dalam batas-batasnya.

Meskipun terdapat pengecualian-pengecualian penting yang diakui secara internasional, seperti kekebalan diplomatik, prinsip ini tetap menjadi aturan utama. Di era globalisasi dan digitalisasi, di mana kejahatan semakin sering melintasi batas-batas negara, asas teritorial memang menghadapi tantangan baru. Namun, ia tidak berdiri sendiri. Bersama dengan asas personal, perlindungan, dan universal, serta didukung oleh kerja sama internasional yang solid, asas teritorial beradaptasi dan terus menjadi landasan yang kokoh bagi penegakan keadilan pidana di seluruh dunia. Ia adalah penegasan bahwa setiap negara memiliki hak dan tanggung jawab utama untuk menjaga ketertiban di "rumahnya" sendiri.

🏠 Homepage