Aristoteles, murid dari Plato dan guru dari Aleksander Agung, adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat. Berbeda dengan gurunya yang cenderung fokus pada dunia Ide yang transenden, Aristoteles membawa filsafat kembali ke dunia empiris dan observasi. Pemikirannya mencakup hampir seluruh spektrum pengetahuan manusia, mulai dari biologi, fisika, metafisika, etika, hingga politik.
Kontribusi terbesar Aristoteles yang abadi adalah penciptaan sistem logika formal, yang ia kumpulkan dalam karyanya Organon. Logika Aristoteles, yang dikenal sebagai silogisme, menjadi alat standar untuk penalaran deduktif selama lebih dari dua milenium. Silogisme adalah argumen yang terdiri dari dua premis yang mengarah pada satu kesimpulan yang pasti.
Contoh klasik silogisme adalah:
Bagi Aristoteles, kemampuan untuk bernalar secara logis adalah inti dari esensi rasional manusia. Logika bukan hanya alat berpikir, tetapi juga kunci untuk memahami struktur realitas itu sendiri.
Dalam bidang metafisika, Aristoteles memperkenalkan konsep penting mengenai Substansi (Ousia). Berbeda dengan 'Bentuk' ideal Plato, substansi Aristoteles adalah gabungan dari dua elemen utama: Materi (Hyle) dan Bentuk (Morphe). Materi adalah potensi, sementara Bentuk adalah aktualisasi atau esensi yang menjadikan sesuatu itu apa adanya.
Konsep lain yang krusial adalah empat penyebab (The Four Causes):
Fokus pada Telos (tujuan akhir) ini sangat mendominasi pandangannya tentang alam semesta. Segala sesuatu di alam, menurut Aristoteles, bergerak menuju pemenuhan potensinya.
Dalam bidang etika, terutama dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles mengajukan tujuan tertinggi kehidupan manusia adalah Eudaimonia, yang sering diterjemahkan sebagai 'kebahagiaan' atau 'hidup yang berkembang baik'.
Eudaimonia tidak dicapai melalui kesenangan sesaat (hedonisme), melainkan melalui pelaksanaan fungsi unik manusia, yaitu aktivitas rasional yang dilakukan dengan kebajikan (Virtue). Aristoteles terkenal dengan ajaran 'Jalan Tengah' (Doctrine of the Mean).
Jalan Tengah mengajarkan bahwa kebajikan adalah keseimbangan antara dua ekstrem, yaitu kekurangan dan kelebihan. Sebagai contoh, keberanian adalah jalan tengah antara sifat pengecut (kekurangan) dan sifat nekat/sembrono (kelebihan). Mencapai jalan tengah ini memerlukan latihan kebiasaan yang baik dan penggunaan akal praktis (Phronesis).
Aristoteles memandang manusia sebagai "hewan politik" (Zoon Politikon). Bagi dirinya, perkembangan penuh manusia hanya dapat dicapai dalam komunitas politik, yaitu negara kota (Polis). Etika dan politik baginya terikat erat; etika membahas kebaikan individu, sedangkan politik membahas kebaikan komunitas.
Ia mengklasifikasikan berbagai bentuk pemerintahan berdasarkan jumlah penguasa dan tujuan mereka: pemerintahan oleh satu orang (Monarki/Tirani), oleh sedikit orang (Aristokrasi/Oligarki), atau oleh banyak orang (Politeia/Demokrasi). Bentuk yang paling stabil dan ideal menurutnya adalah Politeia, sebuah campuran antara oligarki dan demokrasi yang dikuasai oleh kelas menengah.
Meskipun banyak konsep fisika dan kosmologi Aristoteles telah dibantah oleh ilmu pengetahuan modern, kerangka logis, pendekatan empirisnya terhadap biologi, dan analisis mendalamnya tentang etika dan politik tetap menjadi batu penjuru dalam pemikiran Barat. Filsafat Aristoteles menawarkan sistem yang komprehensif, terstruktur, dan sangat berakar pada pengamatan dunia nyata, menjadikannya relevan hingga hari ini.