Arisan, baik dalam bentuk uang tunai maupun barang berharga seperti emas, telah menjadi praktik sosial dan ekonomi yang sangat umum di masyarakat Indonesia. Namun, ketika menyangkut aspek syariat Islam, muncul berbagai perdebatan mengenai keabsahannya. Salah satu tokoh agama yang sering dimintai pandangan mengenai masalah muamalah kontemporer adalah Ustadz Erwandi Tarmizi. Pandangan beliau mengenai hukum arisan emas ini memberikan perspektif penting bagi umat Muslim yang ingin menjalankan aktivitas ekonomi sesuai syariat.
Definisi dan Struktur Arisan Emas
Arisan emas pada dasarnya adalah sebuah kesepakatan sekelompok orang (peserta) untuk mengumpulkan sejumlah uang atau emas secara berkala. Setiap periode, salah satu peserta mendapatkan hak penuh atas akumulasi setoran tersebut. Dalam konteks arisan emas, nominal yang diterima peserta adalah emas, seringkali dalam bentuk gramasi tertentu, yang nilainya fluktuatif mengikuti harga pasar emas saat itu.
Perbedaan mendasar antara arisan emas dan jual beli biasa terletak pada unsur akadnya. Arisan melibatkan akad yang kompleks, seringkali menggabungkan unsur utang piutang (qardh) dan pengundian (lotre/undian). Karena melibatkan unsur utang yang dibayar di muka (atau diangsur sebelum hak diterima), kajian mendalam diperlukan untuk memastikan tidak ada unsur riba atau judi yang tersembunyi di dalamnya.
Pandangan Ustadz Erwandi Tarmizi tentang Arisan Emas
Ustadz Erwandi Tarmizi, yang dikenal dengan kajian fiqih muamalahnya, sering menekankan pentingnya membedah struktur akad secara teliti. Menurut penjelasannya yang sering disampaikan dalam berbagai ceramah dan buku, arisan emas memiliki potensi besar untuk jatuh pada praktik yang dilarang syariat, terutama jika mekanisme pengumpulan dan pembayarannya tidak jelas atau mengandung unsur bunga (riba).
Arisan Emas sebagai Hutang Piutang yang Terkait Undian
Inti permasalahan arisan, dalam pandangan banyak ulama termasuk yang sejalan dengan kajian Ustadz Erwandi, adalah ketika uang atau emas yang dikumpulkan dianggap sebagai hutang yang wajib dikembalikan, namun dibarengi dengan pengundian. Jika peserta membayar sejumlah uang setiap bulan, dan di akhir periode menerima sejumlah emas (yang nilainya bisa berbeda dari total uang yang disetorkan), hal ini harus dilihat dari dua sisi:
- Akad Hutang (Qardh): Jika uang yang disetorkan adalah hutang, maka uang tersebut wajib dikembalikan nilainya. Jika kemudian ada kelebihan nilai (misalnya karena perolehan emas lebih mahal saat giliran diterima), kelebihan tersebut berpotensi menjadi riba.
- Akad Takaful (Saling Menanggung): Arisan bisa dibenarkan jika ia dianggap sebagai skema tolong-menolong atau takaful (bukan sekadar hutang murni). Namun, mayoritas arisan modern lebih condong ke arah hutang yang diundi.
Bahaya Riba dan Gharar
Ustadz Erwandi sering menyoroti bahwa arisan emas yang menerapkan sistem "mengambil untung di awal" atau "mengharuskan peserta membayar nilai yang tidak sesuai dengan nilai emas saat itu" sangat rentan terhadap riba. Misalnya, jika harga emas naik drastis, peserta yang mendapat giliran di awal mungkin menerima emas yang nilainya lebih kecil dibandingkan total uang yang ia setor sebelum jatuh tempo. Sebaliknya, jika harga emas turun, peserta yang mendapat giliran di akhir bisa mendapatkan keuntungan secara tidak adil dari kerugian peserta sebelumnya.
Selain riba, masalah gharar (ketidakjelasan) juga muncul. Ketidakjelasan ini timbul karena nilai nominal yang akan diterima oleh peserta di masa depan tidak pasti karena harga emas yang selalu berubah. Dalam fiqih, transaksi yang mengandung ketidakpastian tinggi sering kali dianggap batal.
Syarat Agar Arisan Emas Dianggap Halal
Agar sebuah kegiatan arisan, termasuk arisan emas, bisa dikatakan sah secara syariat menurut kerangka pemikiran yang menekankan kehati-hatian (waro'), harus dipenuhi syarat-syarat ketat. Ustadz Erwandi dan para ulama lain menekankan bahwa akad harus murni dan tidak bercampur dengan unsur yang dilarang.
Jika arisan emas dijalankan murni sebagai transaksi jual beli tunai (spot trading) yang dilakukan secara berkala oleh sekelompok orang, tanpa adanya unsur hutang yang diundi, maka itu lebih aman. Namun, struktur arisan yang dikenal umum biasanya tidak memenuhi syarat ini karena adanya penundaan pembayaran dan pengundian hak.
Sebuah alternatif yang sering disarankan adalah mengganti arisan dengan program tabungan emas yang dikelola secara profesional dan tanpa undian, atau menggunakan akad syirkah (perkongsian) atau mudharabah jika tujuannya adalah investasi bersama, bukan pembagian hasil undian periodik.
Informasi ini disarikan dari berbagai kajian dan literatur yang membahas pandangan Ustadz Erwandi Tarmizi mengenai hukum muamalah kontemporer terkait arisan.