Arisan, sebuah kegiatan sosial-ekonomi yang sangat populer di Indonesia, melibatkan sekumpulan orang yang menyisihkan uang secara rutin untuk diberikan kepada salah satu anggota secara bergilir. Praktik ini seringkali didasarkan pada kepercayaan dan kekeluargaan. Namun, ketika menyangkut aspek finansial, muncul pertanyaan penting mengenai kedudukannya dalam syariat Islam. Memahami hukum Islam tentang arisan adalah krusial untuk memastikan kegiatan tersebut terhindar dari unsur-unsur haram seperti riba atau perjudian.
Secara sederhana, arisan adalah bentuk pinjam-meminjam atau iuran berulang dengan sistem undian atau penunjukan. Berbeda dengan bank yang memberikan bunga atas simpanan, dalam arisan, anggota mendapatkan sejumlah dana pokok tanpa tambahan bunga (nisbah) dari pihak penyelenggara. Dalam fikih Islam, arisan paling dekat dengan dua akad utama:
Jika arisan dipandang sebagai bentuk tolong-menolong antar anggota tanpa ada unsur keuntungan finansial yang pasti bagi penyelenggara (kecuali administrasi wajar), maka hukumnya cenderung dibolehkan (mubah).
Ketika uang diserahkan kepada pemenang yang berhak di giliran tertentu, ini dapat dianggap sebagai pinjaman dari anggota lain yang belum mendapatkan giliran. Dalam konteks ini, yang harus dijaga adalah prinsip Qardh Hasan (pinjaman kebaikan) yang bebas dari bunga.
Mayoritas ulama sepakat bahwa isu hukum terbesar dalam arisan terletak pada potensi terjadinya riba atau unsur ketidakjelasan (gharar).
Riba adalah tambahan nilai atas pokok utang yang disyaratkan di awal. Hukum arisan menjadi haram jika ada anggota yang sengaja menetapkan premi atau kelebihan bayar yang bersifat wajib dan dipastikan (misalnya, pemenang harus membayar lebih tinggi daripada yang dibayarkan anggota lain secara periodik). Namun, jika pembayaran yang dilakukan hanyalah uang pokok iuran, maka arisan tersebut terhindar dari riba.
Gharar terjadi jika ada ketidakjelasan mengenai waktu penerimaan dana atau jika terdapat unsur spekulasi berlebihan yang mengandung potensi kerugian besar. Dalam arisan yang terstruktur, unsur gharar bisa muncul jika sistem pengocokan tidak transparan atau jika ada anggota yang sengaja tidak membayar tanpa konsekuensi yang jelas.
Para ahli fikih kontemporer umumnya membagi hukum arisan berdasarkan akad yang mendasarinya:
Meskipun secara teoretis arisan bisa halal, sangat penting bagi penyelenggara dan peserta untuk menjaga integritas akad. Prinsip utama yang harus dipegang adalah kesamaan hak dan kewajiban. Dana yang diterima adalah dana pokok yang telah disetorkan.
Jika terjadi gagal bayar dari salah satu anggota, ini adalah masalah perdata (utang piutang biasa) yang harus diselesaikan secara musyawarah, bukan masalah syariat yang mengharamkan seluruh sistem arisan tersebut. Namun, jika sistem arisan sejak awal dirancang untuk menguntungkan penyelenggara melalui pungutan wajib yang tidak proporsional dengan jasa yang diberikan, maka hukumnya menjadi syubhat (dipertanyakan) atau bahkan haram karena mendekati riba atau judi terselubung.
Arisan adalah praktik sosial yang memiliki akar dalam budaya gotong royong. Hukum Islam membolehkan arisan selama ia terbebas dari unsur riba (tambahan wajib atas pokok pinjaman) dan gharar yang ekstrem. Kejelasan dalam aturan, transparansi dalam pengundian, dan kesepakatan penuh dari semua anggota adalah kunci agar kegiatan arisan tetap bernilai ibadah sosial dan jauh dari larangan syariat.