Ilustrasi Konsep Arisan Emas dan Komunitas.
Arisan emas telah menjadi fenomena sosial dan finansial yang sangat populer di Indonesia. Ia menawarkan solusi menabung sekaligus investasi jangka pendek hingga menengah, terutama bagi mereka yang ingin mengakumulasi aset berharga seperti emas batangan atau perhiasan.
Namun, seiring dengan berkembangnya praktik ini, muncul pertanyaan mendasar mengenai **hukum arisan emas** dalam perspektif syariah dan hukum positif di Indonesia. Meskipun sering kali dianggap sebagai kegiatan gotong royong murni, struktur keuangannya—yang melibatkan uang atau barang secara bergiliran—membuatnya rentan terhadap isu hukum, terutama jika terjadi wanprestasi.
Arisan emas adalah perkumpulan sukarela di mana anggota menyetor sejumlah uang atau satuan emas secara berkala. Di setiap pertemuan, dilakukan pengundian (atau sistem lelang) untuk menentukan siapa anggota yang berhak menerima seluruh setoran pada periode tersebut. Berbeda dengan arisan uang biasa, arisan emas secara spesifik menggunakan emas sebagai objek simpanan atau objek yang dibagikan.
Keuntungan utama dari arisan emas adalah:
Dalam kajian fikih muamalah, arisan seringkali dikategorikan sebagai kombinasi antara ta’awun (tolong-menolong) dan qardh (pinjaman), atau terkadang disamakan dengan syirkah (perkumpulan modal). Permasalahan utama dalam hukum arisan terletak pada elemen riba dan gharar (ketidakpastian).
Jika arisan emas diselenggarakan murni dengan sistem undian (tanpa ada tambahan biaya atau bunga yang disyaratkan di awal), mayoritas ulama kontemporer membolehkannya selama memenuhi syarat:
Namun, jika skema yang digunakan adalah sistem lelang (di mana anggota yang paling cepat mendapat giliran harus membayar lebih mahal daripada nilai nominal emas), ini bisa mendekati transaksi jual beli yang mengandung unsur riba atau spekulasi yang tidak dibenarkan.
Terlepas dari pandangan agama, arisan emas tetap tunduk pada hukum perdata Republik Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian (Pasal 1313 KUHPerdata). Arisan emas merupakan sebuah perjanjian lisan atau tertulis antarpihak.
Untuk meminimalisir risiko ini, sangat disarankan agar arisan emas—terutama yang melibatkan jumlah besar—dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang jelas. Perjanjian ini harus mencakup:
Tanpa perjanjian tertulis, pembuktian di muka pengadilan menjadi sangat sulit, meskipun putusan hakim masih bisa didasarkan pada kesaksian atau bukti komunikasi elektronik yang sah.
Masyarakat sering bingung membedakan arisan emas yang sah dengan skema investasi ilegal atau Ponzi. Perbedaan fundamental terletak pada sumber pengembalian dana:
Karena arisan emas melibatkan aset riil (emas) dan mekanisme pembagian yang jelas, ia umumnya tidak diklasifikasikan sebagai penipuan, asalkan seluruh anggota mengetahui dan menyetujui risikonya.
Untuk memastikan kegiatan arisan emas berjalan lancar sesuai hukum dan syariat, pertimbangkan langkah-langkah berikut:
Kesimpulannya, hukum arisan emas berada di persimpangan antara tradisi sosial dan regulasi perdata. Selama prinsip kejujuran (amanah) dijunjung tinggi dan kesepakatan dibuat secara transparan, arisan emas dapat menjadi instrumen finansial yang bermanfaat, namun peserta harus selalu sadar akan risiko hukum yang melekat pada perjanjian informal.