Arisan, tradisi sosial yang telah lama mengakar di masyarakat Indonesia, kini bertransformasi ke ranah digital. Arisan online atau arisan digital menawarkan kemudahan akses, memungkinkan partisipan dari berbagai lokasi geografis untuk bergabung. Mekanismenya umumnya melibatkan pengumpulan dana secara berkala melalui platform digital, dengan sistem pengundian atau penawaran tercepat untuk menentukan siapa yang mendapatkan 'dana talangan' pada periode tertentu.
Kemudahan ini tentu membawa sisi positif dalam hal efisiensi dan transparansi, terutama jika platform yang digunakan terpercaya. Namun, seiring populernya arisan online, muncul berbagai pertanyaan krusial mengenai legalitas dan perlindungan hukum bagi para anggotanya. Sebagaimana praktik keuangan lainnya, arisan online tidak luput dari potensi risiko penipuan dan perselisihan.
Secara umum, arisan tradisional di Indonesia seringkali dianggap sebagai kegiatan sosial atau kesepakatan antar individu yang tidak diatur secara spesifik sebagai lembaga keuangan formal. Namun, ketika arisan dilakukan secara online dan melibatkan unsur keuangan yang signifikan, kerangka hukum yang relevan mulai diterapkan.
Dalam konteks hukum perdata, arisan online dapat dianggap sebagai suatu bentuk **perjanjian atau perikatan** antar anggota. Keabsahannya merujuk pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengenai syarat sahnya perjanjian: kesepakatan, kecakapan para pihak, objek tertentu, dan sebab yang halal. Selama kesepakatan tersebut tidak melanggar norma hukum dan kesusilaan, perjanjian arisan tersebut sah secara perdata.
Permasalahan muncul ketika salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji) atau terjadi penipuan. Jika seorang anggota gagal membayar iuran atau kabur membawa uang arisan, anggota yang dirugikan memiliki dasar hukum untuk menuntut secara perdata (ganti rugi atau pemenuhan perjanjian).
Namun, jika terbukti ada unsur kesengajaan untuk menipu sejak awal, praktik ini dapat masuk ke ranah pidana, khususnya terkait dugaan **tindak pidana penipuan** sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Banyak kasus arisan online yang berakhir di kepolisian disebabkan oleh unsur penipuan ini, di mana penyelenggara tidak memiliki itikad baik untuk mengembalikan atau mendistribusikan dana.
Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki peran dalam mengawasi kegiatan yang menyerupai penghimpunan dana masyarakat (seperti skema Ponzi atau investasi ilegal). Meskipun arisan murni secara tradisional bukan produk OJK, penyelenggara arisan online yang menggunakan platform digital (Fintech) perlu berhati-hati. Jika platform tersebut memfasilitasi transaksi keuangan yang masif dan terstruktur tanpa izin sebagai penyelenggara layanan keuangan, mereka dapat berhadapan dengan regulasi OJK.
Saat ini, belum ada peraturan khusus yang secara eksplisit mengatur "arisan online." Pengawasan lebih difokuskan pada pencegahan aktivitas ilegal seperti judi online atau skema investasi bodong yang menyamar sebagai arisan.
Untuk meminimalisir risiko hukum dan kerugian finansial, calon peserta disarankan memperhatikan beberapa hal:
Kesimpulannya, arisan online berada di area abu-abu hukum. Ia sah sebagai perjanjian perdata selama dilakukan dengan itikad baik. Namun, partisipasi di dalamnya selalu mengandung risiko, terutama jika terjadi perselisihan atau penipuan yang memerlukan proses hukum panjang untuk penyelesaiannya.